Ide inovasi kendaraan listrik tentu bukan lagi hal yang asing di telinga kita. Hal ini menjadi sebuah tren yang sudah lama diantisipasi pecinta lingkungan, otomotif, dan teknologi di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Pemerintah Indonesia sendiri berambisi menjadi pusat produksi kendaraan listrik di kawasan Asia Tenggara dengan target produksi 600.000 mobil listrik dan 2,5 juta sepeda motor listrik pada tahun 2030. Bahkan, laporan terbaru oleh Bloomberg New Energy Finance menunjukkan bahwa pada tahun 2040, kendaraan listrik akan mendominasi sebanyak 58% dari total penumpang kendaraan di dunia.
Meski mayoritas ahli setuju bahwa kendaraan listrik adalah pilihan yang lebih ramah lingkungan, sisi gelap dari industri ini merupakan hal yang masih luput dari kesadaran banyak orang.
Dibalik Proses Produksi Kendaraan Listrik
Menurut studi dari Massachusetts Institute of Technology Energy Initiative, meski kendaraan listrik tidak melepaskan emisi saat mengemudi, emisi karbon yang dihasilkan dari proses produksi baterai dan bahan bakar kendaraan listrik masih lebih tinggi dibandingkan produksi kendaraan konvensional – setidaknya untuk beberapa dekade pertama. Sergey Paltsev, peneliti senior di MIT Energy Initiative menjelaskan bahwa manfaat penuh dari kendaraan listrik hanya akan terwujud setelah sumber listrik menjadi sepenuhnya terbarukan, dan mungkin perlu beberapa dekade lagi untuk mewujudkannya.
Memproduksi mobil listrik menghasilkan hingga 59% lebih emisi produksi, yang sebagian besar berasal dari produksi baterai. Tingkat emisi juga bergantung pada tempat dimana teknologi tersebut diproduksi. Sebagian besar baterai kendaraan kini diproduksi di Cina, Korea Selatan, dan Jepang, di mana tingkat pembakaran bahan bakar fosil (terutama batu bara) dan penggunaan karbon dalam proses produksi listrik masih tergolong tinggi.
China kini mendominasi produksi baterai kendaraan listrik, dengan total sebanyak 93 gigafactory dibandingkan dengan hanya 4 di Amerika Serikat (AS). Padahal, sebuah laporan dari European Environment Agency (2018) menemukan bahwa manufaktur baterai di China menghasilkan emisi karbon hingga tiga kali lebih tinggi daripada di AS. Guna menyiasati hal ini, pemerintah harus dapat beralih ke sumber energi terbarukan, salah satunya tenaga angin. Penelitian menemukan bahwa China dapat mengurangi lebih dari 50% emisi karbon apabila produksi listrik hanya menggunakan tenaga angin.
Lebih dari Sekadar Pencemaran Lingkungan
Seperti baterai pada umumnya, mobil listrik menggunakan baterai lithium yang terbuat dari logam dasar seperti tembaga, kobalt, aluminium, dan besi. Permintaan lithium beberapa tahun silam telah meningkat secara eksponensial dan harganya naik dua kali lipat di antara tahun 2016 dan 2018. Menurut konsultan Cairn Energy Research Advisors, industri ion lithium diperkirakan akan tumbuh hampir 800% pada tahun 2027. Tingginya permintaan baterai lithium telah mengakibatkan krisis mineral yang tidak hanya berdampak pada lingkungan, tapi juga erat kaitannya dengan kesehatan dan pelanggaran berat hak asasi manusia.
Di Salar de Hombre Muerto, Argentina, penduduk setempat mengklaim pabrik lithium telah mencemari air sungai yang digunakan untuk konsumsi manusia, ternak, dan irigasi tanaman. Selain membahayakan kesehatan, hal tersebut juga dapat berdampak fatal bagi kehidupan akuatik selama ratusan tahun ke depan. Industri pertambangan logam sendiri juga diselimuti berbagai problematika serius – terutama kobalt. Proses penambangan kobalt menghasilkan terak (ampas pertambangan menyerupai batu kaca) serta membutuhkan proses peleburan yang dapat memancarkan oksida belerang dan polusi lain yang berbahaya bagi kesehatan. Sejumlah penelitian menemukan tingkat paparan terak dan polusi yang tinggi di masyarakat sekitar, yang menyebabkan keracunan, gangguan pernapasan akut, iritasi kulit, kanker paru-paru, hingga cacat lahir pada bayi.
