Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fathin Robbani Sukmana
Ilustrasi sekolah.[Pexels.com/Pixabay]

“Rancangan UU Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Tidak Masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023”. Baru saja, saya membaca beberapa media massa, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) tidak RUU SISDIKNAS pembahasannya terhenti karena tidak masuk dalam prioritas menurut perwakilan yang juga kader-kader partai.

Sebelumnya, konten tentang anggota DPR RI yang sedang raker dengan Mas Menteri dan tim kemendikbudristek yang memprotes kebijakan-kebijakan terbarunya. Khususnya program yang membuat guru PPPK terlantar dan belum mendapatkan haknya.

Ditambah lagi, banyak suara-suara sumbang tentang kebijakan merdeka belajar menjadi naik. Dan suara yang sangat nyaring adalah kesejahteraan guru dan juga teknis yang merepotkan membuat para pelaksana pendidikan di bawah “menjerit”.

Perjalanan RUU SISDIKNAS

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau SISDIKNAS sudah berusia lebih dari 20 tahun. Perkembangan kehidupan sudah berubah begitu signifikan, namun UU Pendidikan yang dimiliki Indonesia masih berjalan di tempat.

Dunia pendidikan saat ini sudah mengalami banyak perubahan, bukan hanya dari sisi teknis seperti digitalisasi, tetapi pemahaman tentang pendidikan cukup banyak berubah. Seperti yang sering saya katakan, saat ini sudah memasuki era kolaborasi tapi pendidikan kita masih memiliki pandangan kompetisi.

Tentu, dengan munculnya RUU SISDIKNAS menjadi setitik harapan di antara kegelapan jalan pendidikan Indonesia. Namun tetap, sebuah perubahan pastinya akan menerima banyak persetujuan dan juga penolakan. Tujuannya untuk membuat regulasi bisa diterima semua pihak.

Posisi RUU SISDIKNAS sebetulnya masih dalam tahap perencanaan. Kita ketahui bersama dalam membentuk Undang-undang, perlu melewati beberapa tahap sesuai dengan UU Nomor 12  Tahun 2011 tentang tata cara penyusunan perundang-undangan.

Dalam menyusun RUU, perlu melewati beberapa tahapan yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan serta akhirnya pengesahan. Namun sepertinya penyusunan dan pembahasan tidak akan dibahas di tahun 2023.

Namun, berbeda dari penyusunan UU yang lain. RUU Pendidikan mengambil konsep sapu jagat atau omnibus law. RUU SISDIKNAS menggabungkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen lalu UU Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.

Penggabungan UU ini sesuai dengan makna Omnibus law sesuai yang dijelaskan Black’s Law Dictionary (1990) yang menjelaskan bahwa Omnibus artinya seluruhnya atau mengandung hal yang berdiri sendiri seperti RUU yang terdiri dari lebih satu objek.

Penjelasan omnibus law lainnya adalah sebuah RUU yang terdiri dari bagian terpisah dan membuat atau berupaya menggabungkan menjadi satu undang-undang baru (House of Commons, Glossary of Parliamentary Procedure, 2011: 38)

RUU SISDIKNAS yang memakai metode omnibus law ini sebetulnya mempermudah seluruh pihak terkait untuk memahami regulasi, karena tiga undang-undang digabungkan menjadi satu dan memiliki makna yang luas.

Regulasi Pendidikan: Pedang Bermata Dua

Saat ini regulasi “sapu jagat” pendidikan atau RUU SISDIKNAS masih menjadi pedang bermata dua atau dua sisi koin. Dalam satu regulasi masih memiliki hal positif dan negatif. Makanya masih terjadi perdebatan dan diskusi yang panjang di berbagai kalangan yang peduli pendidikan.

Satu sisi, RUU SISDIKNAS merupakan perwujudan perubahan pendidikan dengan mempermudah regulasi tentang kurikulum untuk mempermudah warga di kalangan pendidikan. Misal dengan adanya merdeka belajar membuat guru dan murid berkembang.

Ujian bukan lagi sebuah patokan, dalam RUU ini, minat dan bakat diutamakan untuk kesuksesan siswa. Serta membuat guru lebih banyak belajar dan berkarya sehingga mereka maksimal dalam menjalankan tugas sebagai pendidik.

Tidak hanya itu, munculnya RUU ini membuat tenaga pengajar PAUD dan Pesantren diakui sebagai guru yang di UU sebelumnya tidak diakui. Selain itu proses belajar pesantren formal akan semakin mudah dalam pelaksanaannya.

Terakhir, di pendidikan tinggi PTN berbadan hukum dapat melakukan akselerasi transformasi layanan dan kualitas pembelajaran tanpa mengurangi pembiayaan sehingga tujuan pendidikan tinggi dapat tercapai.

Namun sayang, sisi lain RUU SISDIKNAS ini masih belum mengatur secara rinci atau belum memasukkan nomenklatur pendapatan guru dan dosen. Sehingga masih banyak sedikit “kericuhan” yang menyebabkan UU ini belum menjadi prioritas pembahasan di DPR.

Lalu implementasi merdeka belajar di sekolah dan kampus belum meluas dan dipahami oleh seluruh tenaga pendidik. Sehingga RUU ini jika segera dibahas akan memberatkan mereka para pejuang masa depan bangsa tanpa tanda jasa.

Namun dengan tidak masuknya RUU SISDIKNAS ke dalam Prolegnas 2023 bisa menjadi bahan diskusi bagi para pihak yang berfokus pada pendidikan.  Sebetulnya publik bisa berpartisipasi dalam perencanaan RUU ini melalui sisdiknas.kemdikbud.go.id

Kesempatan ini seharusnya dimanfaatkan dengan mulai riset, diskusi, rapat dengar pendapat bahkan membentuk tim khusus untuk membahas ‘jalan berlubang’ di RUU SISDIKNAS. Sehingga amanah Undang-Undang Dasar dalam mencerdaskan anak bangsa bisa terwujud.

Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Kebijakan Publik

Fathin Robbani Sukmana