Di tengah era media sosial yang bergerak cepat, di mana tren datang dan pergi bak ombak yang bergulung tanpa henti, muncul satu fenomena yang berhasil mencuri perhatian warganet Indonesia: Sound Horeg. Awalnya terdengar sebagai istilah yang jenaka, nama ini justru membawa diskursus serius yang menyentuh berbagai dimensi sosial, budaya, hingga hukum.
Sound Horeg bukan sekadar pengulangan ritme atau efek suara khas TikTok. Ia adalah manifestasi dari denyut masyarakat lokal yang berpadu dengan teknologi digital. Dentuman bass yang menggelegar, visual gemerlap, hingga iring-iringan truk modifikasi adalah bagian dari ekspresi budaya baru, yang akarnya berasal dari tradisi arak-arakan masyarakat Jawa khususnya di daerah seperti Banyuwangi, Malang, dan Sidoarjo.
Dalam konteks budaya, fenomena Sound Horeg tidak bisa hanya dipandang sebagai hiburan yang mengganggu. Ia tumbuh dari kreativitas kolektif yang menggabungkan seni suara, teknologi audio, dan semangat komunal. Sebagai bentuk “adu sound” antar komunitas, Sound Horeg melahirkan ekosistem baru: dari jasa penyewaan sound system, bengkel modifikasi truk, hingga para teknisi audio lokal yang kini kebanjiran pesanan.
Daya tarik Sound Horeg begitu besar. Tidak hanya menjadi tontonan di media sosial, ia juga menjelma menjadi medium ekspresi dan identitas budaya masyarakat pinggiran. Bahkan, Kementerian Hukum dan HAM mulai melirik potensi Sound Horeg sebagai Kekayaan Intelektual Komunal yang bisa dipatenkan. Ini menunjukkan pengakuan negara atas bentuk-bentuk baru dari kreasi budaya lokal, yang tumbuh secara organik dan otentik.
Namun di balik geliat kreatifnya, tak dapat dipungkiri bahwa fenomena ini menimbulkan persoalan serius di tingkat sosial. Suara keras dan dentuman bass dari Sound Horeg kerap kali digunakan secara tidak bijak: larut malam, tanpa izin, atau dalam wilayah pemukiman padat. Kebisingan hingga 135 desibel yang dihasilkan jauh melebihi ambang batas aman menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Akibatnya, muncul keluhan dari warga soal kaca rumah yang retak, dinding yang bergetar, bahkan gangguan pendengaran dan stres berkepanjangan.
Peristiwa demi peristiwa menjadi bukti bahwa Sound Horeg telah menjadi isu lintas sektor. Dari dugaan kerusakan infrastruktur publik hingga potensi konflik sosial antarwarga. Salah satunya yang mencuat adalah insiden di Pati, Jawa Tengah, ketika seorang ibu nyaris dikeroyok karena menegur iring-iringan Sound Horeg. Peristiwa ini menunjukkan bahwa euforia tanpa regulasi bisa berubah menjadi bara konflik sosial yang berbahaya.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa negara dan masyarakat sedang menghadapi tantangan dalam merumuskan tata kelola ruang publik yang adil. Di satu sisi, kita ingin mendukung ekspresi budaya dan kreativitas lokal. Namun di sisi lain, kita juga harus menjamin hak atas ketenangan dan kenyamanan lingkungan bagi semua warga.
Untuk itu, sudah waktunya pemerintah daerah bersama aparat keamanan, tokoh masyarakat, dan komunitas Sound Horeg duduk bersama merumuskan regulasi yang tepat. Bukan untuk mengekang, melainkan untuk mengarahkan. Penetapan zona khusus, batasan waktu penggunaan, sertifikasi teknis sound system, hingga pelatihan kesadaran sosial bagi pelaku komunitas bisa menjadi langkah awal.
Lebih jauh, pendekatan berbasis dialog harus menjadi landasan utama. Perlu ada ruang mediasi yang memungkinkan warga menyampaikan keluhan secara formal, tanpa harus menghadapi risiko kekerasan atau stigma. Komunitas Sound Horeg pun mesti didorong untuk menjadi bagian dari solusi; mengatur diri, menjunjung etika ruang publik, dan memahami bahwa kreativitas tanpa empati hanya akan menghasilkan kekacauan.
Sound Horeg adalah bagian dari narasi besar tentang bagaimana budaya populer Indonesia berkembang di era digital. Ia bisa menjadi sumber kekuatan ekonomi baru, sekaligus ruang ekspresi kreatif bagi anak muda. Namun, keberlangsungannya akan sangat bergantung pada sejauh mana masyarakat mampu mengelolanya secara bijak agar dentuman yang tercipta bukan hanya mengguncang dinding rumah, tetapi juga membangkitkan kesadaran kolektif tentang pentingnya hidup bersama secara harmonis.
Baca Juga
-
Nasib Masyarakat Pesisir di Tengah Gelombang Ancaman Krisis Iklim
-
Memutus Rantai Perundungan di Sekolah Melalui Literasi Hukum Sejak Dini
-
Delman di Tengah Asap Kota: Romantisme yang Menyembunyikan Penderitaan
-
Satu Tahun Prabowo Gibran: Antara Kepuasan Publik dan Kegelisahan Kolektif
-
Menelusuri Jaringan Pasar Gelap Satwa Liar dan Lengahnya Negara
Artikel Terkait
-
Miris! Kondisi Medan Zoo Viral Lagi: Hewan Stres, Kandang Kotor Tak Terurus
-
Warga Kediri Diteror Sound Horeg Usai Protes, Musik Diputar di Depan Rumahnya sampai Malam
-
Viral Pria Curhat Diperas Gadai Motor Rp 500 Ribu, Saat Menebus Malah Diminta Setengah Juta
-
Dijuluki Penemu Sound Horeg, Thomas Alva Edi Sound Akhirnya Klarifikasi
-
Viral 4 Bumbu Dapur Asal Indonesia Kena Label Pemicu Kanker di California AS, Ini Daftarnya!
Kolom
-
Marissa Anita dan Perfeksionisme: Tak Ada Ruang untuk Setengah-Setengah
-
Drone Dilarang, Tambang Bebas Jalan: Ada Apa dengan Konservasi Kita?
-
Banjir Sumatra dan Mimpi Indonesia Emas: Mau Lari ke Mana Kalau Lantainya Amblas?
-
Kelapa Sawit: Sama-sama Pohon, tapi Tak Bisa Gantikan Fungsi Hutan
-
Meninjau Ulang Peran Negara dalam Polemik Arus Donasi Bencana
Terkini
-
5 Ide Mirror Selfie ala Ji Chang Wook, Kunci Tampil Cool dan Karismatik!
-
Takut Kehilangan Lagi, King Nassar: Surga Aku Tinggal Mama!
-
5 Kegiatan Seru buat Mengusir Rasa Sepi di Yogyakarta
-
Pikir Dua Kali Sebelum Menebang Pohon, Ini 5 Dampak yang Sering Diabaikan
-
Konflik Memanas, Ari Lasso Gandeng Pengacara untuk Hadapi Ade Tya