Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Puteri Syarfina
Gambar ini menunjukkan alat berat excavator listrik untuk pekerjaan restorasi di lokasi longsor di Joban Expressway di Soma, prefektur Fukushima pada 14 Februari 2021, setelah gempa bumi. STR / JIJI PRESS / AFP

Negara Jepang memiliki letak geografis yang berada di area sirkum pasifik, di mana aktivitas vulkanik dan seismik berlangsung secara konstan. Jepang juga berada di wilayah Pasific Ring of Fire atau wilayah cincin dengan gempa paling aktif di dunia. Terlebih lagi, Jepang memiliki sekitar 7% dari total gunung aktif di dunia. Banyak gempa bumi baik kecil maupun besar yang terjadi di Jepang, dan tak sedikit pula gempa bumi ini menyebabkan bencana lain seperti tsunami, bocornya reaktor nuklir, kebakaran, roboh atau runtuhnya bangunan, dan masih banyak lagi.  

Berbagai bencana alam yang melanda Jepang membawa banyak kerugian. Baik kerugian di sektor finansial maupun banyak jatuhnya korban jiwa. Contohnya adalah gempa Kobe yang membawa kerugian tercatat sebesar US$ 120 juta. Selain gempa Kobe, gempa yang terjadi pada Maret 2011 di 130 kilometer lepas pantai Sendai, tenggara Pulau Honsu yang berkekuatan 9.0 magnitudo ini juga menjadi salah satu penyebab kerugian Jepang. Tak hanya bangunan, kerusakan juga terjadi pada sarana publik seperti jalan, rel kereta, serta jembatan yang terputus. 

Bencana alam yang memberikan dampak besar di berbagai sektor Jepang khususnya sosial dan politik adalah bencana gempa dan tsunami Jepang pada tahun 2011 ini. Gempa ini telah menelan ribuan korban jiwa, merusak bangunan dan sarana publik, bahkan juga merusak pembangkit listrik tenaga listrik yang merupakan penghasil listrik utama negara Jepang. Dampak yang diberikan oleh berbagai bencana ini tentunya tidak hanya sekedar kerugian finansial atau ekonomi dan korban jiwa saja, namun juga membawa dampak lain pada sektor sosial masyarakat maupun sektor politik dalam negeri maupun politik luar negeri Jepang.

Seringnya dilanda bencana membuat Jepang menjadi negara yang cukup menjadi sorotan perihal penanganan dan usaha pembangunan kembali pasca bencana. Penanganan ini pun tidak hanya dilakukan dalam segi infrastruktur, namun juga usaha membentuk pola pikir masyarakatnya untuk menjadi masyarakat yang waspada dan tanggap akan bencana. Pembentukan pola pikir ini jelas tidak terjadi secara spontan, namun melalui proses-proses yang diterapkan selama beberapa periode waktu. Proses ini termasuk dalam proses mitigasi bencana

Di negara Jepang, penanaman kesadaran akan kesigapan dan tanggap terhadap bencana alam ditandai dengan diperingatinya Bousai no Hi atau Hari Pencegahan Bencana yang diperingati setiap tanggal 1 September dan dilaksanakan selama satu pekan, yaitu dari tanggal 30 Agustus hingga tanggal 5 September. Pekan ini dikenal sebagai Bousai Shuukan atau Pekan Pencegahan Bencana. Selama satu pekan ini, dilaksanakan berbagai aktivitas yang dimaksudkan sebagai proses atau bentuk penanaman edukasi dan kesadaran penduduk dalam kewaspadaan dan kesigapan bencana. Latihan yang dilaksanakan antara lain latihan menghadapi bencana kebakaran, praktik pertolongan pertama pada korban bencana alam, dan lain-lain.

Selain proses mitigasi bencana yang ditanamkan pada penduduk Jepang, proses mitigasi bencana di Jepang juga dilakukan melalui ditetapkannya regulasi kebijakan yang mengutamakan fokus pengaturan hukum dalam pencegahan, kesiapsiagaan, tanggap darurat, sampai dengan rehabilitasi rekonstruksi. Contoh regulasi yang telah ditetapkan dalam konstruksi bangunan di Jepang adalah semua bangunan yang akan dibangun harus mengikuti aturan dan persyaratan yang ditetapkan pemerintah.

Persyaratan itu antara lain, bangunan yang dibangun harus dijamin tidak runtuh akibat gempa bumi dalam 100 tahun ke depan dan dijamin tidak akan rusak dalam 10 tahun pembangunan. Tak hanya itu, semua bahan yang digunakan dalam konstruksi juga harus mengikuti aturan ketat dari pihak yang berwenang.  

Menjadi negara yang sering dilanda bencana alam tidak menjadikan Jepang sebagai negara yang enggan maju karena terpuruk dalam kerugian konstruksi perbaikan pasca bencana. Sebaliknya, pemerintah Jepang sigap mengambil keputusan dan mengubah bahkan merevisi penuh peraturan regulasi dan aturan standar bangunan di negaranya. Proses penanggulangan bencana yang dilakukan Jepang berjalan dengan sangat baik. Terlebih Jepang juga mengedepankan dan memutakhirkan teknologi yang ada dalam proses ini. 

Sumber: 

Widiandari, A. (2021). Penanaman Edukasi Mitigasi Bencana pada Masyarakat Jepang. Kiryoku: Jurnal Studi KeJepangan, 5(1), 26-31.

Savitri, dkk. (2021). PELAJARAN PADA MANAJEMEN BENCANA DI JepangUNTUK TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 8(1), 142-157.

Puteri Syarfina