Bullying kerap dipandang sebagai masalah individu yang dilakukan oleh anak nakal terhadap anak lain yang lebih lemah. Kita sering menyoroti pelaku sebagai anak bermasalah atau korban sebagai anak yang kurang percaya diri, tetapi jarang sekali mau melihat ke akar yang lebih dalam keluarga dan lingkungan yang membentuk pola pikir anak.
Padahal, berbagai penelitian psikologi perkembangan menunjukkan bahwa perilaku agresif, manipulatif, atau destruktif tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh dari pola asuh, pengalaman emosional, dan ekosistem sosial yang melingkupi seorang anak sejak kecil.
Artinya, jika kita ingin menghentikan budaya bullying, kita harus berhani membuka mata terhadap cermin paling dekat rumah dan lingkungan sekitar.
Bullying Tidak Lahir dari Ruang Hampa Peran Pola Asuh sebagai Pondasi Perilaku
Setiap anak belajar pertama kali dari rumah. Cara orang tua berbicara, mengelola emosi, memberi kasih sayang, memberi batasan, hingga menyelesaikan masalah akan menjadi blueprint yang anak bawa ke dunia luar.
Ketika pola asuh bersifat keras, penuh bentakan, hukuman fisik atau minim empati, anak belajar bahwa kekerasan adalah bahasa yang wajar untuk menyampaikan keinginan.
Anak yang tumbuh dari rumah dengan dinamika penuh tekanan akan memproyeksikan tekanan itu kepada orang yang dianggap lebih lemah di sekolah. Mereka yang tumbuh dalam pola asuh permisif, tanpa aturan jelas, pun berpotensi menjadi pelaku karena tidak pernah belajar konsekuensi atas perilakunya.
Sebaliknya, anak yang pola asuhnya penuh dukungan, komunikasi dua arah, dan kasih sayang cenderung tumbuh dengan kecerdasan emosional tinggi sehingga tidak mudah menyakiti orang lain.
Namun faktanya, banyak orang tua tidak menyadari bahwa perilaku sehari-hari mereka menjadi model bagi anak. Ketika orang tua meremehkan tetangga, mengolok-olok kerabat, atau menertawakan kelemahan orang lain, anak menyerap itu sebagai sesuatu yang normal.
Maka tidak heran jika di sekolah mereka mengulang pola yang sama, hanya dalam bentuk yang lebih kejam dan digital.
Lingkungan yang Toxic Sekolah dan Masyarakat Sering Kali Menjadi Penyubur Kekerasan
Selain keluarga, lingkungan sosial berperan besar dalam membentuk karakter. Sekolah sering dipromosikan sebagai tempat aman bagi anak, tetapi kenyataannya tidak selalu demikian.
Budaya senioritas, geng populer, persaingan akademik, hingga komentar tubuh yang dianggap bercanda bisa menjadi titik awal perundungan.
Ketika lingkungan sekolah tidak tegas terhadap bullying, bahkan membiarkan perilaku agresif sebagai hiburan, anak belajar bahwa kekerasan adalah alat untuk mendapat kekuasaan sosial.
Media sosial memperburuk keadaan. Anak-anak sekarang hidup dalam dunia di mana screenshot bisa menjadi senjata dan satu postingan salah bisa menghancurkan seseorang.
Bullying digital tidak mengenal jam istirahat. Ia terus mengintai bahkan ketika layar ponsel mati. Dalam lingkungan seperti ini, anak-anak belajar bahwa popularitas lebih penting daripada empati, dan tawa publik lebih berharga daripada perasaan satu manusia.
Lingkungan masyarakat pun tidak kalah berpengaruh. Ketika orang dewasa masih mudah terprovokasi, saling menghina di media sosial, dan menjadikan kekerasan verbal sebagai hiburan, anak-anak mencontohnya.
Kita berharap generasi muda lebih baik, padahal generasi dewasa pun belum selesai dengan agresi verbal yang sama.
Psikologi Keluarga Luka yang Tidak Terlihat Menghasilkan Luka Baru
Psikologi keluarga adalah aspek yang paling sering terlupakan. Banyak kasus bullying muncul dari anak yang membawa luka psikologis dari rumah.
Anak yang merasa tidak dicintai, diabaikan, atau hanya dipandang saat berprestasi akan mencari validasi dari luar dengan berbagai cara, termasuk merendahkan orang lain.
