Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | idra Fania
ilustrasi pelajar (Pexels/Agung Pandit Wiguna)

Di dunia digital saat ini, siswa menyadari bahwa hampir setiap aspek kehidupan mereka terhubung dengan media, mulai dari tugas akademik hingga aktivitas rekreasi.

Kelompok yang sering disebut digital native ini sudah dikelilingi teknologi sejak kecil. Namun ada kontradiksi yang menarik di sini. Meski mahir menggunakan perangkat teknologi, banyak yang masih kesulitan memahami konten media secara lebih mendalam.

Literasi media merupakan tantangan yang signifikan, terutama bagi siswa yang cenderung mengonsumsi informasi tanpa mengevaluasinya secara kritis.

Mengapa Literasi Media Penting?

Dengan banyaknya informasi yang tersedia, literasi media menjadi keterampilan penting untuk memilah mana yang benar dan mana yang salah.

Pelajar sering kali terpapar konten-konten yang mengandung clickbait, hoax, atau narasi bias di media sosial. Jika mereka tidak memiliki kemampuan literasi yang baik, mereka dapat dengan mudah menjadi korban misinformasi yang mempengaruhi pemikiran, pilihan, dan tindakan mereka.

Selain itu, literasi media membantu siswa berkembang menjadi konsumen informasi dan produsen konten yang bertanggung jawab.

Keterampilan ini memungkinkan mereka beralih dari pengamat pasif menjadi aktif terlibat dan berkontribusi positif dalam lingkungan digital. Di dunia yang semakin digital, narasi media sosial membentuk opini dan tren publik, keterampilan ini sangatlah penting.

Tantangan Literasi Media di Kalangan Pelajar

Tantangan utama yang kami hadapi adalah terbatasnya kesadaran akan pentingnya literasi media. Banyak pelajar yang berpikir bahwa memiliki akses terhadap teknologi saja sudah cukup, namun memahami cara kerja media dan dampaknya merupakan persoalan yang jauh lebih kompleks.

Misalnya, algoritma media sosial sering kali memperkuat bias kognitif dengan menyampaikan konten yang selaras dengan minat atau opini seseorang. Tanpa literasi media, siswa kemungkinan besar akan terjebak dalam ruang gema—sebuah lingkaran informasi yang memperkuat pandangan mereka tanpa menawarkan perspektif berbeda.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah waktu yang dihabiskan di media sosial seringkali tidak dihabiskan untuk tugas-tugas produktif.

Siswa sering kali tertarik pada konten yang menghibur daripada sumber daya pendidikan. Hal ini mengakibatkan mereka kehilangan pelajaran penting tentang mengidentifikasi bias, memahami sumber terpercaya, dan mengevaluasi kredibilitas informasi.

Selain itu, ada banyak tekanan dari teman sebaya untuk menjaga siswa tetap terhubung dan mendapat informasi tentang tren media sosial.

Hal ini sering kali membuat mereka lebih mementingkan popularitas atau validasi sosial dibandingkan integritas informasi yang mereka gunakan. Hal ini menciptakan siklus konsumsi informasi yang kurang mendalam dan kritis.

Solusi: Membangun Literasi Media di Kalangan Pelajar

Untuk menghadapi tantangan ini, penting untuk memprioritaskan pendidikan literasi media baik di sekolah maupun di rumah.

Salah satu pendekatan yang efektif adalah dengan mengintegrasikan literasi media ke dalam kurikulum. Daripada sekadar mengajari siswa cara menggunakan teknologi, kita juga harus menekankan pentingnya berpikir kritis tentang konten yang berinteraksi dengan mereka.

Misalnya, siswa dapat diajarkan pentingnya memverifikasi sumber informasi, memahami konteks berita, dan mengenali bias dalam narasi.

Guru juga dapat menggunakan contoh hoax atau misinformasi untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan analisis kritis mengenai konten media.

Pendekatan ini tidak hanya memperkuat kemampuan kognitif tetapi juga mempersiapkan siswa untuk menghadapi informasi yang menyesatkan dengan lebih efektif.

Keterlibatan orang tua sangatlah penting. Daripada sekadar membatasi akses media, mereka harus berkomunikasi dengan anak-anak mereka tentang konten yang mereka lihat.

Hal ini tidak hanya memberikan arahan kepada siswa tetapi juga membantu mereka merasa didukung dalam eksplorasi dunia digital yang sehat.

Selain pendidikan formal, komunitas digital dapat menjadi cara yang bagus untuk meningkatkan literasi media. Kampanye di media sosial yang berfokus pada pendidikan tentang hoax, misinformasi, dan etika digital dapat menjangkau siswa secara efektif.

Dengan memanfaatkan platform yang mereka gunakan untuk berinteraksi sehari-hari, pesan-pesan literasi media dapat lebih dipahami dan dipahami.

Membentuk Generasi Digital yang Kritis

Kesimpulannya, kendala literasi media yang dihadapi siswa tidak berada di luar jangkauan kita. Melalui kombinasi pendidikan formal, dorongan keluarga, dan inisiatif masyarakat, kita dapat menumbuhkan generasi yang kritis dan bertanggung jawab di era digital.

Literasi media melibatkan lebih dari sekedar pengecekan fakta; ini tentang memahami dampak informasi pada tingkat pribadi dan masyarakat.

Di dunia yang semakin terhubung, memiliki keterampilan ini sangat penting dalam menghadapi era informasi.

Literasi media yang kuat memberdayakan siswa untuk tidak hanya menjadi konsumen informasi yang cerdas namun juga pembuat perubahan berpengaruh yang dapat menumbuhkan narasi positif secara online. Meski menghadapi banyak tantangan, generasi digital siap mengubah dunia menjadi lebih baik.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

idra Fania