Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi Kartu Debit (Pexels/Towfiqu barbhuiya)

Beberapa waktu belakangan, jagat maya dan obrolan warung kopi di Indonesia diramaikan oleh satu topik yang cukup menggegerkan: pemblokiran rekening pasif atau yang lazim disebut rekening dormant oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Ini bukan sekadar isu teknis perbankan yang hanya dipahami segelintir orang; kebijakan ini telah menyentuh langsung kantong dan rasa aman jutaan warga. Masyarakat sontak menyuarakan keprihatinan mereka, merasa kaget, bingung, dan khawatir akan nasib uang mereka yang "tertidur" di bank.

Reaksi publik yang begitu kuat ini, yang digambarkan sebagai "menggemparkan" dan bahkan memicu "netizen ngamuk", sebenarnya merupakan cerminan dari kesenjangan komunikasi yang signifikan. PPATK sendiri telah berulang kali menyatakan bahwa langkah ini diambil demi melindungi kepentingan publik dan bahkan mengklaim kebijakan ini menguntungkan masyarakat. Namun, kontradiksi antara niat baik regulator dan pengalaman masyarakat di lapangan menunjukkan adanya kurangnya peringatan yang memadai, komunikasi yang jelas, serta transparansi kriteria sebelum kebijakan ini dirasakan dampaknya secara luas.

Kondisi ini membuat masyarakat bereaksi secara reaktif, bukan proaktif karena merasa tidak siap dan tidak sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi. Kebijakan ini, di satu sisi, adalah langkah tegas negara untuk menjaga integritas sistem keuangan dan memerangi kejahatan. Namun, di sisi lain, ia juga berpotensi menimbulkan beban dan keresahan bagi jutaan nasabah yang tidak bersalah. Artikel ini akan mengupas dua sisi mata uang ini, mencari titik temu antara niat baik dan dampaknya di lapangan.

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami apa itu rekening dormant. Istilah ini merujuk pada rekening bank, baik tabungan perorangan, perusahaan, giro, maupun valuta asing/rupiah, yang tidak menunjukkan aktivitas transaksi seperti tarik tunai, transfer, atau setor dana dalam jangka waktu tertentu. Umumnya, bank akan mengklasifikasikan rekening sebagai dormant jika tidak ada aktivitas transaksi selama 3 hingga 12 bulan, tergantung pada kebijakan masing-masing bank. Meskipun tidak aktif secara transaksi, rekening ini tetap tercatat sebagai rekening aktif di bank.

Langkah PPATK memblokir rekening dormant bukan tanpa alasan. Lembaga ini menjelaskan bahwa kebijakan tersebut diambil karena maraknya penyalahgunaan rekening pasif untuk tindak kejahatan. Modus kejahatan yang sering terungkap meliputi pencucian uang, penipuan, perdagangan narkoba, dan yang paling mencolok, judi online. Bahkan, terungkap kasus ketika rekening nasabah diperjualbelikan tanpa sepengetahuan pemiliknya, menjadi sarana penampungan dana ilegal.

Selain itu, pemblokiran ini juga bertujuan untuk menjaga integritas dan keamanan sistem keuangan nasional secara keseluruhan. PPATK juga tidak serta merta memblokir semua rekening dormant. Ada kriteria khusus yang menjadi target, yaitu rekening yang terindikasi terkait tindak pidana (misalnya, rekening hasil jual beli atau peretasan), rekening penerima bantuan sosial yang tidak terpakai lebih dari tiga tahun, serta rekening milik instansi pemerintah dan bendahara pengeluaran yang seharusnya aktif namun justru dormant.

Skala pemblokiran ini cukup masif. PPATK telah memblokir puluhan juta rekening dormant. Data awal menyebutkan 31 juta rekening telah diblokir, dengan total dana mencapai Rp6 triliun. Informasi lain menunjukkan bahwa lebih dari 140 ribu rekening dengan nilai tabungan lebih dari Rp428 miliar telah diblokir sejak Mei 2025. PPATK juga mengidentifikasi puluhan ribu rekening yang berasal dari praktik jual beli rekening yang digunakan untuk deposit perjudian online sepanjang tahun 2024. Angka-angka ini menunjukkan betapa seriusnya masalah penyalahgunaan rekening pasif ini dalam ekosistem kejahatan keuangan.

