Pernahkah kamu melihat sebuah buku di toko buku atau di marketplace dengan cover yang estetik dan kamu langsung jatuh cinta dan ingin segera membelinya?
Cover buku dengan warna pastel yang lembut, ilustrasi yang bergaya vintage, atau judul yang ditulis dengan tipografi artistik, semua seolah-olah berbicara langsung kepada calon pembacanya.
Maka tak heran jika ada fenomena yang kerap terjadi di kalangan pencinta buku yaitu membeli buku karena desain sampulnya yang cantik, namun membiarkannya terbengkalai tak terbaca.
Fenomena ini bukan sekadar soal impuls semata, tetapi juga berkaitan dengan psikologi visual dan kebiasaan konsumtif yang terbentuk dalam budaya populer saat ini.
Desain visual memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi. Dalam konteks buku, cover buku estetik bisa memberi kesan bahwa isi buku pun seindah tampilannya.
Ini disebut sebagai efek halo, saat satu kualitas positif (dalam hal ini visual menarik) memengaruhi persepsi kita terhadap kualitas lainnya, seperti isi dan pengalaman membaca. Kita percaya bahwa sesuatu yang terlihat bagus, pasti isinya juga bagus.
Di sisi lain, banyak pembaca juga menjadikan buku sebagai bagian dari gaya hidup. Buku-buku bersampul cantik tidak hanya dibeli untuk dibaca, tetapi juga untuk dipajang di rak estetik, dijadikan properti foto, atau dibawa ke kafe sebagai teman minum kopi.
Ada unsur kebanggaan, ada unsur eksistensi. Maka, membeli buku tak hanya karena isinya, tetapi juga karena tampilannya, menjadi bentuk aesthetic consumption.
Fenomena ini sebetulnya tidak hanya terjadi pada buku saja. Pola konsumsi yang didasari atas estetika suatu benda juga terjadi dalam tren fashion hingga makanan.
Dalam sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Consumption Markets & Culture, medefinisikan aesthetic consumption sebagai aspek-aspek pengalaman indrawi seseorang yang diwujudkan dalam konsumsi benda-benda sehari-hari yang dianggap memiliki nilai atau kualitas estetika tinggi.
Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa seseorang tidak hanya membeli barang berdasarkan kebutuhan fungsional saja, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh daya tarik visual, estetika dan simbolisme dari produk tersebut.
Konsumsi ini mencerminkan bagaimana barang dan pengalaman dikonsumsi untuk mengekspresikan identitas, status sosial, dan gaya hidup dalam ranah budaya kontemporer saat ini.
Namun, di sisi lain membeli buku karena sampulnya yang estetik bukanlah sesuatu yang perlu sepenuhnya disesali juga. Buku tetaplah benda yang mengandung nilai.
Mungkin memang belum dibaca sekarang, tetapi keberadaannya bisa menjadi pemantik untuk suatu saat kembali pada kebiasaan membaca.
Selain itu, membeli dan tertarik dengan buku hanya karena cover bukunya yang terlihat menarik bisa menjadi cara untuk mulai mencintai buku, bahkan jika awalnya hanya karena bentuk luarnya saja.
Tapi ada baiknya ketika kita ingin memutuskan membeli sebuah buku karena covernya yang menarik, kita juga setidaknya mengetahui ulasan atau review dari buku tersebut untuk menghindari penyesalan karena isi tidak semenarik covernya.
Tentu, akan lebih bijak lagi jika pembelian buku dibarengi dengan kesadaran akan kebutuhan bacaan dan waktu yang tersedia untuk membacanya.
Karena buku seindah apa pun sampulnya, akan menemukan makna sejatinya ketika dibaca, dipahami, dan memberi pengaruh pada pikiran kita.
Jadi, jika rak bukumu sudah penuh dengan buku-buku bersampul indah yang belum sempat dibaca, jangan merasa bersalah atau menghukum diri sendiri.
Mungkin kamu hanya sedang memberi jeda sebelum mengenalnya lebih jauh. Dan siapa tahu, di balik sampul yang memesona itu, ada cerita yang justru lebih menggetarkan dari yang kamu duga.
Baca Juga
-
Pink dan Hijau: Simbol Keberanian, Solidaritas, dan Empati Rakyat Indonesia
-
Jaga Jempolmu: Jejak Digital, Rekam Jejak Permanen yang Tak Pernah Hilang
-
Membaca untuk Melawan: Saat Buku Jadi Senjata
-
Diaspora Tantang DPR, Sahroni Tolak Debat: Uang Tak Bisa Beli Keberanian?
-
Keadilan bagi Affan: Ketika Kendaraan Negara Merenggut Nyawa Pencari Nafkah
Artikel Terkait
-
Bakar Buku Kontes Kecantikan, Ivan Gunawan Fokus Bangun Masjid di Uganda Sebagai Warisan
-
Ulasan Buku How to Say Babylon: Membebaskan Diri dari Rantai Patriarkal
-
Ulasan Novel Ana Uhibbuka Fillah Ustaz: Mencari Makna Cinta Untuk Tuhan
-
9 Tanda Vitalitas Pria Melemah dan Cara Mengatasinya Sejak Dini
-
Mengupas Novel The Siren: Sudut Pandang Penulis dan Editor
Kolom
-
Bukan Sekadar Coretan, Inilah Alasan Poster Demo Gen Z Begitu Estetik dan Berpengaruh
-
Budaya Trial and Error dalam Kabinet Indonesia
-
Hipdut, Genre Baru yang Bikin Gen Z Ketagihan Dangdut
-
Demokrasi Digital, Kuasa Influencer dan Krisis Kepakaran
-
Protes Gen Z di Nepal: Refleksi Kritis tentang Empati dan Keadilan Sosial
Terkini
-
Lebih dari Sekadar Keponakan Prabowo, Ini Profil Rahayu Saraswati yang Mundur dari DPR
-
Nabung Itu Wacana, Checkout Itu Realita: Melihat Masalah Nasional Gen Z
-
Bukan Cuma Anak Menkeu, Ini Sumber Kekayaan Yudo Sadewa yang Dihujat Netizen
-
Studi Banding Hemat Ala Konten Kreator: Wawancara DPR Jepang Bongkar Budaya Mundur Pejabat
-
Ironis! Hanya Indonesia, Tim Semifinalis yang Gagal Lolos ke Putaran Final AFC U-23