Di tengah gempuran informasi yang terus berkembang pesat, muncul konsep microlearning, atau pembelajaran singkat, yang semakin populer di era digital. Microlearning menawarkan kesempatan untuk mempelajari hal-hal baru dalam waktu yang relatif singkat dan fleksibel. Meskipun konsep ini tampak menggiurkan, ada banyak pertanyaan yang perlu dipertimbangkan, apakah microlearning benar-benar memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan metode pembelajaran tradisional?
Salah satu keuntungan utama dari microlearning adalah momen yang ditawarkannya. Dalam dunia yang serba cepat, waktu menjadi komoditas berharga. Dengan microlearning, seseorang dapat mempelajari keterampilan atau informasi baru hanya dalam beberapa menit, tanpa harus menghabiskan berjam-jam di ruang kelas atau sesi panjang. Baik melalui video singkat, artikel, atau bahkan podcast, materi yang disampaikan dapat diakses kapan saja dan di mana saja, sesuai kebutuhan masing-masing individu.
Selain itu, microlearning memungkinkan pembelajaran yang lebih terfokus. Alih-alih mencoba menyerap informasi dalam jumlah besar sekaligus, pembelajaran singkat ini ditekankan pada penyampaian materi yang lebih tersegmentasi dan spesifik. Ini membantu siswa atau pekerja untuk lebih mudah memahami dan mengingat informasi, karena materi yang disajikan tidak berlebihan dan lebih mudah dicerna. Pendekatan ini sangat efektif, terutama bagi mereka yang sibuk atau mempunyai keterbatasan waktu.
Namun, ada juga kritik yang muncul terkait dengan microlearning. Banyak yang berpendapat bahwa format pembelajaran singkat ini dapat mengurangi kedalaman pemahaman. Dengan waktu yang terbatas dan materi yang disampaikan dalam potongan kecil, ada kekhawatiran bahwa pembelajar tidak akan memperoleh pemahaman yang mendalam atau kemampuan untuk menghubungkan berbagai konsep. Beberapa bidang atau keterampilan memang memerlukan waktu dan proses yang lebih panjang untuk dikuasai, dan microlearning mungkin tidak bisa menggantikan pendekatan pembelajaran yang lebih intensif dan komprehensif.
Meskipun demikian, microlearning bukan hanya soal kecepatan. Proses belajar yang terintegrasi dalam kegiatan sehari-hari, seperti pembelajaran melalui aplikasi di smartphone atau pengingat belajar yang dipersonalisasi, juga menjadikannya sangat menarik bagi generasi digital yang cenderung multitasking. Dalam konteks dunia kerja, microlearning dapat digunakan untuk pelatihan keterampilan tertentu yang dibutuhkan segera, tanpa harus mengganggu produktivitas atau waktu kerja. Hal ini menjadikannya menjadi pilihan ideal bagi perusahaan yang ingin meningkatkan keterampilan karyawan mereka secara efisien.
Microlearning juga cocok untuk membangun kebiasaan belajar yang berkelanjutan. Dengan materi yang dibagi dalam potongan kecil, pembelajaran tidak terasa membosankan dan lebih mudah menjaga konsistensinya. Alih-alih menunggu waktu luang untuk mengikuti kelas panjang, seseorang bisa memanfaatkan sela-sela waktu di kehidupan sehari-harinya untuk belajar hal baru. Ini mendukung prinsip pembelajaran seumur hidup yang kini semakin relevan di era digital, di mana keterampilan baru terus dibutuhkan untuk beradaptasi dengan perubahan yang cepat.
Keberhasilan microlearning sangat bergantung pada konteks penggunaan. Untuk keterampilan praktis dan pengetahuan dasar, pembelajaran singkat mungkin lebih efisien. Namun, untuk konsep yang lebih kompleks atau mendalam, pendekatan tradisional atau pembelajaran yang lebih terstruktur tetap diperlukan. Microlearning mungkin tidak dapat menggantikan segala jenis pembelajaran, tetapi dalam dunia yang serba cepat dan terhubung ini, ia menawarkan cara baru yang menarik dan fleksibel untuk belajar selama kita dapat menemukan keseimbangan yang tepat antara kecepatan dan kedalaman.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Lagu 'Mimpi yang Terbeli' Iwan Fals, Sindiran Pedas Budaya Konsumerisme
-
Batas Tipis Antara Seni yang Kritis dan Etika yang Sensitif, Ironis!
-
Seni, Kritik, dan Batasan: Drama di Balik Pameran Yos Suprapto yang Gagal
-
Tidak Semua Orang Suka Menulis, Tapi Bisakah Mereka Tetap Kreatif? Bisa!
-
Paradoks PPN 12%: Melindungi Rakyat Kecil atau Justru Menindas?
Artikel Terkait
-
Kenali Penyebab Nyeri Dada, IDI Bima Berikan Informasi Pengobatan
-
Seni di Era Digital: Bisakah AI Memahami Jiwa Manusia?
-
Ulasan Buku Jalur Populer, Edukasi tentang Pencegahan Macet di Jalan Raya
-
Masa Depan Uang Digital: Mampukah India Pertahankan Dominasinya di Tengah Krisis?
-
Kementerian Ekraf Dorong Konten Kreator hingga Vtuber Agar Tumbuh Lebih Pesat
Kolom
-
Batas Tipis Antara Seni yang Kritis dan Etika yang Sensitif, Ironis!
-
Seni, Kritik, dan Batasan: Drama di Balik Pameran Yos Suprapto yang Gagal
-
Tidak Semua Orang Suka Menulis, Tapi Bisakah Mereka Tetap Kreatif? Bisa!
-
Solusi Matematika Menyenangkan yang Pak Menteri Cari
-
Scroll Cepat, Lupa Esensi? Tantangan Budaya Viral di Kalangan Gen Alpha
Terkini
-
Jisoo BLACKPINK Berperan Sebagai Karakter Berani di Drama Zombie 'Newtopia'
-
Ulasan Film The Magician's Elephant, Misi Pencarian Bersama Seekor Gajah
-
Resensi Buku 'Goodbye, Things', Hidup Bahagia dengan Sedikit Barang
-
3 Varian Serum dari Bhumi untuk Eksfoliasi hingga Anti-Aging Tanpa Iritasi
-
Jangan Sampai Gagal! Inilah Penyebab Utama Resolusi Tahun Baru Tak Tercapai