Standar untuk menentukan tingkat kecantikan seseorang kerap kali hanya terbatas pada apa yang ‘tampak.’ Hal ini cukup logis karena lebih gampang menilai seberapa putih kulit seseorang, ketimbang menilai seberapa jujur seseorang. Oleh karena itu, menjadi masuk akal bila putihnya warna kulit, menjadi salah satu parameter kecantikan seseorang, setidaknya begitu menurut kebanyakan produsen produk kecantikan. Masalah muncul ketika standar kecantikan semacam ini justru dijadikan obsesi.
Standar kecantikan boleh dibilang cukup problematis. Sudah jadi rahasia umum bahwa cantik yang terstandar sangat menguntungkan para pelaku industri produk kecantikan dan kosmetik.
Kulit putih dan mulus, rambut hitam mengkilap, kaki halus tanpa bulu, make-up, dan tubuh yang seksi. Semakin banyak parameter kecantikan, kian banyak pula produk yang potensial untuk dijual.
Eksposur media dalam pemilihan bintang iklan pun turut melanggengkan standar ini. Mereka, dengan sadar ataupun tidak, melupakan keunikan tiap manusia dan membentuk “kecantikan ideal” versi mereka dalam benak calon konsumen.
Konsistennya model kampanye yang problematis ini kemudian mulai dipatuhi masyarakat. Alhasil, banyak orang rela menggelontorkan banyak sekali uang untuk menggapai kecantikan “ideal.” Sayangnya, standar kecantikan bentukan media tersebut masih terlampau sulit, bahkan mustahil dicapai oleh sebagian orang, yang berujung pada ditumbalkannya kenyamanan dan kesehatan tubuh.
Efek lain dari kecantikan yang distandarisasi adalah bagaimana orang mulai memperlakukan sesamanya berdasarkan pada wujud fisik. Salah satu artikel di Remotivi menyebutnya dengan beauty privilege, yakni anggapan yang menyebut bahwa orang bertampang rupawan punya kehidupan lebih mudah ketimbang mereka yang berwajah pas-pasan. Hingga muncul kelakar dari Fiersa Besari ketika mengomentari gaya rambut Iqbaal Ramadhan, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat good-looking.”
Belakangan, seruan-seruan untuk lebih mencintai diri sendiri untuk melawan standar kecantikan yang demikian telah marak dilakukan. Idenya adalah mendorong setiap individu untuk tak serta merta patuh pada standar kecantikan buatan media dan perusahaan kosmetik. Orang didorong untuk tidak perlu bersusah payah memaksakan diri memiliki warna kulit tertentu, berat badan tertentu, atau bentuk wajah tertentu.
Kini, beberapa produsen kosmetik pun berbondong-bondong mengkampanyekan inklusifitas dan mulai menyertakan talent-talent dengan warna kulit yang lebih beragam dalam promosinya.
Bahkan, salah satu raksasa produsen perawatan diri asal Paris, L’Oreal, sejak 1980-an telah menyerukan tagline “You are Worth It.” Mereka menganjurkan pada semua perempuan untuk merasa nyaman dengan warna kulit dan bentuk tubuhnya.
Tag
Baca Juga
-
5 Tips Memilih Rekomendasi Klinik dan Dokter Hewan
-
Kim Sejeong Comeback Melalui Drama Korea A Business Proposal, Ini 6 Faktanya!
-
BTS Berhasil Shooting di Grand Central Station, Berikut 3 Rahasia yang Harus Kamu Ketahui!
-
HyunA dan DAWN Resmi Tunangan, Ini 7 Fakta Perjalanan Asmara Mereka Selama 6 Tahun
-
5 Fakta Drama Korea 'All of Us Are Dead,' Variasi Zombie hingga Latihan Fisik
Artikel Terkait
Kolom
-
Saat Buku Tak Bisa Dibaca: Akses Literasi yang Masih Abai pada Disabilitas
-
Sama-Sama Pekerja Gig, Kok Driver Ojol Lebih Berani daripada Freelancer?
-
Hilangnya Muruah Wisuda dan Industri Kebanggaan
-
FoMO dan Kecanduan Media Sosial, Menyelami Perangkap Digital Remaja
-
Memberi Uang kepada Pengemis: Wujud Kepedulian atau Memelihara Kemalasan?
Terkini
-
4 Alasan Kenapa Kamu Harus Nonton Film Lilo and Stitch 2025
-
Berakhir Menyakitkan! Berikut 6 Ajang yang Diikuti MU dan Semuanya Berujung Kegagalan
-
Loveliest Misfortune: Realita Pernikahan Jarak Jauh yang Bikin Baper
-
Film Waktu Maghrib 2: Teror Jin Masa Lalu, Yakin Nggak Mau Nonton?
-
4 Inspirasi Outfit Modis ala Pharita BABYMONSTER, Cocok Buat Hangout!