Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, adalah generasi yang sangat akrab dengan teknologi digital dan media sosial. Mereka sering disebut sebagai "digital natives" karena tumbuh di era internet.
Tren yang sedang marak di kalangan Gen Z adalah penggunaan "second akun" atau akun kedua di media sosial. Akun kedua ini sering kali digunakan untuk tujuan yang berbeda dari akun utama mereka, seperti berbagi konten lebih pribadi atau kontroversial.
Fenomena ini terjadi di berbagai platform media sosial seperti Instagram, Twitter, TikTok, dan lainnya. Second akun biasanya diatur menjadi privat dan hanya diikuti oleh sekelompok teman dekat.
Meskipun fenomena ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu, popularitasnya semakin meningkat terutama di era pandemi ketika aktivitas online semakin intens dan kebutuhan akan ruang pribadi lebih mendesak.
Ada banyak alasan di balik tren ini. Gen Z menggunakan second akun untuk berbagai tujuan, mulai dari kebutuhan akan privasi, kebebasan berekspresi, hingga menghindari tekanan sosial yang ada di akun utama mereka. Di akun kedua, mereka bisa lebih bebas mengekspresikan diri tanpa takut akan penilaian orang lain.
Membuat second akun sangat mudah. Pengguna cukup membuat akun baru di platform media sosial yang sama, mengatur privasi sesuai keinginan, dan mulai memposting konten yang lebih bebas dan tanpa filter.
Eksperimen Identitas atau Privasi Ekstrem?
Fenomena second akun ini bisa dilihat dari dua sisi: sebagai eksperimen identitas atau sebagai bentuk privasi ekstrem. Eksperimen Identitas: Gen Z menggunakan second akun untuk mencoba berbagai identitas dan mengekspresikan diri tanpa batasan. Ini adalah cara mereka untuk mengeksplorasi minat, hobi, dan pandangan yang mungkin tidak mereka tunjukkan di akun utama. Second akun memberi mereka kebebasan untuk menjadi siapa saja tanpa harus memikirkan apa yang orang lain pikirkan.
Privasi Ekstrem: Di sisi lain, penggunaan second akun juga bisa dilihat sebagai upaya untuk menjaga privasi yang lebih ekstrem. Dengan second akun, mereka dapat membatasi siapa saja yang bisa melihat konten mereka, menjaga jarak dari pengawasan publik, dan melindungi diri dari potensi kritik atau penilaian negatif. Ini mencerminkan kesadaran Gen Z akan pentingnya privasi di dunia digital yang penuh dengan pengawasan.
Perspektif Generasi Sebelumnya
Generasi sebelum Gen Z, seperti Baby Boomers dan Gen X, mungkin merasa second akun ini tidak terlalu diperlukan. Mereka tumbuh di era di mana privasi lebih terjaga dan media sosial belum ada atau belum terlalu dominan.
Bagi mereka, satu akun sudah cukup untuk berbagi dengan keluarga dan teman. Argumen mereka biasanya adalah:
- Kebutuhan Akan Transparansi: Generasi sebelumnya cenderung menghargai transparansi dan kejujuran. Mereka merasa tidak perlu memisahkan identitas online mereka menjadi beberapa akun
- Waktu dan Energi: Mengelola satu akun saja sudah cukup memakan waktu dan energi. Bagi mereka, memiliki second akun adalah pemborosan sumber daya
- Keamanan dan Kepercayaan: Generasi sebelumnya mungkin lebih skeptis terhadap keamanan online. Mereka lebih memilih untuk menjaga satu akun dengan baik daripada memiliki banyak akun yang bisa jadi rentan terhadap pelanggaran keamanan.
Namun, realitas di era digital ini berbeda. Gen Z tumbuh di dunia yang sangat berbeda, di mana kehidupan online adalah bagian integral dari eksistensi mereka. Mereka dihadapkan dengan tekanan sosial yang lebih besar di media sosial, di mana penilaian dan ekspektasi sangat tinggi. Second akun bagi mereka adalah mekanisme bertahan hidup di dunia digital yang penuh dengan tekanan.
Selain itu, second akun memungkinkan mereka untuk mengelola identitas digital dengan lebih baik. Mereka bisa memilah-milah konten yang sesuai untuk berbagai audiens, menjaga privasi, dan tetap bisa mengekspresikan diri dengan bebas.
Fenomena second akun di kalangan Gen Z adalah cerminan dari kebutuhan akan privasi dan ekspresi diri yang lebih bebas di era digital. Meskipun generasi sebelumnya mungkin tidak melihat kebutuhan ini, namun bagi Gen Z, second akun adalah solusi realistis untuk mengelola tekanan sosial dan menjaga kesehatan mental mereka. Kita perlu memahami dan mendukung langkah mereka dalam mencari kebebasan dan privasi di dunia yang semakin terhubung ini.
Baca Juga
-
Tawa yang Berisiko! Kenapa Sarkasme Mahasiswa Mudah Disalahpahami Otoritas?
-
Jebakan Flexing! Ketika Bahasa Ilmiah Cuma Jadi Aksesori Pamer Kepintaran
-
Fenomena Bubble Kampus! Saat Eksklusivitas Prodi Mencekik Jaringan dan Ide
-
Kesesatan Berpikir Generasi: Predikat Tak Harus Verba, Kenapa Kita Salah?
-
Ekonomi Bahasa Gen Z! Galgah Adalah Shortcut Anti-Ribet Komunikasi
Artikel Terkait
-
Ody Waji Peringkatkan Gen Z, Hindari Risiko Scamming saat Gunakan Media Sosial
-
Gen Z Takut Beli Rumah? Faktanya Klaster Clover Hills yang Dibandrol Rp 688 Juta Ramai Diserbu
-
Mengintip Masa Depan Media Sosial dengan AR dan VR: Realitas atau Ilusi?
-
Mantan Petinggi Twitter Gugat Elon Musk, Omid Minta Bagian Rp 319 Miliar
-
Beasiswa Kuliah Untuk Gen Z, Masalah Finansial Kini Tak Jadi Halangan untuk Berpendidikan Tinggi
Kolom
-
Hope Theory: Rumus Psikologi di Balik Orang yang Tidak Mudah Menyerah
-
Jika Hukum adalah Panggung, Mengapa Rakyat yang Selalu Jadi Korban Cerita?
-
Saat Ragu Mulai Menjerat, Lepaskan dengan Keyakinan Aku Pasti Bisa
-
Krisis Empati: Mengapa Anak-Anak Tidak Lagi Tahu Caranya Berbelas Kasih?
-
Saat Hidup Tidak Sesuai Ekspektasi, Kenapa Kita Selalu Menyalahkan Diri?
Terkini
-
Raditya Dika dan Die with Zero: Cara Baru Melihat Uang, Kerja, dan Pensiun
-
Ulasan Novel Larung, Perlawanan Anak Muda Mencari Arti Kebebasan Sejati
-
Style Hangout ala Kang Hye Won: 4 Inspo OOTD Cozy yang Eye-Catching!
-
Demam? Jangan Buru-Buru Minum Obat, Ini Penjelasan Dokter Soal Penyebabnya!
-
Suka Mitologi Asia? Ini 4 Rekomendasi Novel Fantasi Terjemahan Paling Seru!