Kobalt sendiri amat jarang ditemukan di hampir semua belahan dunia. Lebih dari 50% cadangan kobalt dunia terkonsentrasi di wilayah Republik Demokratik Kongo dan 20% di Afrika Tengah. Kelangkaan ini pun mendorong tingginya jumlah aktivitas pertambangan rakyat & skala kecil (artisanal and small scale mining) secara ilegal yang banyak menggunakan pekerja anak.
Dari 255.000 pekerja tambang kobalt di Kongo, 40.000 diantaranya masih berusia 3-17 tahun. Menurut laporan dari Amnesty International, anak-anak ini bekerja lebih dari 12 jam sehari tanpa peralatan dan perlindungan yang memadai. Mereka menggali sendiri lubang sedalam 10 meter, mengumpulkan, menyaring, dan menyiapkan proses transportasi dari mineral yang telah mereka temukan. Setiap harinya, mereka dihadapi dengan kondisi kerja yang berbahaya dan berisiko tinggi seperti tambang runtuh, cidera akibat kecelakaan, keracunan merkuri, infeksi paru-paru, hingga kematian. Mirisnya lagi, mereka hanya dibayar 1 atau 2 dolar per hari, sedangkan perusahaan-perusahaan besar yang menggunakan kobalt tersebut dalam rantai pasok - seperti Tesla, Microsoft, dan Apple - dapat meraup keuntungan miliaran dolar.
Meski pemerintah setempat telah melarang eksploitasi ekonomi anak, praktik pertambangan illegal tetap marak beroperasi dikarenakan fantastisnya keuntungan yang diraup dari penjualan kobalt. Di tahun 2016-2018, harga kobalt dunia melejit hingga 4 kali lipat.
Menilik Masa Depan Kendaraan Listrik
Tingginya emisi yang dihasilkan proses produksi kendaraan listrik dianggap sebagai investasi awal yang akan terbayarkan oleh pengurangan emisi keseluruhan dalam jangka panjang. Hal ini dikenal dengan proses dekarbonisasi. "Saat ini, produksi kendaraan listrik di AS rata-rata mengeluarkan sekitar 200 gram CO2 per mil," kata Paltsev. "Kami memproyeksikan pengurangan emisi sebanyak 75%, dari sekitar 200 (gram) hari ini menjadi sekitar 50 gram CO2 per mil pada tahun 2050," sambungnya. Angka ini diproyeksikan akan berkurang lagi pada dekade-dekade mendatang.
Semakin menumpuknya jumlah baterai bekas di masa depan juga menjadi tantangan tersendiri yang harus diantisipasi sejak dini. Tingkat daur ulang baterai kendaraan listrik lithium-ion kini diperkirakan masih sangat rendah, hanya sekitar 5 persen. Penelitian membuktikan bahwa baterai bekas mengandung logam berharga dan bahan lain yang dapat digunakan kembali. Namun, mayoritas proses daur ulang baterai memerlukan air dalam jumlah besar dan menghasilkan polutan udara. Para ilmuwan terus mencari inovasi dan metode terbaik untuk dapat mendaur ulang baterai dengan lebih ramah lingkungan.
"Persentase baterai lithium yang didaur ulang masih sangat rendah, tetapi seiring waktu dan inovasi, itu akan meningkat,"ucap Radenka Maric, profesor di Departemen Teknik Kimia dan Biomolekuler Universitas Connecticut.
