Perubahan iklim atau ada beberapa yang menyebutnya sebagai pemanasan global merupakan masalah dan isu lingkungan yang kritis dan sedang dihadapi dunia internasional saat ini, kondisi ini harus segera mendapat respon dan tindakan agar kemungkinan terburuk bisa dihindari atau diperlambat. Mengapa demikian? Karena bumi adalah sebuah sistem yang berjalan, yang mana jika salah satu unsurnya berubah, maka unsur lain sebagai penggerak system juga akan berubah, begitu juga dengan climate change yang akan mengubah seluruh aspek kehidupan, bukan hanya manusia, namun seluruh bumi dan isinya.
Tentu saja hal ini bukannlah perkara kecil, perubahan akibat climate change sangat berbahaya, bahkan mampu memusnahkan populasi di bumi, dan butuh waktu yang sangat lama agar bumi bisa “hidup” kembali, bahkan kemungkinan terburuknya adalah bumi dan isinya tidak bisa dihidupkan kembali.
Perubahan iklim adalah isu yang sudah lama dibicarakan dan harus segera ditangani. Namun sayangnya, diskusi dan pembicaraan akan isu ini tidak secara konsisten dilakukan, banyak pengalihan isu yang terjadi dan menyebabkan diskusi mengenai climate change sering dikesampingkan dan bahkan terlupakan, walaupun keadaannya sudah kritis dan butuh aksi cepat.
Namun, akhir-akhir ini isu climate change mulai terangkat kembali karena aksi para ilmuan iklim NASA yang memprotes tentang perubahan iklim dengan sangat emosional dan sentimental. Salah satu ilmuan NASA tersebut viral di social media karena aksi protesnya tersebut yang menyentuh hati banyak orang. Peter Kalmus ialah salah satu ilmuan NASA yang ikut menyuarakan bagaimana buruknya keadaan bumi saat ini, dan bahkan kita bisa kehilangan segalanya.
Dr. Kalmus menyuarakan kegelisahannya dengan penuh emosional dan meminta agar suaranya mengenai peringatan iklim mendesak bisa didengar. Dr.Kalmus mengatakan bahwa dia ingin publik memahami bahwa krisis iklim adalah keadaan darurat yang terutama disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, dan dia juga ingin para pemimpin berhenti mengaku mendengarkan para ilmuwan, dan benar-benar melakukan aksi nyata. Video Dr.Kalmus tersebut viral di jagat dunia maya, terutama TikTok dan berhasil menggerakkan aksi dan penyebaran kesadaran akan isu climate change tersebut.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah forum komunikasi internasional tentang perubahan iklim, mengeluarkan laporan terbaru mengenai climate change tahun 2022 tentang Impacts, Adaptation and Vulnerability yang menilai dampak perubahan iklim, dengan melihat ekosistem, keanekaragaman hayati, dan komunitas manusia di tingkat global dan regional. Serta meninjau kerentanan dan kapasitas serta batasan dunia alami dan masyarakat manusia untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. IPCC mengeluarkan banyak dampak yang dihasilkan oleh perubahan iklim ini, khususnya di aspek sosial.
Dampak tersebut diantaranya ialah peningkatan tingkat kematian manusia akibat pemanasan global, penurunan tingkat ketahanan pangan dan air yang menyebabkan jutaan manusia mengalami kerawanan pangan akut, perubahan iklim juga berefek buruk pada Kesehatan fisik dan mental manusia secara global atau regional, Kesehatan mental tersebut terjadi karena tingkat pemanasan yang meningkat menyebabkan manusia trauma dari peristiwa cuaca dan iklim ekstrem dan hilangnya mata pencaharian serta budaya yang mengganggu kondisi ekonomi dan social. Di Kawasan urban, perubahan iklim juga menyebabkan dampak buruk bagi Kesehatan manusia, mata pencaharian, dan infrastruktur wilayah.
Kemudian perubahan iklim juga menyebabkan keadaan rentan bagi manusia apalagi di wilayah atau negara dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, tata kelola dan akses yang terbatas ke layanan dan sumber daya dasar, kemuadian kerentanan juga semakin parah di wilayah dengan konflik kekerasan dan tingkat mata pencaharian yang peka terhadap iklim (misalnya, petani kecil, penggembala, komunitas nelayan). Perubahan iklim mengharuskan perubahan seluruh aspek kehidupan di muka bumi, yang tentu saja hal ini tidaklah mudah. Oleh karena itu, lebih baik kita berusaha mencegahnya sekarang atau tidak sama sekali.
