Di era digital yang serba cepat, hadirnya kecerdasan buatan atau Artifical Intelligence (AI) seperti ChatGPT, Google Bard, dan berbagai chatbot lainnya telah mengubah cara manusia mengakses informasi.
Terutama bagi kalangan mahasiswa dan pelajar, AI telah menjadi alat bantu yang sangat populer karena mampu menyediakan jawaban instan, ringkasan artikel, bahkan menyusun esai. Namun benarkah kemunculan AI menjadi alat bantu bagi mahasiswa, atau justru menjadi krisis baru yang mengkhawatirkan?
Bagi banyak mahasiswa, AI adalah solusi cepat dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan. Cukup mengetikkan pertanyaan, dalam hitungan detik AI akan menjawab dengan bahasa yang rapi dan meyakinkan. Sayangnya, tidak semua informasi yang diberikan akurat dan sesuai konteks.
AI bekerja dengan memprediksi kata-kata berdasarkan data yang dikumpulkannya, bukan berdasarkan pengetahuan langsung atau penilaian kritis. Hal ini menunjukkan bahwa informasi yang diberikan bisa saja bias, kedaluwarsa, atau bahkan salah.
Krisis muncul ketika mahasiswa mulai kehilangan kebiasaan mengecek ulang kebenaran suatu informasi dan justru mengandalkan AI sebagai sumber utama tanpa menyadari batasannya.
Banyak mahasiswa yang belum memiliki literasi digital dan literasi informasi yang memadai untuk menyaring mana informasi yang benar-benar valid dan mana yang perlu diverifikasi lebih lanjut.
Menurunnya Kemampuan Berpikir Kritis
Salah satu efek dari krisis ini adalah menurunnya kemampuan berpikir kritis. Ketika mahasiswa terbiasa menerima informasi secara pasif dari AI, mereka cenderung tidak lagi mempertanyakan asal-usul data, logika argumen, atau validitas sumber.
Hal ini sangat berbahaya karena memengaruhi kualitas pembelajaran, pengambilan keputusan, dan bahkan integritas akademik.
Dalam beberapa kasus, mahasiswa juga mulai menggunakan AI untuk membuat tugas secara otomatis tanpa memahami isi atau konteksnya. Fenomena ini tidak hanya menurunkan kemampuan akademik, tetapi juga meningkatkan risiko plagiarisme dan ketergantungan intelektual.
Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Societies (2025) mengungkapkan bahwa AI dapat membuat kemampuan berpikir seseorang berkurang. Hasil studi menunjukkan, tingkat berpikir kritis pengguna AI kurang dari mereka yang tidak memakainya.
Kurangnya Literasi Informasi
Literasi informasi adalah kemampuan untuk mengenali kebutuhan informasi, mencari informasi secara efektif, mengevaluasi sumber, dan menggunakannya dengan benar. Sayangnya, banyak institusi pendidikan belum menempatkan literasi informasi sebagai bagian utama dari kurikulum.
Akibatnya, mahasiswa tidak dibekali dengan keterampilan penting untuk menghadapi banjir informasi di era digital, terutama yang dihasilkan oleh AI.
Kurangnya literasi informasi ini tentu menjadi kebingungan baru bagi mahasiswa yang bahkan terjadi tanpa disadari.
Beberapa tidak tahu bagaimana membedakan artikel ilmiah dengan opini pribadi, sumber terpercaya dengan blog biasa, atau kutipan resmi dengan narasi buatan AI. Hal ini menyebabkan kebingungan yang berkelanjuitan dan pemahaman yang dangkal terhadap topik-topik akademik.
Studi yang dilakukan oleh Michael Gerlich, Kepala Pusat Wawasan Strategis Perusahaan dan Keberlanjutan, Sekolah Bisnis SBS Swiss tersebut melibatkan 666 individu berusia 17 tahun ke atas. Gerlich mengevaluasi pemanfaatan AI dari para peserta, kemudian ia menguji kemampuan berpikir kritis mereka.
Terkikisnya pikiran kritis ini disebut sebagai fenomena cognitive offloading. Kondisi tersebut merupakan dampak buruk ketergantungan AI saat seseorang tak lagi berpikir keras karena pemecahan masalah bisa didelegasikan ke AI dengan mudah.
Artifical Intelligence (AI) adalah inovasi luar biasa yang membawa banyak manfaat, termasuk bagi dunia pendidikan. Tetapi tanpa kesadaran dan keterampilan yang tepat, hal ini juga bisa menjadi bumerang. Mahasiswa sebagai generasi penerus harus menjadi pencari informasi yang aktif, kritis, dan bertanggung jawab.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Collective Moral Injury, Ketika Negara Durhaka pada Warganya
-
Belajar dari Film Adolescence: Bagaimana INCEL Buat Anak Lakukan Kekerasan
-
Fenomena Brain Rot: Pembusukan Otak karena Sering Konsumsi Konten Receh
-
Ketidakadilan Sistem Kolonial "Anak Semua Bangsa", Upaya Pembebasan Rakyat
-
Quiet Quitting Karyawan sebagai Bentuk Protes Kepada Perusahaan
Artikel Terkait
-
Canva Luncurkan Visual Suite 2.0, Bertabur Teknologi AI
-
Sharp Luncurkan Inovasi Layanan Purna Jual Berbasis AI, Interaksi Makin Mudah
-
Telkom Kenalkan Teknologi AI Baru untuk Tingkatkan Kualitas Pendidikan Indonesia
-
Ki Hajar Dewantara dan Tantangan Literasi Gen Z: Sebuah Refleksi Kritis
-
Tak Hanya di China, Realme GT 7 Bakal Rilis ke Pasar Global
Kolom
-
Duka yang Diabaikan: Remaja Kehilangan Orang Tua, Siapa Peduli?
-
Collective Moral Injury, Ketika Negara Durhaka pada Warganya
-
Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Jadi Alarm Penting Taat Berlalu Lintas
-
Blaka Suta: Kejujuran dalam Daily Life dan Hukum Tabur Tuai Lintas Generasi
-
Ketika Seni Menjadi Musuh Otoritarianisme
Terkini
-
Lolos ke 8 Besar, Timnas Indonesia U-17 Bawa Harga diri Negara ASEAN di Piala Asia
-
4 Drama yang Dibintangi Andrea Brillantes, Ada High Street!
-
Dim Sum of All Fears: Teka-Teki Kematian Dua Mayat di Restoran China
-
Tatap Perempat Final Piala Asia U-17, Timnas Indonesia Punya Modal Bagus
-
3 Anime Orisinal Netflix Tayang April 2025, Jangan Sampai Kelewatan!