Memiliki teman yang satu frekuensi memang menyenangkan. Apalagi kalau tak pandang bulu, tak membeda-bedakan di perantauan. Saling peduli, canda tawa bersahutan dengan riang dan ikhlas tanpa dibuat-buat, tanpa rekayasa.
Untuk mendapatkan teman yang satu frekuensi sangatlah susah, karena dengan sendirinya orang-orang yang mirip dengan kita akan mendekat, mungkin faktor kenyamanan yang menjadi pemicunya.
Saking dekatnya, jarak bukan lagi suatu permasalahan. Di sini pula tingkat kepekaan dan kepercayaan kita akan diuji. Cobaan yang seringkali dialami ketika sudah mendapatkan teman yang asyik dan satu frekuensi adalah kita lupa diri. Lupa diri bagaimana maksudnya? Kita lupa dengan tata krama karena sudah tergantikan dengan kedekatan.
Jangan sampai tongkronganmu bubar hanya karena masalah tata krama yang sudah tidak dipakai. Saling ejek-mengejek dalam sebuah tongkrongan mungkin sudah biasa. Namun, yang jadi di luar kebiasaan adalah ketika kita tak lagi memperlihatkan situasi dan kondisi. Ingat! Suasana hati setiap orang setiap harinya pasti berbeda-beda.
Hal yang lainnya adalah kepekaan dan tahu diri. Jangan mengaggap diri kita selalu merasa dipandang aman di mata teman. Adakalanya kita harus tetap mawas diri meskipun sudah memiliki hubungan yang sangat dekat.
Jangan sampai tak bisa menangkap momen di mana kondisi sudah tak lagi kondusif. Terkadang, untuk merekatkan sebuah hubungan kita tak harus selalu bersama-sama, kita memerlukan jarak agar bisa menciptakan ruang bertemu dan tertawa di kemudian hari.
Kepercayaan dan pertemanan itu sangat mahal, tak bisa dibeli dengan apapun. Setiap momen tawa dan gembira tak akan bisa diulang kembali dengan cara yang sama.
Untuk menghargai pertemanan yang amat mahal, tak perlu dengan susah payah. Cukup rawat dengan tata krama. Jangan ingin paling dihargai, semua sama rata. Tak akan ada pertemanan yang sehat jika salah satunya ingin terlihat paling berkelas.
Memiliki rasa saling respek di dalam tongkrongan itu tak mudah, singkirkan sedikit egois untuk tak terlihat paling tahu segalanya. Jika kalaupun memang benar paling tahu segalanya, tak usah menyampaikannya jika merasa tak diperlukan.
Kadang, ilmu tak akan mudah masuk ketika penyampaiannya kurang tepat. Berbalik dengan; meskipun ilmunya sedikit tapi kalau tata krama dalam penyampaiannya tepat, maka kesannya akan berkelas!
Baca Juga
-
Pentingnya Berfilsafat di Tengah Kondisi Demokrasi yang Carut-Marut
-
Film A Moment to Remember: Menggugah Hati dan Syarat akan Antropologis
-
Menguak Misteri: Kecerdasan Tidak Didasarkan pada Kehebatan Matematika
-
Antara Kecerdasan Emosional dan Etika dalam Bermain Media Sosial
-
Ini yang Akan Terjadi jika Kuliah atau Pendidikan Tinggi Tidak Wajib!
Artikel Terkait
-
Komunitas GERKATIN DIY: Perjuangan Inklusi dan Kesehatan Mental Teman Tuli
-
Melalui Bahasa, GERKATIN Junjung Tinggi Nilai Inklusif
-
Sudah Berdamai, Ini Klarifikasi Arafah Rianti usai Dilabrak Tetangga Gegara Parkir Sembarangan
-
Berhasil Simpan Rahasia Negara, Ini Satu-satunya Teman Artis yang Tahu Raffi Ahmad Bakal Jadi Utusan Khusus Presiden
-
5 Langkah Elegan Hadapi Teman yang Suka Basa-basi
Kolom
-
Kolaborasi Tim Peserta Pilkada Polewali Mandar 2024 Melalui Gerakan Pre-Emtif dalam Pencegahan Politik Uang
-
Generasi Alpha dan Revolusi Parenting: Antara Teknologi dan Nilai Tradisional
-
Seni Menyampaikan Kehangatan yang Sering Diabaikan Lewat Budaya Titip Salam
-
Indonesia ke Piala Dunia: Mimpi Besar yang Layak Diperjuangkan
-
Wapres Minta Sistem Zonasi Dihapuskan, Apa Tanggapan Masyarakat?
Terkini
-
4 Rekomendasi Mix and Match OOTD Chic ala Miyeon (G)I-DLE, Bikin Penampilan Lebih Modis
-
Hari Pertama Pakai Yamaha, Miguel Oliveira Bilang Motor M1 Sangat Ramah
-
Ronaldo Kwateh Masuk Skuad Piala AFF 2024, Saatnya Bayar Kepercayaan STY?
-
3 Sheet Mask Mengandung Aloe Vera Ampuh Atasi Sunburn, Harga Mulai Rp5 Ribu
-
Novel Dia Adalah Kakakku, Perjuangan Seorang Kakak Mewujudkan Cita-Cita Adiknya