Di era post-modern kini, negara Indonesia masih harus menghadapi polemik gender, salah satu akar masalah dari ribuan kasus hukum yang terjadi di tanah air beberapa tahun belakang. Perempuan dan laki-laki, hanya itulah jenis kelamin yang hingga saat ini tercatat di rumah sakit bersalin, belum ada jenis kelamin yang lainnya tercatat sejarah telah dilahirkan oleh seorang ibu. Ternyata, gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin seseorang biasanya didasarkan pada faktor biologis tertentu, seperti organ reproduksi, gen, dan hormon. Sedangkan, identitas gender seseorang tidak terbatas pada laki-laki atau perempuan.
Gender seseorang adalah bagaimana mereka mengidentifikasi dirinya secara internal dan bagaimana mereka mengekspresikannya secara eksternal. Ekspresi dan presentasi gender melibatkan cara berpenampilan, berpakaian, dan berperilaku untuk mengekspresikan gender yang mereka identifikasi. World Health Organization (WHO) mencatat bahwa gender adalah konstruksi sosial yang biasanya digambarkan orang dalam hal feminitas dan maskulinitas. Feminitas mengacu kepada jenis kelamin perempuan, dan maskulinitas mengacu kepada jenis kelamin laki-laki.
Seringkali, para perempuan berpenampilan dengan potongan rambut, ataupun pakaian yang menyerupai laki-laki. Hal ini kelihatannya bukan menjadi masalah besar dan semua gender pun merasa fine-fine saja. Namun, jika keadaannya diputar, para laki-laki yang berpenampilan dengan potongan rambut, ataupun pakaian yang menyerupai perempuan terkadang memicu pro dan kontra yang seimbang. Didapati pihak kontra berkomentar “wah ini sih lo fix udah miring” yang menyiratkan bahwa sang pelaku sudah terlihat berpindah gender dari maskulinitas ke feminitas.
Lain halnya dengan contoh di atas, berikut ini adalah persoalan gender yang saya yakin sampai saat ini masih terjadi di setiap tempat. Ketika seorang perempuan ingin memimpin sebuah komunitas, organisasi, dsb seringkali diragukan karena dirasa bahwa perempuan lemah. Perempuan tidak akan sanggup melawan laki-laki dalam hal kemampuan fisik maupun soft-skill. Oleh karena itu, sangat melimpah kasus kekerasan maupun pelecehan yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan (korban) yang tiba-tiba ditutup, ataupun tidak ditangani oleh para penegak hukum di Indonesia. Sempat terdengar dan tersebar luas beberapa kasus tersebut, dan hasil keputusan pihak berwenang berujung nihil.
Saya berkata nihil karena pihak korban yang sudah berani untuk mengakui peristiwa kelamnya, diperintahkan untuk bungkam dan pada akhirnya korban perempuan yang disalahkan, dan pelaku dibiarkan bebas tanpa hukuman yang setimpal. Putusan penegak hukum yang seperti inilah, yang mengakibatkan perempuan-perempuan lain yang juga korban, tidak berani untuk buka suara memperjuangkan keadilan. Oleh karena itu, kesetaraan gender di negeri Indonesia masih minim nilainya.
Kesetaraan tidak berarti bahwa perempuan dan laki-laki akan menjadi sama, tetapi bahwa hak, tanggung jawab, dan peluang tidak akan bergantung pada apakah mereka terlahir sebagai perempuan ataupun laki-laki. Kesetaraan gender menyiratkan bahwa kepentingan, kebutuhan dan prioritas perempuan dan laki-laki sama besarnya, dan mereka sama-sama bebas untuk mengembangkan kemampuan pribadi dan membuat pilihan tanpa batasan yang ditetapkan oleh stereotip dan prasangka tentang peran gender. Kesetaraan gender adalah masalah hak asasi manusia, dan sebagai seorang mahasiswa, kita dapat melakukan banyak hal untuk mengupayakan kesetaraan gender di Indonesia semakin tinggi.
