Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sherly Azizah
Ilustrasi palu persidangan (pexels/Sora Shimazaki)

Korupsi di Indonesia itu ibarat acara sinetron, penuh drama, twist, dan ending yang membuat penonton gregetan. Kasus Harvey Moeis, si pengusaha tambang berduit yang membahayakan ratusan triliun tapi hanya dihukum 6,5 tahun, adalah salah satu episode paling bikin heran. Kalau ini bukan sindiran kehidupan nyata, apa lagi? Bayangkan saja, uang sebesar itu cukup untuk membeli pulau atau bahkan membuat negara sendiri. Tapi hukum kita cuma kasih dia "cuti panjang" di penjara.

Pertanyaan terbesar, apa yang salah dengan kalkulator keadilan kita? Kalau mencuri ayam aja bisa bikin orang miskin 7 tahun, kenapa mencuri uang negara dalam jumlah masif cuma dihargai 6,5 tahun? Apakah semakin besar angka korupsinya, semakin lunak hukumannya? Ini kayak diskon gede-gedean, cuma sayangnya bukan di mall, tapi di pengadilan.

Sistem hukum kita jelas perlu banyak introspeksi. Kasus Harvey Moeis ini menunjukkan betapa tidak adanya rasa keadilan bagi rakyat. Saat rakyat kecil mati-matian membayar pajak, para koruptor malah menjadi kucing-kucingan utama dengan hukum. Lebih menyakitkan lagi, ada kesan bahwa hukuman ini lebih mirip formalitas daripada bentuk penegakan hukum yang sebenarnya. Seakan-akan pesan yang ingin disampaikan adalah "Korupsi aja, asal pinter bagi hasil."

Tapi, di balik ironi ini, ada pelajaran berharga bagi kita. Pertama, pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum. Kedua, perlunya reformasi hukum yang benar-benar berpihak pada keadilan, bukan pada yang punya uang atau koneksi. Dan yang ketiga, sebagai warga negara, kita harus terus bersuara. Karena kalau kita diam, cerita sinetron macam ini akan terus tayang tanpa akhir.

Ada yang bilang, korupsi adalah cerminan budaya suatu bangsa. Kalau hukuman bagi koruptor hanya seperti liburan singkat, jangan heran kalau korupsi terus berkembang biak. Ini bukan cuma soal hukum, tapi juga moral. Bagaimana kita bisa berharap punya generasi muda yang jujur, kalau contoh dari atas malah memberi pelajaran bahwa uang bisa membeli segalanya, termasuk keadilan?

Sebagai rakyat biasa, mungkin kita hanya bisa menggerutu atau membuat meme satir di media sosial. Tapi, jangan salah, suara rakyat tetap punya daya. Ingat kasus-kasus sebelumnya yang dibongkar karena tekanan publik? Jadi, jika kita mau berubah, kita harus terus kritis. Jangan biarkan drama ini menjadi tontonan yang membodohi generasi berikutnya.

Akhir kata, mari jadikan kasus Harvey Moeis ini sebagai pengingat. Pengingat bahwa hukum di Indonesia masih punya banyak PR besar. Pengingat bahwa keadilan adalah hak semua orang, bukan hanya milik mereka yang bisa membayarnya. Dan sebagai pengingat bahwa perubahan hanya akan terjadi jika kita, sebagai rakyat, terus melawan.

Sherly Azizah