Dilansir dari situs resmi United Nation tentang Climate Change, semua orang harus bertindak dalam permasalahan iklim yang mendesak ini, tapi individu, kelompok-kelompok, negara, institusi, dan perusahaan yang menciptkan paling banyak masalah harus menyandang tanggung jawab paling besar untuk mengambil tindakan terlebih dahulu. Negara-negara di dunia memang sudah menyepakati bahwa isu climate change adala isu yang nyata dan harus segera ditangani, seperti komitmen para pemimpin serta politisi negara untuk mengurangi emisi yang disepakati melalui Protokol Kyoto.
Namun, yang menjadi pertanyaan besar saati ini adalah apakah para pemimpin dunia akan segera ambil Tindakan? Usaha untuk memperlambat climate change akan jauh berpotensi untuk berhasil jika seluruh perusahaan di dunia juga ikut menandatangani dan sepakat dalam upaya dan kebijakan demi menghindari kemungkinan terburuk dari climate change. Namun, pertanyaan yang kembali muncul adalah Will they do it? Will they take action?
António Guterres, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa berpidato pada 4 April 2022 lalu dalam peluncuran laporan ketiga IPCC tentang climate change, beliau menyatakan: “The jury has reached a verdict. And it is damning. This report of the Intergovernmental Panel on Climate Change is a litany of broken climate promises. It is a file of shame, cataloguing the empty pledges that put us firmly on track towards an unlivable world. We are on a fast track to climate disaster. Some government and business leaders are saying one thing – but doing another. Simply put, they are lying. And the results will be catastrophic. This is a climate emergency.”
Pidato António Guterres tersebut menyatakan dengan tegas bahwa kondisi ini sudah kritis, namun sayangnya pemerintah dan para pebisnis hanya menjanjikan kebijakan-kebijakan saja, padahal dalam kenyataannya, aksi dengan hasil nyata, dan maksimal, serta tegas belum dilakukan sepenuhnya. Selain itu, David Roberts, penulis dari bulletin dan podcast berjudul “Volts”, dalam interviewnya di PBS NewsHour pada 5 April 2022 lalu juga menyatakan usaha untuk mencapai target suhu aman membutuhkan kebijakan publik untuk mempercepat hasilnya. Namun kebijakan pemerintah belum mengikuti dan bahkan tidak mendorong cukup keras upaya pencapaian target tersebut.
Memang benar kalau kebijakan dan aksi sudah banyak dilakukan, akan tetapi usaha tersebut belum cukup tegas dilakukan dalam mencapai komitmen mengurangi tingkat emisi yang berdampak langsung pada pemanasan global. Buktinya masih banyak kebijakan yang justru makin memperparah keadaan iklim dunia, contohnya saja ialah negara-negara atau perushaan-perusahaan penghasil emisi terbesar di dunia malah meningkatkan investasi dan produksi bahan bakar fossil negara, bukan malah menepati janji-janji mereka tentang penanganan perubahan iklim.
Dari pernyataan-pernyataan di atas bisa dilihat bahwa political will pemimpin dan politisi negara-negara di dunia masih rendah dalam upaya penanganan perubahan iklim. Political Will yang rendah ini terlihat dalam rendahnya komitmen negara dalam mencapai target pengurangan emisi yang tertuang di Protocol Kyoto. Jepang yang berkomitmen mengurangi emisi sebesar 6%, namun pada kenyataannya produksi emisinya masih di angka 8.1 % pada tahun 2005.
Negara-negara Uni Eropa berkomitmen mengurangi emisi sebesar 8%, lagi-lagi hanya mampu mengurangi 1.7% emisi di tahun 2003. Negara penghasil emisi terbesar, Amerika Serikat, belum bersedia ikut serta dalam protocol Kyoto, namun diharapkan mengurangi emisinya sebesar 7% dan pada kenyataannya emisi Amerika Serikat malah melonjak sebesar 13% di tahun 2003. Di sini seharusnya negaralah yang bisa dicap sebagai kalangan radikal, bukan justru kalangan aktivis atau masyarakat yang menyuarakan aspirasi lainnya yang dicap sebagai radikal pembangkang negara.
