Woozi SEVENTEEN baru-baru ini merajai trending di Twitter setelah dituduh oleh BBC menggunakan AI dalam karyanya. Hal ini terjadi karena media berita tersebut salah menangkap maksud omongan dari idola asuhan Pledis Entertainment ini.
Saat perilisan lagu “Maestro”, Woozi berkata bahwa ia mencoba AI yang ternyata bisa digunakan untuk menulis lagu. Hal ini ia lakukan hanya untuk coba-coba kemudian ia beradaptasi dengan teknologi.
Pemilik nama Lee Jihoon ini melakukannya untuk menemukan kelemahan AI kemudian disempurnakan melalui karya yang ia ciptakan sendiri. Hal inilah yang ingin ia tonjolkan dalam lagu “Maestro” bahwa AI sangat berbahaya bagi pencipta seni seperti musisi.
Namun alih-alih mengeluh, mengapa kita tidak bereksperimen kemudian beradaptasi dan menemukan kelemahannya.
Kasus ini mungkin relevan dengan banyak penulis. Karena kehadiran AI tidak hanya membuat kaget dan mempengaruhi para musisi, tapi juga penulis seperti saya.
Dimana sejak kehadiran AI, membuat karya tulis bisa begitu mudah dan hanya sekejap mata. Sehingga mungkin seperti ketakutan para musisi, para penulis juga memiliki kekhawatiran akan tergeser dengan teknologi ini.
Hadirnya AI tidak hanya membuat olahan karya menjadi mudah dan cepat. Namun juga mempengaruhi Google sebagai media para penulis mempublikasikan karyanya.
Kejadian ini pun menjadi pukulan bagi banyak orang karena perubahan algoritma yang mendadak ini. Karena secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada pendapatan penulis.
Namun, hadirnya Woozi dan lagu “Maestro” membuat saya kembali tersadar bahwa hadirnya teknologi memang tidak bisa ditolak. Melainkan harus dicoba dan diadaptasikan.
Kemudian kita menunjukkan bahwa peran kita tidak bisa digeser dan kitalah yang seharusnya menaklukan teknologi. Bukan sebaliknya.
Kasus ini seperti membuka mata bahwa agar bisa tetap bertahan dalam bidang apa pun kita haruslah selalu kreatif dan tidak banyak mengeluh. Selain itu, dengan mencoba menggunakan AI, kita akan mengetahui titik lemah dan lebih dari karya yang kita buat. Sehingga kita bisa menonjolkan identitas dan citra yang dimiliki.
Sama seperti yang dilakukan Woozi. Dengan terus mengeksplor hal baru, ia akhirnya mengerti bahwa kita memang hidup berdampingan dengan kecanggihan dan kemutakhiran teknologi. Namun di sisi lain, kita juga tidak boleh kehilangan jati diri dalam setiap tulisan yang kita buat.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Tak Hanya Sesama Teman, Saat Guru dan Dosen Juga Jadi Pelaku Bully
-
Kisah Relawan Kebersihan di Pesisir Pantai Lombok
-
Viral Tumbler KAI: Bahaya Curhat di Medsos Bagi Karier Diri dan Orang Lain
-
Ricuh Suporter Bola hingga War Kpopers, Saat Hobi Tak Lagi Terasa Nyaman
-
Budaya Titip Absen: PR Besar Guru Bagi Pendidikan Bangsa
Artikel Terkait
Kolom
-
Nelayan Banyuwangi dan Perjuangan Menjaga Laut dari Kerusakan
-
Dari Cerita dan Moral Pesisir, Kita Belajar Hakikat Manusia
-
Laut Mengambil Kembali Haknya: Belajar Etika Ekologi dari Abrasi
-
Bukan Sekadar Tenda: Menanti Ruang Aman bagi Perempuan di Pengungsian
-
Hijau Spanduk, Hitam Kehidupan: Belajar dari Pesisir yang Katanya Ekologi
Terkini
-
Lewat TGIP, FIKOM Mercu Buana Buka Akses Kreatif untuk Generasi Muda
-
Tak Terlihat tapi Tajir: Siapa Sebenarnya Para Ghost Rich Indonesia?
-
Balong Tumaritis, Kolam di Jawa Barat yang Airnya Tak Pernah Benar-Benar 'Diam'
-
Sinopsis Recipe For Love, Drama Romansa Baru Park Ki Woong dan Jin Se Yeon
-
Rekomendasi 5 Parfum Morris untuk Cuaca Panas, Fresh dan Nggak Bikin Enek