Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Budi Prathama
Wakil Presiden Pertama RI Mohammad Hatta. (Wikipedia)

Ketika membicarakan Bung Hatta, banyak orang langsung teringat pada sosok proklamator yang kalem, sederhana, dan bersahaja. Namun di balik kacamata bulat dan senyum teduhnya, tersimpan pemikiran ekonomi yang tajam, sebuah visi tentang Indonesia yang makmur, adil, dan berdiri di atas kaki sendiri. Visi itu dikenal sebagai ekonomi kerakyatan.

Bagi Hatta, kemerdekaan tidak ada artinya bila rakyat masih hidup dalam kemiskinan dan terjepit oleh sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang. Ia percaya, kekuatan ekonomi bangsa harus bertumpu pada rakyatnya sendiri. Jalan yang ia tawarkan bukan kapitalisme yang rakus, bukan pula sosialisme murni ala Barat, melainkan jalan tengah yang berpijak pada Pancasila, nilai Islam, dan budaya gotong royong.

Lahir di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902, Hatta tumbuh di lingkungan yang memadukan semangat religius dan jiwa niaga. Masa kecilnya diwarnai didikan agama, sementara masa mudanya ditempa pendidikan modern. Perjalanannya ke Belanda membuka matanya pada kenyataan pahit bahwa kapitalisme, meski mampu mencetak kekayaan, sering kali mengorbankan manusia di dalamnya. Dari sanalah ia merumuskan nilai-nilai ekonomi yang akan terus ia perjuangkan: kepemilikan yang memiliki fungsi sosial, keadilan yang merata, serta kebersamaan yang mengutamakan persaudaraan. Nilai-nilai ini tidak hanya politis, tetapi juga sangat Islami, selaras dengan ajaran Al-Qur’an yang menolak penumpukan kekayaan dan mendorong distribusi adil.

Bagi Hatta, koperasi adalah senjata rakyat untuk merebut kedaulatan ekonomi. Ia bukan hanya bentuk usaha, melainkan simbol kebersamaan dan alat perlawanan terhadap kesenjangan. Dalam koperasi, petani, nelayan, pedagang kecil, dan pekerja saling menopang, berbagi keuntungan, dan menanggung risiko bersama. Ia mengembangkan model koperasi yang mampu menjawab kebutuhan rakyat, mulai dari memenuhi barang konsumsi dengan harga terjangkau, menyediakan kredit bagi pedagang kecil, hingga mendukung produksi pertanian dan usaha kecil. Tidak mengherankan jika sampai hari ini Bung Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.

Jika ditelusuri, gagasan ekonomi kerakyatan Bung Hatta memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam. Konsep kepemilikan yang ia usung selaras dengan peringatan dalam QS. Al-Baqarah: 188 untuk tidak mengambil harta orang lain dengan cara batil. Prinsip keadilan sosial yang ia perjuangkan sejalan dengan pesan QS. Al-Hujurat: 10 tentang persaudaraan dan perdamaian. Semangat gotong royong yang menjadi jiwa koperasi identik dengan ta’awun, atau tolong-menolong, sebagaimana diperintahkan dalam QS. Al-Maidah: 3. Bahkan penolakannya terhadap monopoli dan penumpukan kekayaan sejalan dengan peringatan QS. Al-Humazah: 1–3.

Meski konsep ini lahir di pertengahan abad ke-20, relevansinya tidak luntur di abad ke-21. Era digital membuka peluang sekaligus ancaman baru. Di satu sisi, teknologi memungkinkan koperasi dan usaha kecil menjangkau pasar yang lebih luas, bahkan hingga ke luar negeri. Di sisi lain, muncul risiko monopoli digital, di mana segelintir perusahaan teknologi raksasa menguasai pasar dan meminggirkan pelaku usaha kecil. Perubahan pola konsumsi juga berpotensi melemahkan perdagangan lokal jika pelaku UMKM tidak mampu beradaptasi dengan ekosistem daring.

Namun, justru di sini letak peluang untuk menghidupkan kembali semangat Hatta. Koperasi bisa bertransformasi menjadi koperasi digital, membangun platform daring yang dimiliki dan dikelola anggotanya sendiri. Sistem pembiayaan gotong royong berbasis syariah bisa dikembangkan melalui crowdfunding yang menghindari riba. Produk-produk lokal yang dikelola bersama dapat dipasarkan secara global dengan memanfaatkan teknologi informasi, menghubungkan produsen di desa dengan pembeli di berbagai belahan dunia tanpa perantara yang merugikan.

Bung Hatta pernah berkata, “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tetapi karena lilin-lilin di desa yang menyala.” Lilin-lilin itu adalah rakyat kecil, para pelaku UMKM, petani, nelayan, dan pekerja yang membangun ekonomi dari bawah. Ekonomi kerakyatan adalah cara Hatta memastikan lilin-lilin itu tetap menyala, bahkan makin terang, di tengah gelombang globalisasi dan teknologi. Jika semangat gotong royong ini dipadukan dengan kecanggihan digital, ekonomi Indonesia bisa tumbuh dengan lebih adil, inklusif, dan mandiri.

Seperti yang ditegaskan Wulandari & Hasan (2023), ekonomi kerakyatan merupakan gagasan tentang cara, sifat, dan tujuan pembangunan ekonomi untuk kepentingan seluruh masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. Dalam pandangan Islam, ini adalah bagian dari ibadah sosial demi kesejahteraan umat. Tantangan kita kini adalah mewujudkan semangat itu di dunia yang semakin terkoneksi secara digital, tanpa kehilangan ruh kebersamaan yang menjadi jantung pemikiran Bung Hatta.

Budi Prathama