Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Budi Prathama
Ilustrasi Perempuan Aksi Demonstrasi. (Pixabay)

Saat mendengar mengenai 'Hari Perempuan' yang sejatinya perlu dikenang, mungkin saja dapat memicu timbul perspektif atau pandangan kita suatu pertanyaan besar. Nah, kira-kira seperti apa kehidupan dan gerakan perempuan untuk keluar dari kungkungan sistem penindasan, sampai pada cetakan sejarah yang dikenal oleh dunia. 

Soal perempuan dari sejak zaman kuno hingga zaman post modern, tentu tidak pernah lepas dari soal-soal perempuan dan perannya dalam masyarakat, sama halnya dengan kaum laki-laki. 

Bahkan seminar-seminar tentang keperempuanan pun telah beredar di mana-mana, baik pada lingkungan kampus maupun di tempat umum. Di samping itu pula, tidaklah heran jika masih ada masyarakat kita yang memandang derajat perempuan lebih rendah ketimbang dengan kaum laki-laki.

Kendati demikian, perempuan seperti itu tengah berada dalam kekangan sistem feodalisme, nasib kaum perempuan hanya dijadikan sebagai pelayan bagi tuannya. Mestinya kemerdekaan perempuan harus bisa menentukan nasibnya sendiri, baik secara politik maupun ekonomi, bukan malah hanya keturunan raja atau kaum bangsawan yang dapat berdaulat seperti itu. 

Sama halnya dengan sistem patriarki (patriarki liar versi Bung Karno), perempuan juga tidak mempunyai kemerdekaan dan hanya dijadikan sebagai mutiara oleh kaum laki-laki. Sampai akhirnya, kebebasan perempuan untuk berkarier sama seperti laki-laki malah diabaikan. Justru posisi perempuan hanya ditempatkan untuk mengurus persoalan domestik.

Atas kondisi tersebut, timbullah kesadaran bagi kaum perempuan untuk menuntut hak yang sama dengan kaum laki-laki. Seperti kaum laki-laki dapat bekerja dan berkarier, perempuan pun mesti dapat merasakan hal yang demikian. 

Melirik pada sejarah pergerakan perempuan, suatu gerakan feminisme untuk menuntut persamaan derajat dengan laki-laki. Gerakan tersebut dapat dilihat dari perjuangan Olympe de Gouges di Prancis. Tokoh pergerakan tersebut menuntut hak asasi manusia, persamaan warga negara perempuan, dan menentang sistem patriarki. 

Perjuangan Olympe de Gouges tersebut, justru dituduh telah keluar dari relnya sebagai perempuan. Bahkan diklaim sebagai perempuan yang tak jelas jenis kelaminnya. Alhasil, Olympe de Gouges ditebas lehernya (1793-1794) dalam keadaan tersenyum. 

Kejadian tersebut justru tidak membuat kaum perempuan tergoyahkan, semangat perempuan untuk tetap melakukan perlawanan makin meningkat. Dengan itu, muncul tokoh-tokoh pergerakan perempuan, seperti Rose Lacombe yang telah berhasil mendirikan Masyarakat Perempuan Republik Revolusioner. Sampai pada tahu 1893, berdiri pula organisasi Dewan Perempuan Internasional yang gerakannya lebih radikal lagi.

Terkait pergerakan perempuan yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, justru dampaknya hanya dirasakan oleh golongan atas saja. Sementara golongan bawah tetap tidak.

Walau ruang-ruang publik seperti politik, sosial, budaya dan ekonomi sudah terbuka, tetapi perempuan golongan bawah sulit mengakses ruang tersebut. Padahal dalam nyatanya, perempuan justru kebanyakan berasal dari rakyat jelata.  

Bung Karno salah satu tokoh nasional Indonesia berpendapat, selama relasi produksi tidak diubah, maka masyarakat golongan bawah tetap tidak dapat berpartisipasi penuh di dalam politik dan ekonomi. Masyarakat lemah belum mampu berdaulat secara politik. 

Pergerakan perempuan yang hanya menuntut persamaan hak semata tentu tidaklah cukup. Nyatanya perempuan akan tetap tertindas dari relasi produksi sistem kapitalisme. Kendati demikian, muncul gerakan baru seperti aksi sosialis,  perempuan dan laki-laki bahu-membahu untuk melawan sistem kapitalisme dalam mewujudkan dunia baru. 

Di Indonesia sendiri, pergerakan perempuan tak kalah penting dengan apa yang dilakukan di negara Eropa. Misalnya pergerakan dari Raden R.A Kartini dan tokoh-tokoh perempuan lainnya, mereka telah banyak memberikan sumbangsih besar pada bangsa ini.

Salah satu organisasi perempuan yang pernah jaya di Indonesia yakni Gerwani. Gerwani dikenal memiliki gerakan yang sangat radikal untuk menentang pemerintah atas keberpihakannya pada rakyat. 

Namun, kenyataan terkait pergerakan perempuan saat ini tampak hanya seperti wacana dan serimoni saja. Kejayaan Gerwani sebagai organisasi revolusioner kini sudah hilang di telinga masyarakat. 

Hal itu tentu tidak lepas dari pengaruh rezim Orde Baru dengan pemburaman sejarah. Saat itu terjadi pembantain besar-besar pada gerakan kiri, karena dianggap membahayakan keutuhan negara akibat peristiwa G30S, termasuk anggota Gerwani menjadi korbannya. 

Nah, untuk meredam pergerakan perempuan progresif seperti Gerwani, pemerintah Orde Baru malah membentuk wadah Dharma Wanita (sekarang PKK). Namun, Dharma Wanita sebagian besar hanya diisi oleh istri-istri pejabat yang hanya mengurusi persoalan domestik. 

Dalam pemikiran pendek saya, pergerakan perempuan tidak boleh hanya sekedar ingin menyaingi laki-laki. Bahkan, perempuan sudah dapat terlibat aktif dalam sosial dan politik, hanya saja karena dogma Orde Baru yang terstruktur dan berkepanjangan, maka pergerakan perempuan sering dibatasi. 

Oleh karena itu, pergerakan perempuan mesti harus dapat bersama-sama dengan laki-laki, bahwa musuh sesungguhnya ialah mereka yang tidak berpihak pada keadilan dan kesejahteraan.

Perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, baik secara politik maupun ekonomi. Majunya suatu negara sangat tergantung pada kedudukan perempuan yan ada di dalamnya. 

Dengan demikian, maka penting untuk kembali mengenang sejarah pergerakan perempuan. Hal itu penting agar generasi tidak buta sejarah dan dapat menjadi motivasi untuk memposisikan peran perempuan dalam berbangsa dan bernegara.

Kaum perempuan mesti berpengetahuan, mampu mereduksi bersama dengan laki-laki, dan menceburkan diri dalam satu naungan perjuangan tanpa ada yang lebih dominan.

Budi Prathama