Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Novan Harya Salaka
Ilustrasi suasana kelas kosong di sebuah sekolah (Unsplash) / Javas rabni

Jaminan finansial dari pemerintah menjadi salah satu alasan mengapa status ASN masih menjadi primadona bagi sebagian besar guru di Indonesia. Sayangnya, status ASN pada guru tak menjamin akses pada lingkungan pengajaran yang sehat. Dalam kondisi demikian, guru masih dibebani terlalu banyak ekspektasi.

Berbagai kajian dan penelitian telah menemukan bahwa rendahnya kualitas guru memiliki kaitan dengan sistem rekrutmen yang tak optimal serta lingkungan kerja yang tak mendukung peningkatan kompetensi.

Terikatnya profesi guru sebagai aparatur sipil negara (ASN), menurut catatan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), secara tak langsung menyebabkan Indonesia kekurangan 1,1 juta guru secara nasional. Pasalnya, proses perekrutan ASN sendiri dilakukan berdasarkan alokasi anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan bukannya kebutuhan riil di sekolah-sekolah.

Dalam sebuah studi, The Conversation menyatakan bahwa proses rekrutmen guru di Indonesia tak fokus pada pemilihan calon pendidik profesional. Model perekrutan yang problematis ini menimbulkan sulitnya menyaring guru yang tak memiliki passion mengajar, tak melihat kebutuhan di lapangan, dan yang terparah ialah tak memperhitungkan kompetensi guru.

Tak bisa dimungkiri, profesi guru memerlukan kecakapan kerja yang kompleks. Idealnya guru memiliki kemampuan mengajar yang efektif, komitmen, serta motivasi yang tinggi dalam mendidik. Passion dan kecintaan pada pengetahuan juga merupakan hal yang harus dimiliki guru. Akan tetapi, proses rekrutmen ASN pada umumnya hanya fokus pada wawasan kebangsaan dan pengetahuan umum, alih-alih kompetensi mengajar. Alhasil, kandidat guru terbaik pun tidak dapat tersaring optimal.

Pada 7 Juni 2021 lalu, angin segar berusaha diembuskan melalui program rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Program ini pada intinya berfungsi untuk memenuhi kekurangan tenaga guru profesional dan meningkatkan kesejahteraan guru. Menurut UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pegawai yang diangkat dengan sistem PPPK merupakan aparatur sipil negara yang terikat kontrak dalam jangka waktu tertentu. Calon guru dapat menjadi ASN tanpa perlu menjadi pegawai negeri sipil.

Program ini memang terdengar menjanjikan. Meskipun hanya berdasarkan kontrak kerja dan tanpa uang pensiun, besaran gaji serta tunjangan yang menggiurkan mendorong orang semakin menggebu-gebu mendapat status ASN. Akan tetapi, masih ada 2 hal lain yang menjadi kekhawatiran. Pertama, potensi menunggaknya gaji guru PPPK. Hal ini cukup logis bila mengingat kondisi keuangan negara yang sedang banyak dialihkan untuk penanganan pandemi serta mengingat bagaimana memprihatinkannya nasib guru honorer. Kekhawatiran kedua adalah prinsip keadilan, karena persyaratan PPPK cenderung sulit dipenuhi justru oleh para fresh graduate dari sarjana pendidikan.

Tak selesai sampai di situ, berhasil menjadi guru dengan status ASN sekali pun tak serta merta dapat mengurangi benang kusut masalah kualitas guru. Dalam studi lain, The Conversation menguak beberapa permasalahan pada guru berstatus ASN di Indonesia. Studi dilakukan dengan mengikuti perjalanan 16 orang guru muda di Pulau Jawa selama tahun 2019 hingga 2020. Dalam penelitian ini, permasalahan guru berpusat pada minimnya pelatihan di awal karier, minimnya wadah pengembangan, dan ketidakjelasan jenjang karier guru.

Dalam perjalanan awal kariernya, para guru ini merasa bahwa mereka hanya ditekankan untuk fokus pada kepatuhan administrasi, kehadiran, dan kedisiplinan. Sementara itu, kecakapan mengajar bukan menjadi prioritas. Hal ini kontras dengan guru sekolah swasta yang mendapat proses orientasi yang lebih lengkap berupa pengenalan kurikulum sekolah, evaluasi kinerja, juga budaya dan lingkungan sekolah selama sebulan, sebelum tahun ajaran dimulai.

Selain itu, dalam proses bekerja, kehadiran Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) sebagai forum diskusi sesama guru dirasa justru berfungsi sebagai formalitas administrasi. Untuk urusan jenjang karier, responden dalam studi ini menyatakan bahwa dalam kenyataannya, kenaikan pangkat guru sebagian besar didasarkan pada lama masa jabatan dan bukan atas tercapainya kompetensi-kompetensi tertentu.

Dalam situasi dan kondisi yang demikian, guru tak kemudian lepas dari ekspektasi publik terhadap peran besarnya. Mereka diharapkan dapat berkontribusi pada masyarakat dengan predikatnya “pahlawan tanpa tanda jasa.” Bahkan, menurut quipper.com, selain sebagai tenaga pendidik, para guru juga diharapkan mampu menjadi pelatih, penasihat, sosok teladan, peneliti, membentuk karakter, manajer, dan seterusnya.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makariem, pada acara puncak Hari Guru Nasional menyampaikan akan meluncurkan beberapa program untuk guru. Selain meneruskan program PPPK, program lain yang dimaksud adalah pelatihan online dan kurikulum yang disebutnya lebih “merdeka.” Ia mengharapkan guru dapat lebih mandiri, beradaptasi, dan berinovasi menyesuaikan kebutuhan.

Kondisi pandemi turut memperparah beban para guru. Dalam kompas.com, guru kini memiliki tambahan peran berupa menjamin keselamatan fisik dan psikis peserta didik, mengimbau siswa menaati protokol kesehatan, memberikan support emosional kepada siswa dan orangtua, hingga membangun  kepercayaan dengan menjalin komunikasi dengan kepala sekolah dan orangtua siswa. 

Novan Harya Salaka