Pelaku bullying sering kali bukan anak jahat mereka adalah anak yang tidak pernah dipahami emosinya. Mereka mengekspresikan rasa sakit dengan menyakiti orang lain.
Di sisi lain, korban bullying biasanya adalah anak yang rentan secara emosional. Mereka mungkin tumbuh dalam keluarga yang tidak memberi ruang bagi mereka untuk mengekspresikan diri, sehingga ketika diserang di sekolah, mereka tidak memiliki bekal untuk melawan atau meminta bantuan.
Ada pula korban yang terbiasa dibanding-bandingkan, dipaksa sempurna, atau tidak pernah dianggap cukup baik. Ketika tekanan di sekolah datang, pertahanan mereka runtuh dengan sangat mudah.
Psikologi keluarga tidak hanya membentuk siapa yang menjadi pelaku atau korban, tetapi juga siapa yang menjadi penonton pasif.
Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang cuek dan tidak responsif cenderung menjadi penonton saja saat melihat bullying, karena mereka tidak belajar bahwa bertindak adalah sebuah pilihan moral.
Akhiri Bullying Dimulai Dari Rumah, Didukung Sekolah, dan Dijaga Lingkungan
Bullying adalah fenomena kompleks yang membutuhkan solusi komprehensif. Kita tidak bisa hanya menyalahkan sekolah tanpa memperbaiki pola asuh di rumah. Kita tidak bisa hanya mengedukasi anak tanpa memperbaiki budaya masyarakat yang masih gampang menghakimi.
Menghentikan bullying berarti menciptakan keluarga yang lebih hangat, sekolah yang lebih tegas, lingkungan yang lebih empatik, dan masyarakat yang lebih sadar bahwa setiap kata bisa menyelamatkan atau menghancurkan seseorang.
Jika kita ingin menciptakan generasi yang kuat, sehat, dan berempati, kita harus mulai dari akar cara kita mencintai, mendidik, dan menghargai satu sama lain di rumah. Karena setiap anak yang tumbuh dalam cinta akan jauh lebih kecil kemungkinannya menebar luka di luar.
Baca Juga
-
Bongkar Luka Bullying: Belajar dari Drama 'The Glory' dan Realitas Saat Ini
-
Anak Meniru yang Dilihat: Bagaimana Keluarga Menghasilkan Pelaku Bullying?
-
Ketika Laut Tak Lagi Murah Hati: Pesisir Hidup, tapi Ekonomi Pasang Surut
-
Bongkar Luka Bullying dan Pentingnya Safe Space Via Drama Korea 'Angry Mom'
-
Bullying Subur Karena Kita Tak Pernah Menciptakan Safe Space, Benarkah?
Artikel Terkait
-
Ulasan Film Qorin 2: Mengungkap Isu Bullying dalam Balutan Horor Mencekam
-
Tetap Junjung Etika, Stop Normalisasi Candaan Pakai Sebutan Nama Orang Tua
-
Laki-Laki Perlu Safe Space: Saatnya Lawan Bullying dari Beban Maskulinitas
-
Luka yang Tak Terlihat: Mengapa Kata Maaf Belum Cukup untuk Korban Bullying?
-
Permalukan Orang Jadi Hiburan: Fenomena Prank yang Melenceng Jadi Bullying!
Kolom
-
Bongkar Luka Bullying: Belajar dari Drama 'The Glory' dan Realitas Saat Ini
-
Ada Peran Orang Tua Cegah Potensi Anak Jadi Pelaku Bullying, Ajarkan Empati!
-
Suara Nelayan Tenggelam: Bertahan di Tengah Banjir Izin Industri
-
Kisah Relawan Kebersihan di Pesisir Pantai Lombok
-
Memberdayakan Siswa sebagai Agen Perubahan melalui Mentor Sebaya
Terkini
-
Hadapi Filipina, Timnas Indonesia Jangan sampai Senasib dengan Myanmar
-
John Heitinga Dirumorkan Latih Timnas Indonesia, Rekam Jejaknya Cemerlang?
-
Prilly Latuconsina Beberkan Insecure Terbesarnya Jelang Usia 30 Tahun
-
Rating The Abandons Anjlok ke 23%, Eksekusinya Dinilai Kurang Maksimal?
-
Agresivitas Pelaku Bullying Menurut Psikologi, Benarkah Tak Selalu Jahat?