Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | wahyu prihartanto
Ilustrasi Menulis. (Pixabay)

Pertumbuhan komunitas-komunitas menulis online dewasa ini, tanpa disadari turut mendongkrak perkembangan jurnalisme opini. Dampak situasi pandemi, ketika sebagian besar masyarakat mengalami tekanan psikis menjadi penulis freelance adalah alternatif yang masih menjanjikan. Platform digital menjadi media yang paling banyak diburu kolomnis di tengah-tengah pembatasan pertemuan fisik.

Komunitas kolomnis berbagai daerah beramai-ramai menunggu respons media digital. Selain karena prestise, insentif, kekuatan permodalan dari media, jutaan viewer menjadi alasan lainnya. Namun diantara hingar-bingar permediaan, media nasional sebenarnya sedang mengalami krisis akibat polarisasi pembaca yang berafiliasi ke satu atau beberapa partai politik. Dan, kondisi ini menyebabkan penurunan kepercayaan publik di daerah karena media dianggap kurang mewakili kepentingan lokal.      

Di tengah ketidakberimbangan berita nasional, berita lokal, surat kabar lokal dan televisi lokal dinilai lebih terpercaya, peduli, dan tidak memihak. Dari sinilah komunitas kolomnis daerah mengisi artikel, opini, dan artikel opini ke editor media nasional dengan menyampaikan berita lokal secara berimbang. Dan, secara tidak langsung kolom opini tersebut dapat menjembatani polarisasi politik sekaligus mempromosikan geliat kelokalan. 

Bagi media yang cepat beradaptasi mewadahi komunitas kolomnis daerah di kolom opininya, mungkin akan bisa diterima komunitas meskipun belum menguntungkan secara finansial. Para kolomnis akan mengisi ruang-ruang opini editorial atau surat pembaca. Dan, halaman editorial disiapkan khusus untuk editor, pemilik, serta komunitas yang sudah ada. Pemimpin komunitas sesekali bisa mengisi opini editorial dan halaman surat pembaca.

Komunitas kolomnis dimasukkan dalam kalangan non-jurnalis. Keberadaan mereka diharapkan membantu menyuarakan kepentingan masyarakat daerah. Dengan cakupan yang lebih luas, sehingga kolom ini diharapkan dapat mendiskusikan atau memperdebatkan isu-isu penting yang terjadi di lingkungan komunitas maupun diluar komunitas.

Alih-alih mempertahankan eksistensi sebagai forum komunitas yang dinamis, keterbatasan finansial media lokal membuatnya sulit bergerak. Dampaknya, mereka terpaksa merumahkan beberapa staf dan meniadakan posisi editor opini. Kondisi tidak menguntungkan ini memaksa mereka menggunakan kolumnis sindikasi dari luar komunitas surat kabar lainnya yang berafiliasi dengan media nasional. 

Afiliasi media nasional menyebabkan ruang sindikasi  diisi dengan konten-konten konflik ideologis kanan versus kiri, dan akhirnya kekhawatiran polarisasi terjadi kembali. Meskipun saya tidak berani nge-claim, kita dapat merasakan suasana kebatinan media di negara kita mirip penggambaran diatas. Kita mendengar beberapa istilah, influencer, cebong, kadrun, dst dst membuktikan adanya perpecahan di kalangan masyarakat. 

Terkadang kita perlu mengandaikan media tanpa berita politik nasional. Dengan menghilangkan berita politik nasional di halaman opini dan menghidupkan kembali konten opini lokal, dengan harapan meningkatkan perhatian surat kabar terhadap perpolitikan daerah. Tidak ada lagi kolom sindikasi, tidak ada lagi karikatur politik, dan tidak ada lagi surat-surat pribadi tapi terbuka untuk menarik perhatian publik.

Isu-isu lokal memenuhi sebagian besar halaman media. Bisa tentang pelestarian seni dan budaya, tentang lalu lintas, tentang pengembangan pusat kota, tentang pendidikan dan lingkungan atau isu-isu lain yang disajikan kepada publik secara berimbang. Seperti keindahan Kota Batu, Puncak Bogor, Puncak Gunung Jayawijaya, Tangkuban Perahu, dan segala aspek kelokalan lainnya dapat digelorakan kembali.

Apakah perubahan jurnalisme opini tersebut dapat mengubah cara berpikir dan perasaan masyarakat terhadap polarisasi politik? Ditengah-tengah kondisi masyarakat yang serba majemuk dibutuhkan media pemersatu yang dapat mengakomodir kepentingan semua golongan. Ketika kepentingan terwadahi menumbuhkan pemahaman untuk saling menerima kebhinekaan menjadi sebuah keniscayaan.

Kehadiran komunitas penulis opini sangat dibutuhkan dalam perubahan ini. Mereka berpotensi menyebarkan pengaruh media ke komunitas yang lebih luas. Meski hanya sebagian kecil dari komunitas yang membaca media secara teratur, tapi perubahan seperti ini tetap memiliki efek yang lebih besar. Perubahan secara terus-menerus dilakukan dengan menumbuhkan opini penyatuan agar komunitas tidak terpolarisasi secara politis.

Perubahan ini dapat membantu media merekrut lebih banyak penulis opini untuk terus berkontribusi. Pendukung berita lokal berkolaborasi mengumpulkan dana untuk membayar editor profesional yang mampu menyaring pemikiran kreatif. Dukungan dana perlu dilakukan agar halaman opini tidak mudah layu dan tidak lagi mencerminkan komunitas mereka.

Opini lokal memang tidak serta merta dapat memulihkan kemampuan finansial pembiayaan surat kabar dalam waktu singkat. Dengan menjaga fokus pada isu-isu lokal, halaman opini dapat berperan kecil memulihkan kepercayaan dan membantu surat kabar lokal bertahan di masa-masa sulit. Dan, mereka dapat merekrut sejumlah pembaca untuk menjembatani beberapa kesenjangan politik yang dapat membuat komunitas terbelah. 

Secara geografis, negara kedaulatan Indonesia tersusun atas ribuan pulau yang terpencar dari Sabang hingga penghujung Marauke, sedangkan secara demografis Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan keberagaman budaya, bahasa, agama, ras dan golongan. Di negara sebesar dan seluas inilah media massa jadi memiliki peranan penting sebagai jembatan informasi dan komunikasi ke seluruh penjuru Nusanara baik melalui media televisi, radio, internet dan sosial media juga media cetak.

Sekian, dan terima kasih.

Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo

wahyu prihartanto