Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Nur Divayanti
Ilustrasi Biara Agama Budha Tibet (pixabay.com/images/id)

Setelah menandatangani perjanjian perdamaian dengan menyetujui 17 poin perjanjian pada 1951, Tiongkok setuju dan berjanji untuk memberi status Otonomi Khusus kepada Tibet. Namun, hal ini dirasa hanya sebagai sebuah simbol dan janji semu saja, karena hingga saat ini masih banyak hak dan aktivitas sosial serta keagamaan masyarakat Tibet yang dilarang oleh pemerintah Tiongkok.

Terletak di dataran tinggi Tiongkok dan diberi nama Xizang oleh Tiongkok, Tibet memiliki luas 1.228.400 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 4.593.1000 jiwa, Tibet dijuluki sebagai “Negeri Atap Dunia” karena terletak pada ketinggian 4.000 meter diatas permukaan laut.

Terletak dekat dengan Daerah Otonomi Uighur Xinjiang dan Provinsi Qinghai serta berbatasan langsung dengan Myanmar di bagian selatan, Tibet menjadi salah satu provinsi yang berikan status otonomi khusus oleh Pemerintah Tiongkok. Dipimpin oleh seorang Dalai Lama sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di dalam Pemerintahan Otonomi Tibet, Dalai Lama merupakan tokoh spiritual Buddhisme.

Sejarah mengenai konflik Tibet dan Tiongkok dimulai pada saat 1910 Tiongkok mencoba menduduki Lasha yang merupakan wilayah Ibu kota dari Tibet, hal ini berhasil menyebabkan pengasingan Dalai Lama-13 saat itu, namun hal ini gagal dilakukan Tiongkok. Lalu pada tahun 1950, tepat saat berdirinya rezim komunis di Tiongkok, mereka kembali melakukan invasi ke Tibet dengan dalih bahwa Tibet pernah menjadi bagian dari kekuasaan kekaisaran Tiongkok.

Selain karena alasan perluasan geografi dan wilayah pertahanan, sumber daya alam berlimpah yang dimiliki Tibet menjadi alasan terjadinya invasi Tiongkok ke Tibet.

Pada tahun 1959, masyarakat Tibet melakukan pemberontakan besar-besaran setelah mendengar bahwa Tiongkok merencanakan sebuah penculikan untuk menculik Dalai Lama-14 yang saat itu masih remaja, hal tersebut memancing kemarahan masyarakat dan biksu di Tibet. Kondisi ini membuat Dalai Lama ke-14 harus melakukan pengasingan dan dalam pengasingannya Dalai Lama-14 memutuskan untuk mengambil jalan tengah atas kekacauan yang terjadi.

BACA JUGA: Prediksi Meksiko vs Polandia di Grup C Piala Dunia 2022, Antara Sejarah dan Performa

Dengan mengakui legitimasi kekuasaan Tiongkok atas Tibet dan menyetujui 17 butir Perjanjian Perdamaian pada 1951. Dalai Lama-14 meminta syarat agar Tibet diberikan penghargaan sebagai sebuah wilayah pemerintah yang otonom, dan meminta Tiongkok untuk segera menarik tentaranya dari Tibet saat itu.

Namun, yang terjadi di banyak pemberitaan hingga saat ini, terlihat pemberian status atas otonomi daerah Tibet terlihat hanya harapan semu dan kebohongan semata Tiongkok. Sebab, Partai Komunis Tiongkok terlihat masih saja menerapkan aturan bagi anak-anak usia sekolah untuk mengikuti kegiatan keagamaan selama libur musim panas. Selain itu, pemerintah Tiongkok semakin memperketat pengawasan atas aktivitas keagamaan.

Pemerintah Tiongkok juga melarang adanya kelas resmi untuk pelajaran Bahasa Tibet untuk anak usia sekolah. Mereka juga melarang adanya pengibaran bendera doa yang menjadi simbol suci Tibet dan meminta untuk hanya mengibarkan bendera resmi Tiongkok saja. Hal ini membuat banyak pihak yang berasumsi bahwa status otonomi khusus yang diberikan pada Tibet hanyalah sebuah simbol dan janji semu saja dari pemerintah Tiongkok. 

Video yang Mungkin Anda Suka.

Nur Divayanti

Baca Juga