Pertama, perkuat paham bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak, dan kodrat yang sama sebagai manusia. Sehingga dengan berpegang pada mindset ini, kita dapat menyikapi seluruh konflik gender di Indonesia dengan pikiran yang terbuka, dan tidak sempit. Kedua, mendukung pihak yang benar (tidak bersalah) secara nyata. Terutama, pihak tidak bersalah yang sudah berani untuk buka suara. Tindakan dukungan secara nyata adalah seperti mendukung dengan menyebarkan hastags, informasi, petisi, dsb di sosial media pribadi, agar informasi tersebar luas dan dukungan akan berjalan mengiringi pihak yang benar.
Ketiga sekaligus yang terakhir, lakukan refleksi diri secara rutin. Jangan sampai terlalu sibuk mengurusi dengan peristiwa yang menimpa orang lain, hingga akhirnya lupa untuk menjaga tindakan diri sendiri. Artinya, selalu lakukan observasi dan edukasi kepada diri sendiri mengenai tindakan yang benar dan tidak benar untuk dilakukan kepada lawan jenis, dan juga sesama jenis.
Penyimpangan gender sebenarnya bukan menjadi urusan orang lain, melainkan urusan pribadi yang memilih jalan tersebut. Masa kini, kita semua bukan lagi harus berhadapan dengan penyimpangan gender, tetapi kesetaraan gender. Kesetaraan gender di Indonesia masih terhitung rendah, jika persoalan ini masih terus berlanjut, akan terjadi perpecahan bagi negara.
Alih-alih hanya mengandalkan penegak hukum menjalani tugasnya dalam persoalan gender, mahasiswa pun dapat memulai pergerakan untuk mengupayakan peningkatan kesetaraan gender di Indonesia. Langkah sekecil apa pun yang dimulai, akan berpengaruh bagi sedikit banyak orang. Untuk itu, sebagai mahasiswa, mari mulai melangkah.
Referensi:
https://www.medicalnewstoday.com/articles/types-of-gender-identity#types-of-gender-identity yang diakses pada Selasa, 4 Januari 2022 pukul 22:49 WIB.
https://www.unicef.org/gender-equality yang diakses pada Selasa, 4 Januari 2022 pukul 23:21 WIB.
https://www.diadona.id/d-stories/pengertian-gender-jenis-dan-biasnya-menurut-para-ahli-2007116.html#:~:text=Kesetaraan%20gender%20merupakan%20kesamaan%20kondisi,kesamaan%20dalam%20menikmati%20hasil%20pembangunan. yang diakses pada Selasa, 4 Januari 2022 pukul 23:22 WIB.
Tag
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Jangan Terlena Penundaan EUDR, Aturan Diskriminatif Ini Bisa Dicontek Negara lain
-
Masuk Grup Neraka Piala Asia U-20 2025, Indonesia Perlu Tambah Pemain Naturalisasi?
-
Shin Tae-yong akan Panggil Satu Pemain Lagi untuk Hadapi Jepang dan Arab Saudi, Siapa?
-
Majelis Taklim Deklarasikan Gerakan Anti-Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
-
Dicoret Shin Tae-yong karena Cedera, Asnawi Mangkualam Sudah Main 90 Menit di Port FC
Kolom
-
Tantangan Literasi di Era Pesatnya Teknologi Informasi
-
Tren Media Sosial dan Fenomena Enggan Menikah di Kalangan Anak Muda
-
Mengemis Digital di TikTok: Ketika Harga Diri Menjadi Komoditas
-
Guru dan Masa Depan yang Dikorbankan: Refleksi Profesi yang Terabaikan
-
Soroti Pernyataan Mendikti, Alumni LPDP Tidak Harus Pulang, Setuju Tidak?
Terkini
-
Rebutan Gelar, Pecco Bagnaia dan Jorge Martin Merasa Tak Perlu Bermusuhan
-
Ulasan Film The Black Phone: Penculikan Misterius Laki-Laki Bertopeng
-
3 Bek Timnas Jepang yang Diprediksi Jadi Tembok Kokoh Saat Jumpa Indonesia
-
Bentala Stella: Bisnis Licik dan Sayuran Gemas 'Pengungkap' Perasaan
-
Dua Ganda Putra Indonesia Gagal Lolos Babak 8 Besar Korea Masters 2024