Setiap pejabat yang memberikan pernyataan kepada publik kerap kali mengalami blunder dalam berkata-kata. Akibatnya, respons di jejaring media sosial atau di mata publik memunculkan banyak persepsi negatif yang tidak sesuai dengan fakta. Mulai dari beredarnya komentar, video pendek, dan postingan yang pada akhirnya dikatakan hoaks.
Memberi keterangan yang kurang jelas, tidak sistematis, dan membingungkan bisa menyulut emosi publik. Hal ini terjadi karena para pejabat minim dalam menguasai seni berbicara atau yang biasa disebut dengan retorika. Padahal, ilmu ini penting untuk digunakan oleh para pejabat agar dapat meminimalkan miskomunikasi.
Setelah mendalami ilmu retorika, seseorang akan selalu berbicara berdasarkan data dan fakta yang ada dan apa adanya. Kemudian, tidak akan berargumen secara berlebihan yang seakan-akan meyakinkan publik bahwa kondisi seolah-olah baik-baik saja. Pernyataan opini yang dilontarkan kerap didukung oleh bukti yang valid.
Kata-kata yang diucapkan oleh pejabat merupakan representasi dari seorang pemimpin. Dalam setiap pernyataannya, mereka berbicara dengan membawa nama negara atau lembaga, sehingga dapat menggambarkan kondisi yang terjadi saat ini. Ketika pernyataan pejabat justru dicemooh oleh publik, hal ini menandakan bahwa terdapat masalah dalam seni berbicara yang digunakan.
Bahkan, kondisi ini dapat menimbulkan dugaan di kalangan opini publik bahwa para pejabat sedang menyembunyikan udang di balik batu agar tidak terbongkar di media massa yang dapat berakibat fatal. Persoalan ini diakibatkan pejabat lebih mementingkan berbicara daripada memahami pentingnya konteks yang disampaikan.
Meskipun begitu, ilmu retorika juga dapat berdampak negatif karena bisa dengan mudah memanipulasi persepsi publik. Jika dilihat, pejabat hari ini memainkan peran penting di antara kedua perspektif. Entah itu lemah dalam beretorika atau ahli dalam membual. Di sisi lain, publik pasti bisa menilai pejabat mana saja yang cocok dapat dikelompokkan dari setiap perspektif tersebut.
Contoh nyata yang sudah terjadi akhir-akhir ini adalah ungkapan menteri soal rencana bantuan olahraga yang dikirimkan untuk korban bencana di Sumatra. Ada pula yang mengatakan bahwa bencana yang terjadi tidak semencekam di media sosial.
Alhasil, respons publik terhadap pernyataan tersebut dijadikan sebagai sebuah lelucon. Walau niat awalnya baik untuk membantu, pernyataan tetap tidak tepat dilontarkan berdasarkan waktu dan kondisi saat itu. Kasus ini menggambarkan bagaimana retorika pejabat dari sisi penyampaian pesan masih begitu lemah.
Ketika situasi masih memburuk dan bantuan utama yang dibutuhkan oleh korban bencana adalah sandang, pangan, dan papan. Maka seharusnya setiap elemen pemerintah fokus membicarakan bantuan yang menjadi prioritas utama terlebih dahulu, sedangkan bantuan alat olahraga bisa dibicarakan pada fase pemulihan atau pascabencana.
Seorang pemimpin sudah seyogianya memiliki gaya retorika yang baik dalam berkomunikasi disertai dengan etos kerja nyata sebagai bukti. Antara keduanya harus saling mendukung satu sama lain agar dapat membangun komunikasi yang efektif dan menghasilkan dampak nyata.
Namun, jika harus memilih salah satu, banyak yang berpendapat bahwa kinerja nyata adalah yang paling krusial, karena hasil kerja yang konkretlah yang secara langsung memperbaiki kehidupan publik, sementara retorika hanyalah alat untuk menyampaikan hasil tersebut.
Harapannya, para pejabat dapat belajar untuk berbicara menyesuaikan dengan waktu yang tepat, menjelaskan suatu isu dengan objektif dan faktual, tidak bertele-tele dan informasi jelas tersampaikan kepada publik. Bila retorika pejabat tidak diperhatikan di masa kini, maka kepercayaan publik akan menurun dan hilang.
Baca Juga
-
CERPEN: Catatan Krisis Demokrasi Negeri Konoha di Meja Kantin
-
Kecurangan Pelaksanaan TKA 2025: Cermin Buram Rapuhnya Nilai Integritas?
-
Menimbang Kesiapan TKA 2025: Dari Gangguan Server hingga Suara Siswa
-
Dana Masyarakat: Antara Transparansi Pemerintah dan Tanggung Jawab Warga
-
Evaluasi Program MBG: Transparansi, Kualitas, dan Keselamatan Anak
Artikel Terkait
-
Sri Sultan HB X: Melawan Korupsi Dimulai dari Perkelahian Batin Seorang Pejabat
-
Prahara Dakwaan Korupsi MA: Eksepsi Nurhadi Minta Jaksa KPK Perjelas Dasar Tuduhan Pidana
-
Toleransi Rasa Settingan: Drama Murahan dari Pejabat yang Kehabisan Akal
-
Purbaya Temui Bahlil, Bahas Potensi Kekurangan LPG 3Kg Jelang Nataru
-
Gebrakan Pramono Anung Lantik 2.700 Pejabat Baru DKI Dalam 2 Pekan, Akhiri Kekosongan Birokrasi
Kolom
-
Deforestasi: Investasi Rugi Terbesar dalam Sejarah Pembangunan Indonesia
-
Di Antara Ombak & Bukit Hijau, Harapan Way Haru Tak Pernah Tumbang
-
Logika Sesat dan Penyangkalan Sejarah: Saat Kebenaran Diukur dari Selembar Kertas
-
Mudah Marah ke Orang Tua tapi Ramah ke Orang Lain? Begini Kata Psikolog
-
Janji Kesetaraan Tinggal Janji, Pesisir Masih Tak Aman bagi Perempuan
Terkini
-
Aktris Hailee Steinfeld Nantikan Anak Pertama usai Tujuh Bulan Menikah
-
Sarat Isu Kemanusiaan, Anime The Darwin Incident Siap Tayang Januari 2026
-
Curi Perhatian di The Price of Confession, Ini 3 Drama Lain Jeon Do Yeon
-
Saat Gen Z Jogja Melawan Stres dengan Merangkai 'Mini Hutan'
-
Sinopsis Film Nobody, Sukses Cetak Rekor Box Office di China