Perlu dipahami bahwa definisi "rekening dormant" telah mengalami pergeseran signifikan dari sekadar istilah operasional perbankan menjadi alat pencegahan kejahatan. Awalnya, rekening dormant hanyalah status bank untuk akun yang tidak aktif dalam periode tertentu, yang mungkin dikenakan biaya administrasi kecil atau ditutup setelah waktu sangat lama. Namun, PPATK telah mengambil alih klasifikasi ini untuk tujuan mereka sendiri: memerangi kejahatan finansial. Mereka menambahkan kriteria spesifik di luar sekadar tidak aktif, seperti keterkaitan dengan aktivitas kriminal atau status rekening bantuan sosial yang tidak terpakai. Pergeseran ini mengubah status pasif yang relatif tidak berbahaya menjadi indikator risiko tinggi, yang berpotensi menjebak individu tak bersalah dalam upaya penegakan hukum yang ditujukan untuk penjahat. Konteks baru ini menjadi salah satu sumber utama kebingungan dan kecemasan publik.

Salah satu poin utama yang disoroti adalah kurangnya transparansi. Masyarakat mendesak PPATK untuk lebih proaktif dan transparan dalam menjelaskan kriteria rekening dormant yang akan diblokir. Masyarakat berhak tahu secara jelas berapa lama tanpa transaksi rekening akan dianggap dormant, dan aktivitas apa saja yang dianggap cukup untuk menjaga rekening tetap aktif. Tanpa informasi yang jelas, masyarakat merasa seperti "penyusup di sistem keuangannya sendiri".

Selain itu, mekanisme peringatan yang adil juga menjadi perhatian. Pemblokiran seharusnya tidak dilakukan secara mendadak. Bank, seharusnya diwajibkan mengirim notifikasi berulang melalui berbagai saluran seperti SMS, email, atau bahkan surat fisik. Hal ini penting karena tidak semua warga akrab dengan layanan perbankan digital.

Keresahan juga muncul dari kekhawatiran akan proses reaktivasi yang tidak sederhana, tidak terjangkau, dan tidak cepat, terutama bagi masyarakat kecil yang sangat bergantung pada tabungannya untuk kebutuhan sehari-hari. Bayangkan saja seorang ibu yang menabung sedikit demi sedikit untuk pendidikan anaknya, lalu rekeningnya tiba-tiba diblokir tanpa pemberitahuan atau solusi yang jelas. Situasi seperti ini tidak hanya menyakitkan, tetapi juga berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Ini menunjukkan bahwa kebijakan yang niatnya baik bisa berdampak buruk jika tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan kemudahan akses bagi seluruh lapisan masyarakat.

Fenomena ini menunjukkan adanya ketegangan antara upaya PPATK untuk menjaga integritas sistem keuangan dan dampak yang dirasakan masyarakat, yang justru mengarah pada terkikisnya kepercayaan publik. Meskipun PPATK bertujuan untuk melindungi sistem keuangan dan kepentingan publik dari kejahatan, metode implementasinya yang sering dipersepsikan kurang transparan, mendadak, dan dengan proses pemulihan yang rumit dan berisiko merusak kepercayaan masyarakat itu sendiri.

Jika warga merasa uang mereka tidak mudah diakses atau dapat dibekukan tanpa peringatan yang jelas, mereka akan kehilangan keyakinan terhadap sistem perbankan. Hal ini berpotensi mengurangi inklusi keuangan dan membuat masyarakat enggan berinteraksi secara formal dengan sektor perbankan, yang pada akhirnya dapat mendorong transaksi ke ranah informal dan membuat sistem menjadi kurang transparan secara keseluruhan bagi regulator.

PPATK secara konsisten mengemukakan argumen kuat di balik kebijakan pemblokiran rekening dormant. Pertama dan yang paling utama, PPATK menegaskan bahwa pemblokiran ini sama sekali tidak membahayakan uang nasabah; dana di rekening yang diblokir diklaim tetap aman 100% dan utuh. Ini adalah jaminan penting untuk meredakan kepanikan masyarakat.

