“The dark side of social media is that, within seconds, anything can be blown out of proportion and taken out of context. And it’s very difficult not to get swept up in it all.” -Nicola Formichetti
Pada akhir Desember 2019, dilaporkan oleh Komisi Kesehatan Kota Wuhan, Tiongkok, bahwa terdapat kasus pneumonia di Wuhan. Tak lama setelahnya, Corona Virus Disease akhirnya diidentifikasi. Hingga pada Maret 2020, COVID-19 dinyatakan sebagai pandemi. Sebab, WHO mengumumkan adanya peningkatan dan perluasan kasus COVID-19 di negara lain.
Pada situasi pandemi inilah dunia mulai diuji untuk bagaimana seseorang dapat menyeimbangkan antara kebutuhan informasi terbaru dan pemberhentian membaca berita. Di mana informasi terbaru ini kemungkinan berisi sesuatu yang seseorang tidak ingin ketahui.
Fenomena yang sering dijumpai pada saat pandemi COVID-19 ini adalah doomscrolling. Doomscrolling adalah istilah untuk suatu tindakan seseorang dalam menghabiskan banyak waktunya hanya untuk mencari dan membaca berita negatif.
Muncul persepsi penggunaan berita sebagai sesuatu yang mendalam dan menguras emosi ketika lockdown diterapkan. Hal ini terjadi karena pemantauan aliran berita yang terus terbarui secara intensif makin meningkat.
Bahkan, orang yang paling terhubung dengan dunia luar pun dengan sengaja atau setidaknya sesekali menghindari berita untuk mengatasi emosi yang terkuras. Selain itu, dimaksudkan pula untuk mengatasi kewalahan akibat berita-berita yang tidak mengenakkan.
Beberapa studi penggunaan berita di Inggris dari bulan Maret hingga Oktober 2020 menunjukkan pergeseran dari lonjakan awal penggunaan berita ke peningkatan penghindaran berita, penurunan kepercayaan berita, penurunan kepercayaan yang tajam terhadap pemerintah, dan ditemukan ketidaksetaraan informasi muncul sebagai masalah besar (Fletcher & Nielsen, 2018; Nielsen, 2020).
Namun, beberapa orang masih melakukan doomscrolling karena menganggap berita negatif sebagai strategi penanggulangan. Contohnya, ketika seseorang mengalami sebuah ketakutan terkait pemeriksaan medis yang akan dilakukan. Mungkin dia akan mencari atau menerima informasi terkait prosedur pemeriksaan, urutan waktu, dan hasilnya sebagai bentuk dari strategi penanggulangan. Ini menjelaskan mengapa seseorang bisa tertarik dengan berita negatif (Shoemaker, P.J., 1996).
Studi lain yang dilakukan oleh Kathryn Buchanan et al.(dalam PLoS ONE, 2021), menguji akibat yang diterima dari paparan singkat terhadap informasi terkait COVID-19 pada dua platform media sosial, yaitu Twitter dan YouTube.
Studi yang dilakukan pada platform Twitter disebut studi satu. Sementara pada platform YouTube disebut studi dua. Prosedur studi satu adalah dengan menugaskan peserta yang diacak ke salah satu dari tiga kondisi yang telah diberikan, yaitu kondisi tentang informasi COVID, aksi kebaikan pada saat COVID, dan tanpa kontrol informasi.
Peserta yang masuk ke dalam dua kondisi pertama diperlihatkan dari umpan Twitter selama minimal 2 menit. Sementara peserta yang masuk kondisi tanpa kontrol informasi tidak diperlihatkan.
Lalu prosedur studi dua pun sama seperti yang dilakukan pada studi satu, yaitu menugaskan peserta yang diacak ke salah satu dari tiga kondisi yang telah diberikan. Tiga kondisi yang diberikan sama dengan prosedur studi satu. Untuk peserta dalam dua kondisi pertama menonton video selama 4 hingga 4,5 menit. Sementara peserta tanpa kontrol informasi tidak menonton video.
Hasilnya adalah, orang yang mendapat tugas menghabiskan beberapa menitnya untuk mengonsumsi informasi tentang COVID, melaporkan kesejahteraan yang lebih rendah daripada kelompok tanpa kontrol informasi, baik dari studi satu maupun studi dua.
Hal ini menunjukkan bahwa informasi COVID dapat mengakibatkan efek negatif hanya dalam paparan dua menit. Namun, mengonsumsi informasi terkait aksi kebaikan pada saat COVID tidak menunjukkan sebuah efek negatif. Bahkan, dalam studi dua menunjukkan bahwa dapat meningkatkan suasana hati dibandingkan kelompok tanpa kontrol informasi dan menjauhkan diri dari efek negatif doomscrolling.
