Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Shintia Rahma
Ilustrasi Panen Padi (Dok. Pribadi/Binar Septiana Putri)

Masyarakat Jawa adalah salah satu masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Menurut Saksono dan Dwiyanto (2012) dalam Listyani, et al (2020) masyarakat Jawa melakukan ritual atau upacara dalam rangka mencari keselamatan hidup. Tradisi atau upacara ini telah dilakukan masyarakat sebelum mengenal adanya agama yang diakui pemerintah.

Namun dalam hal mencari keselamatan hidup dalam bertani pada masyarakat Jawa sejak dahulu sampai sekarang umumnya masih menggunakan cara-cara tradisional baik dalam hal teknis maupun berkaitan dengan sistem kepercayaan, penyelenggaraan upacara yang berkaitan dengan pertanian. Upacara yang masih dilakukan masyarakat Jawa salah satunya adalah Tradisi Wiwitan. Tradisi ini juga dilakukan oleh masyarakat petani di Desa Karangtengah.

Karangtengah merupakan salah satu desa yang berlokasi di Kecamatan Jatirogo, Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur. Sebagian besar wilayahnya berupa pertanian sehingga mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani, khususnya petani padi.

Berdasarkan hasil wawancara kepada narasumber yang merupakan seorang petani padi di Desa Karangtengah bernama Bapak Samuji, Tradisi Wiwitan masih dilakukan oleh masyarakat petani di Desa Karangtengah hingga sekarang. Pak Samuji menyampaikan bahwa Tradisi Wiwitan merupakan ritual persembahan oleh petani yang dilakukan sebelum panen padi yang telah turun temurun dilakukan oleh sesepuh atau nenek moyang. Disebut sebagai ‘Wiwitan’ karena arti ‘wiwit’ adalah ‘mulai’, yaitu memotong padi sebelum panen dilaksanakan. 

Dalam tradisi ini terdapat ubo rampe (seperangkat makanan, minuman, piranti, atau alat yang digunakan untuk ritual) yang dibawa ke sawah kemudian didoakan oleh pemuka agama setempat. Biasanya masyarakat sekitar atau petani akan berkumpul di sawah dan makan bersama setelah ubo rampe didoakan oleh pemuka agama.

Menurut penuturan Pak Samuji, Tradisi Wiwitan merupakan bentuk rasa syukur kepada sang penguasa yang telah memberikan limpahan rezeki kepada petani atas hasil panen padi dan memiliki tujuan agar diberikan keselamatan serta mendapat hasil panen yang melimpah. Selain itu tradisi ini juga sebagai sarana warga desa mempererat hubungan silaturahmi satu dengan yang lain.

Pelaksanaan Tradisi Wiwitan melalui berbagai rangkaian acara mulai dari penentuan hari, persiapan ubo rampe, membawa ubo rampe ke sawah, pembacaan doa dan pemotongan padi. Masyarakat jawa masih sangat kental dengan tradisi sehingga masih mengikuti ajaran nenek moyang dalam melaksanakan kegiatan besar perlu menghitung dan menentukan hari baik menurut kalender Jawa (pon, wage, kliwon, legi, pahing) agar hasil yang diperoleh semakin berkah dan tidak terjadi malapetaka.

Setelah penentuan hari ini baik yang selanjutnya dilakukan adalah mempersiapkan ubo rampe seperti nasi, sambel gebel, telur ayam kampung (endhog pitik), pisang (gedhang), kupat lepet (ketupat dan lepet), bunga setaman, kinang, kembang telon, cermin, sisir dan uang koin. Setiap ubo rampe yang digunakan dalam Tradisi Wiwitan memiliki makna, diantaranya: 

1. Nasi berbentuk kerucut (tumpeng) dan di sekitar tumpeng sambel gebel.

Tumpengan artinya tumuju marang Pangeran, sebagai simbol bahwa manusia yang hidup harus ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hidup manusia bertujuan untuk menyembah Tuhan. Manusia harus ingat siapa yang menghidupkan dan mematikan.

2. Telur ayam (endhog pitik) yang dipakai adalah telur ayam kampung mentah.

Endhog pitik yaitu urip ojo nganti kecelik, artinya hidup jangan sampai salah arah atau salah perhitungan.

3. Pisang (gedhang) yaitu gesang ora mung madhang, artinya hidup tidak hanya untuk makan.

4. Kupat lepet (ketupat dan lepet), kupat artinya ngaku lepat atau mengakui kesalahan dan lepet artinya mangga dipun silep ingkang rapet atau mari kita kubur dengan rapat. Kupat lepet merupakan simbol pengakuan dosa dari manusia. Setelah melakukan kesalahan hendaknya kita meminta maaf, saling mengubur kesalahan dan mempererat persaudaraan.

5. Bunga Setaman, adalah bunga yang dicampur dengan bunga lainnya. Kembang Setaman yaitu urip ning dunya koyo guyonan, kebak tontonan, artinya hidup di dunia seperti lelucon, penuh dengan drama.

 6. Kembang Telon, artinya urip ojo ninggal telung perkara; naluri, agami, lan nagari, artinya hidup jangan meninggalkan tiga permasalahan yaitu naluri, agama, dan negara.

7. Kinang, bermakna mengenang atau meminang jiwa (jiwa meminang raga). Selain itu kinang melambangkan tentang kehidupan yang saling melengkapi atau saling kait mengait antara satu dan lainnya sehingga menjadi lengkap. 

8. Cermin dan Sisir, menyimbolkan Dewi Sri yang merupakan Dewi Padi. Digambarkan sebagai Dewi dan Dewi itu perempuan maka seorang perempuan biasanya suka berdandan.

9. Uang koin (klowoh) memiliki makna untuk melengkapi jika terdapat kekurangan dalam sesaji. 

Tiba saat hari panen petani berbondong-bondong ke sawah dengan membawa ubo rampe yang telah disiapkan. Prosesi Wiwitan dimulai dengan meletakkan ubo rampe di pojok sawah. Kemudian pemuka agama mulai memanjatkan doa-doa sambil membakar merang (batang padi yang sudah kering). Kemudian memotong beberapa batang padi yang berada di pojok sawah menggunakan ani ani (alat pemotong padi).

Setelah ritual selesai dilakukan, biasanya petani membagikan hidangan ubo rampe yang sudah disiapkan kepada warga sekitar. Tak hanya petani, setiap warga boleh mengikuti tradisi Wiwitan tersebut tanpa terkecuali dan memakan makanan yang sudah disiapkan bersama-sama. Karena itu, tradisi upacara adat Wiwitan juga merupakan wujud menjalin hubungan silaturahmi warga satu dengan yang lain.

Referensi: Listiyani B, Sunardi, Wuryani E. 2020. Membangun Karakter dan Budi Pekerti Petani Melalui Tradisi Wiwitan di Desa Gilangharjo Pandak Bantul. Crikserta  J Pendidik Sej. 9(1):59–71.

Shintia Rahma