Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Rifa Nurhanifa
Ilustrasi anak sekolah (Unsplash/Bayu Syaits)

Sistem penerimaan siswa baru di Indonesia sudah beberapa waktu kebelakang menerapkan sistem zonasi, yakni siswa yang diterima salah satunya berdasarkan jalur domisili tempat tinggal yang berada dalam lingkup sekolah negeri di daerah yang sama dan dalam jarak tertentu.

Sejak pertama kali diterapkan di tahun 2017, sistem zonasi ini telah menuai pro dan kontra.

Mulai dari permasalahan geografis yakni keberadaan sekolah yang tidak merata di setiap wilayah, komposisi siswa yang heterogen sehingga menyebabkan guru harus menyesuaikan metode ajar yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, sampai sekolah yang tidak memiliki pendaftar dan murid yang tidak sampai memenuhi kuota kelas karena kebijakan zonasi menjadi pertimbangan orang tua siswa yang cukup mampu untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta.

Kebijakan zonasi sendiri diterapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya yaitu Muhadjir Effendy yang juga berpendapat bahwa penerimaan peserta didik baru jalur zonasi bertujuan untuk menghapus predikat sekolah favorit.

Hal ini juga tertuang pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 tahun 2017, No. 14 Tahun 2018, dan No. 51 Tahun 2018, bahwa zonasi memiliki tujuan untuk meningkatkan layanan pendidikan sekolah negeri tanpa melihat kelas ekonomi orang tua siswa.

Selain permasalahan internal sekolah, dampak dari jalur penerimaan zonasi ini juga dikeluhkan oleh sebagian orang tua murid karena dikabarkan ada oknum tertentu yang mensyaratkan sejumlah uang untuk "menitipkan" ke pihak internal sekolah ataupun memiliki kerabat pemerintah yang memiliki jatah memasukan siswa.

Ada pula yang menawarkan jasa pindah kartu keluarga untuk menyesuaikan domisili agar siswa dapat masuk ke sekolah pilihannya. Nama siswa tersebut akan dialihkan sementara ke kartu keluarga salah satu masyarakat yang memiliki kediaman dekat dengan sekolah, sehingga bisa masuk pada kategori zonasi sekitar sekolah.

Miris memang, tapi itulah kenyataannya. Oknum tertentu meraup keuntungan berkat "bisnis" ini setiap tahun ajaran baru dibuka. Menjadi rahasia umum bagi masyarakat yang seakan tidak bisa dicegah dan disembuhkan.

Jalur penerimaan peserta didik baru ini tentu melibatkan banyak pihak dari mulai pemerintah yang menentukan kebijakan sampai orang tua dan siswa sebagai pengguna dari sistem yang diterapkan dalam pendidikan.

Evaluasi secara berkala tentu harus terus dilakukan untuk mewujudkan iklim belajar yang baik, nyaman dan menstimulus siswa agar bisa menyongsong masa depannya. Selain itu, dibutuhkan langkah tegas untuk mencegah berbagai macam kecurangan yang terjadi dalam proses penerimaan peserta didik baru di Indonesia.

Rifa Nurhanifa

Baca Juga