Bagi banyak pelajar, dilema antara pendidikan dan pekerjaan bukanlah hal baru. Sebagian merasa bahwa masa muda adalah waktu yang ideal untuk fokus menuntut ilmu, sementara yang lain berpendapat bahwa bekerja sejak dini adalah langkah nyata untuk mempersiapkan masa depan.
Namun, apakah keduanya benar-benar harus saling mengorbankan, atau bisa berjalan beriringan?
Di satu sisi, pendidikan adalah fondasi untuk mendapatkan pemahaman mendalam dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja. Namun, tak sedikit yang berpendapat bahwa pengalaman di lapangan lebih berbicara.
"Teori itu penting, tapi kalau nggak tahu cara aplikasinya, percuma," kata seorang pelajar yang memutuskan untuk bekerja paruh waktu sambil kuliah. Pandangan seperti ini kian lazim, terutama di era persaingan kerja semakin ketat.
Namun, risiko datang ketika fokus terlalu condong pada pekerjaan. Tidak sedikit pelajar yang akhirnya mengorbankan waktu belajar untuk memenuhi tanggung jawab di tempat kerja. Hal ini bisa berujung pada penurunan prestasi akademik atau bahkan keterlambatan kelulusan.
Ironisnya, di mata sebagian orang, mereka yang bekerja justru dianggap "lebih sukses" dibanding pelajar yang hanya fokus belajar. Standar ganda ini sering kali menciptakan tekanan tersendiri.
Di sisi lain, ada pelajar yang memanfaatkan pekerjaan sebagai pelengkap pendidikan mereka. Bekerja dianggap sebagai laboratorium nyata, teori yang dipelajari bisa langsung diterapkan.
"Saya merasa lebih percaya diri menghadapi dunia kerja setelah lulus, karena sudah punya pengalaman," ujar seorang mahasiswa yang bekerja di bidang yang relevan dengan jurusannya. Pendekatan ini menunjukkan bahwa pendidikan dan pekerjaan sebenarnya bisa saling melengkapi.
Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah: kapan sebaiknya pelajar memprioritaskan pendidikan di atas pekerjaan, atau sebaliknya? Jawabannya tentu bergantung pada situasi individu.
Pelajar dengan tanggung jawab finansial mungkin tidak punya pilihan selain bekerja. Sementara itu, pelajar yang didukung secara ekonomi mungkin bisa lebih fokus pada pendidikan tanpa harus memikirkan pekerjaan.
Solusi terbaik mungkin bukan memilih salah satu, tetapi mencari keseimbangan yang tepat. Maka, pertanyaannya bukan lagi "mana yang lebih penting," tetapi "bagaimana keduanya bisa berjalan beriringan."
Pada akhirnya, pendidikan memberi fondasi, dan pekerjaan memberi arah. Dua sisi mata uang yang saling melengkapi untuk membangun masa depan yang lebih cerah.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
-
Hormat Bukan Berarti Setuju! Gen Z dan Keberanian Berdialog
-
Ketika Karnaval Jadi Derita! Sound Horeg dan Dampak Nyata untuk Kesehatan
-
AXIS Nation Cup! Tempat Mimpi-Mimpi Liar Pemuda Indonesia Meledak
-
Rewind to the Roar! Cewek Futsal MIPA vs IPS di Masa SMA
Artikel Terkait
-
Pendidikan Rafi Haikal, Jabatan Anak Zulhas Disorot Karena Jadi Presiden Komisaris di Perusahaan Asing
-
Jabatan Mentereng Rafi Haikal Disorot, Anak Zulkifli Hasan Sudah Jadi Presiden Komisaris di Usia Muda
-
Merayakan Sedekade Lingkaran: Perjalanan, Kolaborasi, dan Eksplorasi
-
Lima Siswa Pelaku Perundungan Dikeluarkan SMA 70, Didik DKI Bakal Lakukan Ini
-
Anak Denise Chariesta Sekolah di Mana? Biaya Pendidikan Batita Umur 1 Tahun Tembus Rp19 Juta
Kolom
-
Gaji UMR, Inflasi Gila-gilaan: Mimpi Kemapanan Generasi Z yang Terjegal
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
-
Hormat Bukan Berarti Setuju! Gen Z dan Keberanian Berdialog
-
Payment ID: Awal dari Negara Polisi Finansial?
-
Membeli Buku karena Covernya: Antara Gaya Hidup dan Kebiasaan Membaca
Terkini
-
Timnas Indonesia U-23 Menangi Dramatisnya Adu Penalti, Thailand Gigit Jari
-
Jika Season 3 Digarap, Anime Solo Leveling Diharapkan Bisa Sepopuler Naruto
-
Jadwal MotoGP Musim 2026: Brasil di Urutan Kedua, GP Indonesia Kapan?
-
4 OOTD Kim Seon Ho yang Tunjukkan Sisi Gentle dan Calm, Cocok Buat Daily!
-
Antusias! Max Verstappen Tak Sabar Ingin Kerja dengan Bos Barunya Red Bull