Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Aliftia Salsabila
Ilustrasi pernikahan (unsplash/Alvin Mahmudov).

Belakangan ini, peristiwa pernikahan dini menjadi momok perbincangan publik. Bahkan, isu pernikahan dini sempat menjadi perdebatan baik dari kalangan atas maupun bawah, agamis ataupun akademis. Kasus pernikahan dini bahkan menjadi semakin meningkat di tengah masa pandemi Covid. 

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada tahun 2020, tercatat sebanyak 34 ribu pengajuan dispensasi kawin pada bulan Januari-Juni dan 97 persen yang diterima. Ada pun yang menjadi sorotan utama yaitu jumlah  anak di bawah 18 tahun yang mengajukan sebesar 60 persen.

Saat pandemi Covid, kasus pernikahan dini pun menjadi viral di beberapa media. Mengutip dari laman iNewsid, beberapa waktu lalu beredar berita tentang anak SMP berinisial EB dari Desa Aiq Berik Kecamatan Batu Kliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah yang melangsungkan pernikahan dini. Alasannya, disebabkan karena dia merasa bosan belajar online. Di sisi lain kondisi ekonomi keluarganya juga mendukung untuk dirinya melakukan pernikahan di bawah umur tersebut. 

Pernikahan dini seakan menjadi hal lumrah yang terjadi di kalangan masyarakat, padahal sudah ada kebijakan yang mengatur tentang batas usia pernikahan. Telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Adapun bunyinya, yaitu: ”Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”.

Kebijakan tersebut tidak semerta-merta dibuat, melainkan ada hal yang menjadi pertimbangan. Adapun beberapa hal yang perlu menjadi perhatian, yakni bagaimana dampak pernikahan dini dari berbagai aspek, baik dari segi sosial ekonomi, psikis hingga fisik. 

Dari aspek sosial ekonomi, pernikahan dini berpotensi membebani keluarga. Sebab seseorang anak dibawah umur yang menikah akan sulit mendapatkan pekerjaan karena tingkat pendidikan yang belum memadai. Hal ini tentunya berpotensi menambah angka kemiskinan di suatu negara.

Sementara itu, dampak pernikahan dini dari segi psikis sendiri pun bisa dikatakan cukup serius. Seorang yang menjalani pernikahan dibawah umur umumnya belum siap untuk mengasuh anak secara lahir batin. Selain itu, konflik dan perdebatan pun sering kali muncul di sebuah hubungan pernikahan dini, dan tak jarang berujung pada perceraian. Tentunya pola pikir yang belum matang dan masih labil menjadi sebab utamanya..

Sedangkan dari segi fisik sendiri, pernikahan dini menjadi hal yang perlu ditekankan karna dapat berdampak pada kematian. Hal yang berpotensi mengganggu aspek kesehatan bagi mereka yang menjalani pernikahan dini adalah permasalahan kesehatan reproduksi.

Permasalahan reproduksi dapat terjadi karena organ reproduksi wanita di bawah umur belum siap untuk mengandung. Kecacatan pada anak dan kematian ibu saat melahirkan juga kemungkinan besar dapat terjadi akibat pernikahan dini. Di sisi lain, leher rahim wanita di bawah umur pun masih sangat rentan. Hal tersebut dapat berpotensi terjadinya kanker leher rahim jika dipaksakan untuk melahirkan.

Angka kasus pernikahan dini yang melonjak selama pandemi Covid terjadi karena beberpa faktor. Adapun faktor yang menjadi permasalahan utama yaitu faktor lingkungan dan faktor individu itu sendiri. Saat sekolah dan perguruan tinggi ditutup karena pandemi Covid-19, di situlah peran orangtua menjadi bertambah, yakni merangkap sebagai guru pendamping di rumah. 

Tentunya, tidak semua orangtua mampu dalam beradaptasi akan hal ini. Banyak orangtua yang mengaku keteteran atau kesulitan dalam proses mendampingi. Orangtua yang tidak mampu beradaptasi kemudian menganggap sang anak menjadi tambahan beban keluarga. Alhasil orangtua memilih alternatif jalan pintas untuk menikahkan anaknya dengan tujuan memindahkan beban tersebut kepada orang lain. 

Meskipun demikian, sebab pernikahan dini tak hanya terjadi dalam perspektif orangtua saja. Pernikahan anak tidak hanya terjadi karena keinginan orangtua melainkan banyak yang merupakan keputusan dari sang anak sendiri. Hal itu terjadi karena beberapa dari mereka sudah merasa jenuh dan bosan dengan pembelajaran daring, sehingga memutuskan untuk menikah dan berkeluarga.

Aktivitas belajar di rumah juga mengakibatkan remaja memiliki keleluasaan dalam bergaul di lingkungan sekitar, salah satunya pacaran. Teruntuk anak yang memiliki pengawasan lemah dari orangtua berpotensi pada dampak pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah. Kehamilan di luar nikah pun menjadi sebab orangtua terpaksa untuk menikahkan anaknya demi menahan malu.

Pernikahan dini sangat tidak dianjurkan karena membawa banyak dampak negatif yang merugikan. Oleh karena itu, pernikahan dini sebaiknya dihindari oleh setiap manusia. Meskipun tekanan libido memang menjadi permasalahan bagi mereka yang belum menikah. Namun, hal itu bisa diatasi dengan memperbanyak kegiatan produktif seperti menimba ilmu, berolahraga, dan berkarya.

Kemauan untuk mencari informasi tentang dampak pernikahan dini juga mesti diprioritaskan. Lebih bijak jika memikirkan panjang kali lebar jika ingin melakukan pernikahan dini. Lebih baik untuk melakukan peralihan kegiatan untuk masa depan yang cemerlang.

Aliftia Salsabila

Baca Juga