Belakangan ini, barangkali kita sering menyaksikan unggahan media sosial milik lembaga, komunitas atau teman menampilkan tren edit foto ala Studio Ghibli.
Tak ayal, khalayak pun berbondong-bondong untuk mencoba. Terlebih, mengubah foto-foto kita tadi cukup mudah dilakukan. Foto animasi tersebut diedit menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) yakni ChatGPT.
Berbicara mengenai AI dalam produk foto dan video, Wakil Presiden RI Gibran pun juga tak ketinggalan zaman. Seperti di momen perayaan Lebaran tahun ini, ucapan selamat Hari Raya Idulfitri yang dikemas dalam bentuk video pendek buatan AI.
AI bisa mengolah video yang memungkinkan gabungan suara, gambar, dan gerak. Video yang dihasilkan pun sungguh terlihat terlihat sangat nyata. Tampak dalam video ucapan yang diunggah di media sosial pribadinya tersebut, Gibran dan istri, Selvi Ananda menunggangi unta di gurun berlatar Monas.
Seperti sebuah kelaziman, warganet pun merespons dan memberikan komentar pro dan kontra. Ada yang mengapresiasi aksi Gibran, sebaliknya pula ada warganet yang menyebut Gibran tengah melakukan pelanggaran hak cipta. Hal itu lantaran video putra Presiden Joko Widodo itu memodifikasi film berjudul DUNE besutan Warner Bros.
Kedua ilustrasi peristiwa di atas menjadi sebagian kecil contoh bahwa pesatnya perkembangan teknologi juga merambah ke lini kehidupan manusia, yakni kesenian.
Dunia kesenian selama ini kita pahami merupakan wujud ekspresi jiwa manusia. Dunia seni juga dunia yang berkaitan erat dengan proses kreatif, praktik-praktik yang sering kali bahkan memerlukan proses yang tidak singkat.
Kehadiran teknologi AI tak bisa dipungkiri membuka peluang dan ancaman. Ia selalu melahirkan dua sisi. Lantas, bagaimana kesenian visual di era kecerdasan buatan seperti saat ini? Bagaimana dengan ihwal etika, orisinalitas dan hak cipta?
Ciptakan Karya Menggunakan Kecerdasan Buatan tapi Jangan Ketergantungan
Kehadiran AI atau kecerdasan buatan dalam dunia kesenian, yakni dalam bentuk animasi, video, hingga musik tentu melahirkan kekhawatiran tersendiri bagi pelaku bidang seni dan seniman.
Bagaimana tidak, pada masa sebelumnya misalnya, untuk menghasilkan suatu animasi dengan kualitas tinggi memerlukan waktu yang panjang.
Namun demikian, dengan AI, kita bisa menyulapnya sekejap dalam hitungan menit. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah peran manusia (para seniman) akan digantikan kecerdasan buatan?
Saya rasa itu berkaitan dengan bagaimana kita bisa menyikapinya. Jika AI dilihat bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai tantangan—dan bahkan peluang, maka teknologi bisa membantu meningkatkan produktivitas.
Sebaliknya, sebuah teknologi hadir bukan sebagai saingan manusia. Sebagai misal, teknologi AI bisa membantu dalam proses teknis seperti menyunting video, memperbaiki kualitas suara hingga membuat konsep visual awal. Lagi-lagi, kita bisa meletakkan AI sebagai penunjang semata, bukan pengganti segalanya.
Selain itu, hal yang mendesak untuk diperhatikan antara lain ihwal hak cipta dan tujuan penggunaan. Jika kita memanfaatkan dan menggunakan AI dalam konteks edit, produksi gambar hanya sekadar rasa ingin tahu, eksplorasi pribadi, atau non-komersial, barangkali tak begitu menuai masalah.
Namun, ketika produksi karya berbasis AI digunakan untuk kepentingan komersial, terlebih mengadopsi gaya visual seniman tertentu, tanpa izin, tak ayal menimbulkan masalah.
Penutup
Dalam konteks kebudayaan, perubahan adalah suatu keniscayaan. Seperti halnya perubahan di bidang teknologi, kehadiran AI saat ini menjadi suatu hal yang tak bisa terelakkan lagi. Hal yang penting adalah bagaimana kita bisa beradaptasi dan hidup berdampingan.
Seperti di era saat ini, produksi karya seni atau visual baik media seperti foto, video, hingga animasi tak lagi eksklusif melalui proses manual atau tradisional.
Teknologi AI menawarkan peluang yang instan dan efisien, lantas apakah peran manusia sebagai pelaku dan pusat karya tadi akan tergantikan? Tentu tidak! Peran manusia justru semakin penting dan tidak bisa digantikan.
Karena pada gilirannya, sebagus dan secanggih apapun alat, manusialah yang menjadi penentu bagaimana teknologi atau alat itu digunakan.
Kita bisa saling berdiskusi, merumuskan kebijakan, aturan soal etika penggunaan AI dalam seni misalnya. Generasi muda maupun tua bisa saling tukar pikiran dan pendapat untuk menemukan kesamaan tujuan.
Adanya teknologi sekali lagi bukan untuk membatasi proses kreatif, tapi bagaimana hal itu tetap berpihak pada manusia. Hal yang terpenting, suatu karya seni bisa hidup dan memiliki jiwa, bukan karena teknologi namun hadirnya sentuhan manusia.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Antropogenik dan Banjir Jabodetabek: Mengapa Kita Harus Menjaga Alam?
-
Perlawanan lewat Nada hingga Lukisan: Mengapa Kesenian Kerap Jadi Ancaman?
-
Tagar #KaburAjaDulu: Ekspresi Emosional atau Pilihan Rasional Warga Negara?
-
Regulasi Pembatasan Media Sosial untuk Anak: Mengapa Mendesak?
-
Kontroversi Abidzar Al Ghifari dan Peran Penonton dalam Seni Perfilman
Artikel Terkait
-
Dehumanisasi Digital: Saat AI Mengambil Peran Manusia
-
Begini Cara Pakai Grok, Asisten AI Punya Elon Musk yang Jadi Andalan Warganet di X
-
Polisi Mulai Manfaatkan Kamera AI Incar Pelanggar Lalu Lintas
-
Al Gore dan Climate Reality Latih 200 Pemimpin Iklim Muda di Jakarta
-
Menaksir Harga Kaos Selvi Ananda saat Libur Lebaran di Singapura, Ternyata Gak Main-Main!
Kolom
Terkini
-
BAC 2025 Day 1: Jadwal Laga 4 Wakil Indonesia di Babak 32 Besar
-
Nasib 4 Wakil ASEAN di AFC U-17: Indonesia Berjaya, Vietnam-Australia di Tepi Jurang Kegagalan!
-
5 Poster Karakter Pemain Utama Film Korea The Old Woman with the Knife
-
Review Film Dead Teenagers: Lima Remaja Berjuang Bertahan Hidup dalam Ancaman
-
Hajar Yaman, 3 Faktor Ini Buat Timnas Indonesia U-17 Sukses Menang Telak?