Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | YESRUN EKA SETYOBUDI
Pekerja garmen di pabrik sempit, di balik label fashion berkelanjutan(Freepik.com)

Label sustainable fashion kini menjamur di berbagai lini, dari brand besar internasional, marketplace lokal, hingga akun bisnis rumahan di media sosial. Di permukaannya, semua terdengar menjanjikan: bahan ramah lingkungan, proses produksi etis, hingga janji untuk mengurangi limbah. Namun, di balik narasi yang menawan itu  ada ironi yang sulit diabaikan; banyak dari kampanye keberlanjutan ini hanyalah bungkus baru dari praktik lama yang tetap merusak.

Fenomena ini dikenal sebagai greenwashing, ketika perusahaan menggunakan klaim ramah lingkungan sebagai strategi pemasaran, tanpa melakukan perubahan signifikan dalam sistem produksinya. Menurut laporan Changing Markets Foundation (2023), 59% dari brand fashion besar global yang mengaku “sustainable” tidak bisa membuktikan transparansi rantai pasokannya. Di Indonesia, tren serupa juga terjadi: produsen menjual baju dengan klaim “eco-friendly”, tapi tetap memproduksi secara massal dengan siklus koleksi cepat dan promo bundling yang mendorong konsumsi berlebih.

Ironisnya, sebagian besar kampanye sustainability justru muncul dari fast fashion itu sendiri industri yang dikenal sebagai penyumbang emisi karbon terbesar kedua di dunia setelah industri energi. Banyak brand mengiklankan koleksi “green” dalam jumlah terbatas, sambil terus memproduksi ribuan item lainnya dalam skala besar. Mereka menjual rasa bersalah sekaligus solusinya, menciptakan ilusi bahwa membeli baju baru tetap baik-baik saja asalkan ada label “organik” atau “recycle”.

Masalahnya bukan pada konsep sustainability, tetapi pada bagaimana istilah itu dikerdilkan menjadi gimmick. Konsumen diajak percaya bahwa menyelamatkan lingkungan cukup dengan memilih opsi “hijau” saat checkout. Padahal dampak terbesar dari industri fashion ada pada volume dan sistemnya,seberapa cepat tren berganti  seberapa banyak barang diproduksi, dan seberapa sedikit yang digunakan kembali.

Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap kondisi buruh di balik pakaian “hijau” itu. Banyak pabrik di negara berkembang termasuk di Asia Tenggara yang masih menggaji pekerjanya di bawah upah layak, meskipun produknya dipasarkan sebagai bagian dari gerakan etis. Sustainability bukan hanya soal bahan kain, tetapi juga soal keadilan sosial dalam proses produksi. Tanpa transparansi, sulit membedakan mana upaya nyata dan mana sekadar retorika.

Sebagai konsumen, kita memang tidak bisa mengubah industri sendirian. Tapi kita bisa menolak menjadi bagian dari narasi palsu. Membeli lebih sedikit, merawat pakaian lebih lama, dan mendukung brand yang benar-benar transparan adalah langkah kecil yang bermakna. Karena jika semua orang merasa cukup dengan tempelan label hijau, maka industri tak akan pernah merasa perlu berubah.

Kesadaran konsumen seharusnya tidak berhenti di pilihan produk, tetapi meluas pada pola pikir. Kita perlu keluar dari logika bahwa membeli barang “ramah lingkungan” bisa menebus gaya hidup konsumtif. Karena dalam banyak kasus, perubahan terbesar bukan soal apa yang kita beli, tapi seberapa banyak kita merasa perlu membeli. Gerakan keberlanjutan sejati tidak membujuk kita untuk terus konsumsi meski dalam bentuk yang lebih “baik” melainkan menantang kita untuk mengubah relasi dengan benda dan tren.

Industri fashion sangat adaptif. Mereka membaca tren konsumen, mengemas ulang nilai-nilai hijau, dan menjadikannya bagian dari strategi bisnis. Tanpa kesadaran kritis dari publik mereka akan terus menjual produk dengan narasi “peduli bumi” sambil mempertahankan logika produksi massal dan pemborosan. Karena itu, tekanan konsumen bukan hanya soal membeli dari brand yang benar, tetapi juga tentang membangun budaya bertanya: siapa yang membuat pakaian ini, bagaimana prosesnya, dan seberapa sering kita benar-benar membutuhkannya?

Akhirnya, keberlanjutan tidak akan pernah datang dari kemasan, slogan, atau label hang tag. Ia hanya bisa lahir jika konsumen dan produsen sama-sama jujur bahwa perubahan bukanlah soal citra, tapi komitmen. Dan komitmen dimulai dari keberanian untuk berhenti ikut-ikutan, dan mulai memilih dengan kesadaran penuh.

YESRUN EKA SETYOBUDI