Di tengah gempuran Covid-19, kita menyematkan gelar kepahlawanan pada beberapa orang yang berkontribusi besar dalam perjuangan bertahan hidup. Covid-19 adalah masalah yang timbul akibat virus corona, diduga pertama menyebar dari Wuhan, sebelum akhirnya meluas hingga berstatus sebagai pandemi.
Covid-19 berdampak nyata pada kehidupan. Covid-19 telah menyadarkan bahwa lingkungan perlu dijaga, agar tidak membahayakan untuk manusia di masa mendatang.
Lingkungan tempat hidup manusia, bukan hanya untuk hari ini tapi beberapa abad mendatang untuk anak cucu. Tanpa sadar, saban hari kita telah menghasilkan sampah dari meja makan. Banyak yang abai, dan mungkin sedikit perhatian tertuju pada masalah sampah.
Memang, sampah organik bersyukur masih bisa terpapar tanah, sampah organik hilang. Sampah plastik, dan tentu yang sangat berbahaya styrofoam sulit bahkan butuh jutaan tahun untuk bisa terurai.
Abai itu terus disuarakan dengan lantang oleh aktivis lingkungan. Salah satu yang terbaru melalui film ‘Pulau Plastik,’ aktivis lingkungan memberi rambu merah. Sampah plastik hasil produksi manusia telah merambah sirkulasi kehidupan. Bahkan yang lebih berbahaya, plastik menjelma mikroplastik, dan nano plastik.
Plastik dalam bentuk mikroplastik dan nano plastik jika dikonsumsi biota laut menyebab mudah bertemu ajal. Begitu pula dengan manusia, pecahan plastik yang menyebar di organ dalam dari beberapa makanan berkemasan plastik, akan mengendap di dalam tubuh sebelum akhirnya bertumpuk dan menghambat fungsi salah satu organ tubuh.
Aktivis lingkungan konsisten, seolah berharap keajaiban sebab takut mimpi buruk pada generasi anak cucu. Plastik nyata ancamannya, bahaya yang dihasilkan tidak hanya satu dua hari, tapi untuk jangka lama. Salah satu yang paling terasa dari plastik yaitu perubahan iklim. Perubahan iklim di prediksi akan menenggelamkan beberapa kota di Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.
Aktivis lingkungan, masih bertahan untuk mengingatkan masyarakat meminimalisir kantong plastik sekali pakai. Sebab plastik yang digunakan masyarakat banyak yang berakhir di kali, ketimbang Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Memang lebih praktis, tapi abai jika aliran sungai itu juga sumber kehidupan.
Air akan diolah PDAM jadi air minum. Air juga tempat hidup beberapa hewan. Aktivis lingkungan kemudian menyadarkan masyarakat sekitar bantaran sungai, untuk memilah sampah organik dan anorganik. Sampah anorganik dibuang ke TPS, atau di daur ulang dengan menjadi kerajinan tangan.
Pada akhirnya masa depan bisa terselamatkan, jika aktivis lingkungan mendapat sokongan dari semua pihak. Kesadaran timbul pada masyarakat, sebab lingkungan adalah aset sekaligus bahaya jika tidak pandai merawatnya.
Tag
Baca Juga
-
6 Sikap Buruk dari Anak Bungsu, Salah Satunya Suka Caper
-
4 Cara Hidup Hemat Bagi Anak Kos di Kota Malang
-
Sudah Nonton Serial She-Hulk? Ini 5 Hal yang Perlu Kamu Ketahui
-
5 Tanda Kamu Tidak Mendapat Kasih Sayang yang Cukup!
-
Kamu Mesti Paham, 5 Cara Menghadapi Teman Kerja yang Toksik dan Ingin Menjatuhkan
Artikel Terkait
Kolom
-
Reading Slump: Saat Buku Favorit Tak Lagi Menggugah Selera Baca
-
Book Buying Ban: Ujian Terbesar Bagi Pecinta Buku di Era Banjir Diskon
-
Antara Nyaman dan Kebiasaan: Saat Satisficer Bicara Soal Konsistensi Lidah
-
Parade Robot Polisi: Antara Janji Modernisasi dan Kritik Publik
-
Beban Kolektif Mahasiswa: Saat Tugas Kelompok Tak Lagi Ajarkan Kerja Sama
Terkini
-
Wahyu Prasetyo Kagumi Fasilitas Dewa United, Beberkan Target di Musim Baru
-
Datangkan Ibrahim Sanjaya, Persis Solo Berambisi Perkuat Barisan Pertahanan
-
Blak-blakan, Coach RD Ungkap Progres Persiapan Liga Indonesia All Star
-
4 Ide Gaya Harian Kece ala Carmen Hearts2Hearts yang Bisa Jadi Inspirasi
-
Jorge Martin Sudah Diizinkan Jalani Uji Coba, Bakal Tampil di Sachsenring?