Dalam jangka panjang, mendaur ulang baterai bekas juga dapat mengurangi prevalensi pekerja anak dalam tambang rakyat dan skala kecil. Namun, hal tersebut masih membutuhkan waktu hingga puluhan tahun kedepan. Satu-satunya solusi yang dapat diterapkan sekarang yakni melindungi hak asasi dari pekerja tambang, khususnya pekerja anak. Perusahaan perlu bekerjasama dengan tambang-tambang kobalt untuk memastikan tidak adanya pekerja anak, serta memfasilitasi infrastruktur dan perlengkapan sehingga semua pekerja berada dalam kondisi yang aman. Beberapa perusahaan juga telah berkomitmen untuk menghilangkan semua pertambangan rakyat & skala kecil dari rantai pasokan mereka. Kedepannya, perusahaan dan ilmuwan diharapkan dapat mengembangkan inovasi baterai yang mengurangi, atau menghilangkan seluruhnya komponen kobalt atau mineral berbahaya lain.
Mobil Listrik Bukan Solusi Utama
Banyak orang masih belum sadar bahwa dampak lingkungan merupakan elemen yang tidak dapat dihindari, baik dari kendaraan listrik maupun kendaraan konvensional bertenaga bensin. Menurut Florian Knobloch, seorang peneliti dari Universitas Cambridge, mengatakan bahwa jika semua orang di dunia beralih ke mobil listrik, masih akan ada banyak emisi dari produksi badan kendaraan baru, baterai, serta listrik. Belum lagi, kendaraan listrik memiliki jarak tempuh yang lebih sedikit sehingga membutuhkan waktu serta tenaga listrik yang signifikan untuk mengisi ulang baterai.
Idealnya, kita tidak bergantung pada kendaraan listrik sebagai solusi utama untuk mengurangi dampak global warming dari transportasi. Kita harus mengurangi jumlah kendaraan pribadi secara signifikan dengan mendorong pengembangan infrastruktur angkutan umum yang lebih memadai dan ramah lingkungan. Perlu diingat bahwa pembangunan berkelanjutan (sustainable development) tidak hanya tentang lingkungan alam, namun juga lingkungan sosial & ekonomi manusia yang hidup di dalamnya. Inovasi mobil listrik hanyalah langkah awal menuju masa depan yang berkelanjutan, dan industri ini masih memiliki jalan yang panjang untuk dapat mencapai hal tersebut sepenuhnya.
Referensi:
https://www.theecoexperts.co.uk/electric-vehicles/are-they-really-greener https://www.bbc.com/news/business-19830232 https://www.nytimes.com/2021/03/02/climate/electric-vehicles-environment.html
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Beda Style dari Xiaomi: Begini Tampang dan Spesifikasi Mobilnya Huawei
-
4 Akomodasi Ramah Lingkungan di Lombok untuk Liburan Berkelanjutan
-
Perang Harga Mobil Semakin Brutal, BYD Minta Pemasok Pangkas Harga Komponen
-
Amnesty International Soroti Rantai Pasok Mineral Produsen Mobil Listrik Dunia yang Berpotensi Langgar HAM
-
Bisa Bikin Karier Melejit, Ini 3 Skill IT Paling Dicari di Masa Depan
Kolom
-
Mengupas Tantangan dan Indikator Awal Kredibilitas Pemimpin di Hari Pertama
-
Mempelajari Efektivitas Template Braille pada Pesta Demokrasi
-
Transparansi Menjaga Demokrasi di Balik Layar Pemilu, Wacana atau Nyata?
-
Polemik KPU Menghadapi Tekanan Menjaga Netralitas dan Kepercayaan Publik
-
Coffee Shop Menjamur di Era Sekarang, Apakah Peluang bagi Para Pengusaha?
Terkini
-
ADOR Tuntut Belift Lab Minta Maaf Atas Kasus Perundingan Hanni NewJeans
-
Mahasiswa Universitas Lampung Ajak Warga Gotong Royong Peduli Lingkungan
-
Thailand Mulai Kehilangan Taring, Kabar Gembira untuk Timnas Indonesia?
-
Indonesia Perlu Waspadai Myanmar di AFF Cup 2024, Jadi Tim Kuda Hitam?
-
Sambut Musim Dingin, FIFTY FIFTY Rilis Single Album Bertajuk Winter Glow