Lebih jauh, PPATK mengklaim bahwa kebijakan ini justru menguntungkan masyarakat. Salah satu contoh yang diberikan adalah bagaimana banyak keluarga akhirnya mengetahui adanya rekening almarhum yang selama ini tidak diketahui, sehingga ahli waris dapat mengklaim saldo yang ada. Ini menunjukkan sisi positif dari upaya verifikasi ulang rekening.

Dari sisi penegakan hukum, PPATK melaporkan dampak positif yang signifikan: penurunan drastis deposit judi online di Tanah Air, mencapai 70% (dari lebih dari Rp5 triliun menjadi hanya Rp1 triliun). Angka ini menjadi bukti nyata efektivitas kebijakan dalam memerangi kejahatan yang merugikan masyarakat. PPATK juga menekankan bahwa tujuan utamanya adalah mendorong bank dan pemilik rekening untuk melakukan verifikasi ulang, memastikan rekening dan hak nasabah terlindungi, serta tidak disalahgunakan untuk berbagai kejahatan.

Meskipun PPATK telah memberikan jaminan dan menunjukkan hasil positif dalam menekan kejahatan, pertanyaan kritis tetap muncul: apakah klaim-klaim ini sepenuhnya menjawab keresahan masyarakat? Jaminan bahwa dana aman mungkin benar, tetapi keresahan publik bukan hanya tentang potensi kehilangan uang, melainkan juga tentang aksesibilitas, kenyamanan, dan rasa kepemilikan. Klaim "menguntungkan ahli waris" mungkin berlaku untuk kasus-kasus tertentu, tetapi tidak serta merta meredakan kekhawatiran jutaan nasabah aktif yang rekeningnya terblokir secara tak terduga, padahal mereka tidak terlibat dalam kejahatan apa pun.

Efektivitas komunikasi PPATK juga patut dipertanyakan. Meskipun telah mengeluarkan siaran pers dan memberikan pernyataan kepada media, gelombang keresahan yang terus berlanjut menunjukkan bahwa komunikasi ini belum sepenuhnya efektif menjangkau atau meyakinkan masyarakat luas. Masih ada persepsi bahwa kebijakan ini lebih banyak membatasi daripada melindungi.

Situasi ini mengungkap sebuah paradoks dalam konsep "perlindungan" yang ditawarkan. PPATK berulang kali menyatakan bahwa pemblokiran dilakukan "untuk melindungi kepentingan publik" dan "menguntungkan masyarakat", serta menjamin "uang nasabah tetap aman dan utuh". Namun, jika memang demikian, mengapa muncul keresahan yang meluas dan desakan untuk transparansi serta proses pemulihan yang lebih mudah?

Perlindungan yang ditawarkan PPATK adalah terhadap ancaman eksternal seperti kriminal dan pencucian uang. Akan tetapi, proses perlindungan ini, yaitu pemblokiran, justru menciptakan beban internal bagi pemilik rekening yang tidak bersalah. Beban pembuktian kini ada pada individu untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah dan mengaktifkan kembali rekening mereka , meskipun mereka tidak terlibat dalam kejahatan apa pun. Ini menciptakan paradoks perlindungan.

Meskipun niatnya adalah melindungi sistem keuangan dan, secara tidak langsung, masyarakat dari aktivitas ilegal, mekanisme yang diterapkan justru menempatkan beban pembuktian dan ketidaknyamanan yang signifikan pada warga negara yang berpotensi tidak bersalah. "Perlindungan" ini terasa kurang seperti perisai dan lebih seperti penyitaan akses sementara, yang menuntut upaya aktif dari pihak yang "dilindungi" untuk mendapatkan kembali hak mereka. Hal ini dapat menimbulkan persepsi bahwa negara terlalu jauh mencampuri urusan pribadi atau bahwa kebijakan ini dirancang lebih untuk kenyamanan regulasi daripada kemudahan publik, meskipun dengan niat yang baik.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Christina Natalia Setyawati