Bullying bukan lagi sekadar ejekan ringan atau kenakalan remaja saja, melainkan bentuk kekerasan yang menghancurkan mental seseorang jauh sebelum fisiknya terluka.
Di era digital seperti sekarang, perundungan berkembang menjadi cyberbullying yang jauh lebih mematikan dan merusak korban. Luka fisiknya mungkin hilang, tetapi luka digital bertahan selamanya.
Kekejaman bullying juga bisa terlihat dalam drama Korea ‘The Glory’. Serial ini menjadi cermin yang menyakitkan karena menggambarkan dengan telanjang bagaimana kekerasan psikologis mampu menghancurkan hidup seseorang secara perlahan.
Sosok Moon Dong-eun yang diperankan oleh Song Hye Kyo sebagai korban, mengalami penyiksaan yang tidak hanya melukai tubuhnya tetapi juga merobek habis kepercayaan dirinya.
Hal yang membuat drama ini terasa begitu dekat dengan realitas adalah cara ia menyoroti sikap orang-orang di sekelilingnya yang memilih diam, pura-pura tidak tahu atau bahkan tertawa menyaksikan penderitaannya.
Fenomena ini sangat serupa dengan apa yang terjadi di dunia nyata, ketika korban bullying justru dibungkam oleh komentar, screenshot, dan like yang seolah melegitimasi kekejaman.
Bullying Terjadi Karena Diam Melihat Kekerasan dan Sistem Membiarkan
Salah satu hal paling mencolok dalam drakor 'The Glory' ini adalah bagaimana lingkungan di sekitar korban ikut menjadi bagian dari kekerasan itu sendiri. Guru yang tutup mata, teman yang memilih aman, hingga orang dewasa yang lebih peduli pada reputasi daripada keselamatan seseorang.
Hal ini merupakan gambaran akurat tentang sistem pendidikan kita yang sering kali tidak mampu melindungi generasi muda. Banyak sekolah yang bangga menyebut dirinya ramah anak, tetapi gagal menyediakan ruang aman bagi siswa yang mengalami perundungan.
Bahkan di kehidupan nyata, bullying tidak selalu datang dari pukulan, tetapi dari tatapan merendahkan, tawa yang disembunyikan, atau pesan singkat yang menyuruh korban menghilang dari sekolah.
Cyberbullying hanya memperparah keadaan karena membuat serangan itu berjalan nonstop tanpa batas waktu. Ketika satu foto, video atau meme dipublikasikan, ribuan orang bisa berubah menjadi eksekutor dalam sekejap tanpa mereka sadari.
Tidak ada darah yang menetes, tetapi luka yang ditinggalkan jauh lebih dalam. Diam dari para saksi sering kali menjadi belati yang sama tajamnya dengan tindakan pelaku.
Harapan yang Dimulai dari Empati dan Keberanian untuk Tidak Menjadi Penonton
The Glory memang menawarkan fantasi balas dendam, tetapi dunia nyata tidak seindah drama korea. Tidak semua korban memiliki kekuatan seperti Moon Dong-eun untuk bangkit melawan.
Banyak dari mereka kehilangan semangat hidup, berhenti sekolah atau bahkan merasa bahwa dunia tidak lagi membutuhkan keberadaannya.
Karena itu, pelajaran terbesar yang bisa kita ambil bukanlah balas dendam, melainkan pentingnya keberanian untuk tidak menjadi penonton pasif.
Sikap kecil seperti menghentikan penyebaran konten, melaporkan perundungan atau sekadar duduk di sebelah korban adalah tindakan nyata yang dapat menyelamatkan nyawa.
Empati harus menjadi dasar dalam membangun lingkungan yang sehat, baik di sekolah maupun di dunia digital. Kita perlu menciptakan budaya yang tidak memberikan ruang bagi kekejaman untuk tumbuh.
Setiap anak berhak mendapatkan rasa aman. Setiap remaja berhak mendapatkan ruang untuk berkembang tanpa rasa takut. Dan setiap suara kecil yang memilih keberanian bisa menjadi pembeda antara seseorang yang runtuh atau seseorang yang bertahan.
Pada akhirnya, pencegahan bullying bukan hanya tugas sekolah atau pemerintah, melainkan tanggung jawab kita semua sebagai manusia yang ingin hidup di dunia yang lebih manusiawi. Jadi, jangan pernah diam. Kita harus melawan dan menciptakan safe space sendiri yang lebih menjamin keamanan.
Baca Juga
-
Anak Meniru yang Dilihat: Bagaimana Keluarga Menghasilkan Pelaku Bullying?
-
Ketika Laut Tak Lagi Murah Hati: Pesisir Hidup, tapi Ekonomi Pasang Surut
-
Bongkar Luka Bullying dan Pentingnya Safe Space Via Drama Korea 'Angry Mom'
-
Bullying Subur Karena Kita Tak Pernah Menciptakan Safe Space, Benarkah?
-
Stop! Bilang 'Cuma Bercanda', Lelucon Bisa Menjadi Trauma
Artikel Terkait
-
Ulasan Film Qorin 2: Mengungkap Isu Bullying dalam Balutan Horor Mencekam
-
Tetap Junjung Etika, Stop Normalisasi Candaan Pakai Sebutan Nama Orang Tua
-
Laki-Laki Perlu Safe Space: Saatnya Lawan Bullying dari Beban Maskulinitas
-
Deretan Drakor Choi Dae Hoon Tahun 2025, Terbaru Pro Bono
-
Luka yang Tak Terlihat: Mengapa Kata Maaf Belum Cukup untuk Korban Bullying?
Kolom
-
Ada Peran Orang Tua Cegah Potensi Anak Jadi Pelaku Bullying, Ajarkan Empati!
-
Suara Nelayan Tenggelam: Bertahan di Tengah Banjir Izin Industri
-
Kisah Relawan Kebersihan di Pesisir Pantai Lombok
-
Memberdayakan Siswa sebagai Agen Perubahan melalui Mentor Sebaya
-
Agresivitas Pelaku Bullying Menurut Psikologi, Benarkah Tak Selalu Jahat?
Terkini
-
Hadapi Filipina, Timnas Indonesia Jangan sampai Senasib dengan Myanmar
-
John Heitinga Dirumorkan Latih Timnas Indonesia, Rekam Jejaknya Cemerlang?
-
Prilly Latuconsina Beberkan Insecure Terbesarnya Jelang Usia 30 Tahun
-
Rating The Abandons Anjlok ke 23%, Eksekusinya Dinilai Kurang Maksimal?
-
Resmi Menikah Lagi, Amanda Zahra Gelar Pernikahan dengan Adat Jawa