Sementara para aktivis, ilmuan, rakyat biasa, dan kalangan pemuda yang masa depannya terancam, bahkan mungkin berpotensi kehilangan masa depan mendesak Tindakan cepat dan pasti, namun tampaknya para pemegang kekuasaan atau politisi kurang berkomitmen mengambil Langkah dan aksi berarti. Industri bahan bakar, fossil, dan perusahaan dengan emisi tinggi masih beroperasi melawan kenyataan bahwa pemanasan global meningkat dan perubahan iklim berada dalam kondisi mendesak.
Sayangnya, masih banyak segelintir umat manusia yang lebih tergiur keuntungan jangka pendek dan keuntungan pribadi demi menyelamatkan diri sementara banyak orang terutama anak muda yang cemas akan masa depannya, alih-alih memikirkan kesempatan seumur hidup, anak mudah justru bertanya-tanya apakah mereka masih berkesempatan punya masa depan tanpa ketakutan akan dampak dari perubahan iklim yang tidak main-main.
Para pemimpin memang punya kekuasaan untuk memimpin dan mengambil kebijakan. Akan tetapi kita tidak bisa berharap sepenuhnya pada mereka. Kita bisa mulai dari diri sendiri, melakukan bagian kita untuk berusaha mengurangi apa saja yang bisa mempercepat perubahan iklim.
Dilansir dari situs resmi PBB, kita bisa memulai dengan sepuluh aksi yang berdampak mengurangi percepatan perubahan iklim, sepuluh aksi tersebut ialah hemat energi di rumah, berpergian dengan berjalan, bersepeda, atau gunakan transportasi public, makan lebih banyak sayuran, pertimbangkan setiap perjalanan yang akan dilakukan, kurangi food waste, reduce, reuse, repair, recycle, ubah sumber energi di rumah dengan energi ramah lingkungan, beralih ke kendaraan listrik, pilihlah produk-produk yang ramah lingkungan, dan yang terakhir adalah speak up, ajaklah orang lain untuk bergabung bersama sama melakukan Tindakan nyata dan Tindakan sekarang juga untuk membuat perbedaan ke arah yang lebih baik.
Ajak juga pemimpin local dan nasional, bahkan dunia untuk cepat bertindak sekarang juga. Penyebaran awareness tentang perubahan iklim ini bisa kita lakukan salah satunya melalui media sosial yang kita gunakan sehari-hari, seperti Instagram, TikTok, Twitter, dan lain-lain. Tetaplah optimis dan yakin bahwa setiap Tindakan kecil yang kita lakukan pasti membawa perubahan kea rah yang lebih baik.
Tag
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Regenerasi Terhambat: Dinasti Politik di Balik Layar Demokrasi
-
Viral Earbuds Berdarah, Ini Batas Aman Volume untuk Mendengarkan Musik
-
DK PBB Gagal Sahkan Gencatan Senjata Gaza, Malaysia Beri Kecaman Keras
-
Pakai Baret Oranye, Anies Baswedan Resmi Dukung Pramono-Rano Karno
-
Australia Bikin RUU Larangan Media Sosial untuk Anak di Bawah 16 Tahun, Jika Dilanggar Dendanya Mencapai Rp500 Miliar
Kolom
-
Regenerasi Terhambat: Dinasti Politik di Balik Layar Demokrasi
-
Tren Childfree di Indonesia Melonjak, Sejauh Mana Negara Hadir?
-
Trend Lagu Viral, Bagaimana Gen Z Memengaruhi Industri Musik Kian Populer?
-
Usai Kemenangan Telak di Pilpres AS, Apa yang Diharapkan Pendukung Donald Trump?
-
Standar Nikah Muda dan Mengapa Angka Perceraian Semakin Tinggi?
Terkini
-
Ulasan Buku Al Ghazali karya Shohibul:Jejak Spiritual Sang Hujjatul Islam
-
G-Dragon Ekspresikan Ikatan Kuat dengan Fans di Lagu Baru 'Home Sweet Home'
-
3 Produk The Originote Ukuran Jumbo, Ada Micellar Water dan Sunscreen Spray
-
Raih Piala di MAMA Awards 2024, Pidato RIIZE Bikin Nangis Penggemar
-
Gagal Ikuti Tim Putra, Timnas Futsal Putri Raih Juara ke-3 di Ajang AFF Cup