Mereka yang memiliki riwayat pada masa kanak-kanaknya berupa kekejaman mungkin akan lebih rentan terkena dampak negatif yang dihasilkan oleh paparan media secara berulang. Hal ini dapat terjadi karena mereka mungkin memiliki lebih sedikit strategi dalam mengatasi masalah saat tertekan dan akhirnya beralih ke media sosial.
Di satu sisi, mengakses media sosial bisa memperburuk psikopatologi. Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa paparan pandemi di media sosial meningkatkan efek samping, yang meningkatkan gejala depresi dan stres traumatis. (Zhao & Zhou, 2020). Memang, orang dengan PTSD telah terbukti lebih memiliki masalah dalam menggunakan ponsel mereka (Contractor et al., 2019).
Untuk mengetahui perkembangan dunia dalam situasi pandemi memang tetap dibutuhkan, sebagai bentuk pengetahuan dan penjagaan diri. Namun, jika berlebihan sampai melakukan doomscrolling pun akan memberikan efek yang tidak baik. Ini bisa berefek buruk bagi kesehatan kita, baik secara mental maupun fisik.
Pada saat pandemi COVID seperti ini, yang dibutuhkan agar kita tidak mudah terpapar adalah imun tubuh. Namun, jika melakukan doomscrolling, maka bisa membuat kita merasakan stres atau bahkan depresi yang akan menurunkan imun. Sehingga, doomscrolling memang harus dihindari atau setidaknya diminimalisir.
Kita dapat menghindari doomscrolling dengan menerapkan mindfulness, atau kesadaran penuh. Dengan kesadaran penuh, kita akan mengenali emosi yang sedang kita rasakan, lebih bijak, siap, dan cermat dalam menerima atau membaca berita. Selain itu kita juga bisa memanfaatkan aplikasi atau fitur pembatasan penggunaan sosial media yang ada di smartphone sebagai upaya mengurangi penggunaan media sosial.
Referensi
Ytre-Arne, B., & Moe, H. (2021). Doomscrolling, monitoring and avoiding: News use in COVID-19 pandemic Lockdown. Journalism Studies, 1-17.
Buchanan, K., Aknin, L.B., Lotun, S., & Sandstrom, G. M. (2021). Brief exposure to social media during the COVID-19 pandemic: Doom-scrolling has negative emotional consequences, but kindness-scrolling does not. PLoS ONE, 16(10), e0257728.
Price, M., Legrand, A. C., Brier, Z. M., van Stolk-Cooke, K., Peck, K., Dodds, P., ... & Danforth, C. M. (2021). Doomscrolling during COVID-19: The negative association between daily social and traditional media consumption and mental health symptoms during the COVID-19 pandemic.
World Health Organization (2020, April 27). Archived: WHO Timeline – Covid 19.
World Health Organization (2020, March 11). WHO Director-General's opening remarks at the media briefing on COVID-19.
Saindon, J. (2021). The Use of Distraction: Doomscrolling, losing time, and digital well-being in pandemic space-times. Theses and Dissertations--Geography. 73.
Tag
Artikel Terkait
-
Bantu Hilangkan Stres, Ini 5 Alasan Pantai Baik untuk Kesehatan Mental
-
Surga Investasi Terancam? Analisis Mendalam Potensi Guncangan Ekonomi Irlandia Timbul Setelah Donald Trump Terpilih
-
China Ciptakan 'Jubah Gaib' Baru untuk Pesawat Tempur, Tak Terdeteksi Radar Tercanggih
-
Pesawat Kargo DHL Tabrak Rumah di Vilnius, Satu Pilot Tewas
-
6 Cara Pakai Media Sosial yang Aman untuk Kesehatan Mental
Kolom
-
Janji Menguap Kampanye dan Masyarakat yang Tetap Mudah Percaya
-
Kenali Pengaruh Marketing Automation Terhadap Peningkatan Efisiensi Bisnis
-
Kolaborasi Tim Peserta Pilkada Polewali Mandar 2024 Melalui Gerakan Pre-Emtif dalam Pencegahan Politik Uang
-
Generasi Alpha dan Revolusi Parenting: Antara Teknologi dan Nilai Tradisional
-
Seni Menyampaikan Kehangatan yang Sering Diabaikan Lewat Budaya Titip Salam
Terkini
-
Kehidupan Seru hingga Penuh Haru Para Driver Ojek Online dalam Webtoon Cao!
-
4 Rekomendasi OOTD Rora BABYMONSTER yang Wajib Kamu Sontek untuk Gaya Kekinian
-
Dituntut Selalu Sempurna, Rose BLACKPINK Ungkap Sulitnya Jadi Idol K-Pop
-
Ulasan Film The French Dispact: Menyelami Dunia Jurnalisme dengan Gaya Unik
-
Ulasan Buku Bertajuk Selamat Datang Bulan, Kumpulan Puisi Ringan dengan Makna Mendalam