Kehidupan pribadi kita tidak pernah lepas dari dimensi politis. Setiap keputusan, termasuk keheningan kita—apa yang kita pilih untuk tidak dipertanyakan—merupakan tindakan yang sama berpengaruhnya dengan apa yang kita suarakan atau lakukan. Pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan laboratorium untuk memproduksi kesadaran kritis yang membebaskan individu dari belenggu pikiran terjajah. Pendidikan yang ideal harus menjadi “kelas intelektual,” sebuah ruang di mana keingintahuan kritis dipupuk, ketulusan dihargai, dan refleksi menjadi inti pembelajaran.
Pikiran Terjajah dan Keingintahuan Kritis
Pikiran terjajah lahir dari keterbatasan akses terhadap informasi, paksaan untuk menerima kesimpulan tanpa memahami prosesnya, atau ketiadaan ruang untuk menyatakan keingintahuan. Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga di kelas-kelas pendidikan formal. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), pendidikan di Indonesia sering kali terjebak dalam pendekatan yang membatasi kebebasan berpikir. YLKI mencatat bahwa kurikulum yang kaku dan metode pengajaran berbasis hafalan menghambat perkembangan keingintahuan kritis siswa, menciptakan generasi yang lebih terbiasa menerima daripada mempertanyakan.
Pendidikan sejati, sebaliknya, harus menjadi proses pengungkapan yang tidak pernah berakhir. Keingintahuan kritis adalah kunci untuk membebaskan individu dari penjajahan intelektual, menuntut ketulusan dalam mengakui kesalahan dan keberanian untuk terus memperbaiki pemahaman. Menurut Badan Pusat Statistik dalam laporan Statistik Pendidikan, hanya 65,94% siswa di Indonesia menyelesaikan pendidikan menengah atas, menunjukkan bahwa banyak anak tidak mendapat kesempatan penuh untuk mengembangkan potensi intelektual mereka. Keterbatasan akses dan metode pengajaran yang tidak mendukung keingintahuan kritis memperparah masalah ini. Oleh karena itu, pendidikan harus dirancang sebagai ruang yang mendorong siswa untuk bertanya “mengapa” dan “bagaimana,” bukan sekadar menerima “apa.” Dengan demikian, kelas intelektual menjadi wadah untuk membentuk individu yang tidak hanya terdidik, tetapi juga kritis dan reflektif.
Pendidikan Bukan Pabrik
Menganggap pendidikan sebagai pabrik yang memproduksi barang adalah kesalahan besar. Pabrik berfokus pada efisiensi, standar kualitas seragam, dan target produksi. Sebaliknya, pendidikan adalah proses kompleks yang mengelola perkembangan manusia secara holistik. Setiap siswa memiliki keunikan, dengan kebutuhan, potensi, dan latar belakang yang berbeda. Pendidik bukan operator mesin, melainkan fasilitator yang harus memahami dinamika intelektual, emosional, sosial, dan moral setiap individu.
Interaksi dalam pendidikan—antara guru dan siswa, serta antar-siswa—jauh lebih rumit daripada proses produksi di pabrik. Guru harus menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan, memfasilitasi dialog, dan mendorong keberagaman pemikiran. Pendidikan juga melibatkan pembentukan nilai, moral, dan etika, berbeda dengan pabrik yang mengutamakan keuntungan. Melansir Tanoto Foundation, pendekatan holistik dalam pendidikan meningkatkan hasil belajar siswa secara signifikan. Program mereka, seperti pelatihan guru dan kurikulum berbasis kompetensi, telah meningkatkan keterlibatan siswa di daerah tertinggal. Sementara itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Rapor Pendidikan menegaskan bahwa evaluasi pendidikan harus berfokus pada refleksi dan perbaikan kualitas. Data ini memperkuat argumen bahwa pendidikan membutuhkan pendekatan humanis, bukan mekanis seperti di pabrik.
Produksi Kesadaran lewat Pendidikan
Pendidikan yang ideal adalah “laboratorium kesadaran” yang menghasilkan individu intelektual yang mampu memahami dunia secara kritis. Dalam kelas intelektual, siswa tidak hanya menerima informasi, tetapi juga memproses, mempertanyakan, dan menghubungkannya dengan realitas kehidupan. Proses ini melibatkan tiga elemen kunci:
- Keingintahuan Kritis: Siswa didorong untuk bertanya “mengapa” dan “bagaimana.” Pendidik harus menciptakan ruang aman untuk menyuarakan keingintahuan tanpa takut dihakimi. Mengutip Bappenas dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia, akses pendidikan yang berkeadilan dan kurikulum yang relevan adalah prioritas untuk menciptakan SDM kompetitif.
- Ketulusan dan Refleksi: Mengakui kesalahan adalah bagian integral dari pembelajaran. Pendidikan harus mengajarkan bahwa kesalahan adalah langkah menuju pemahaman yang lebih baik. Program seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Program Indonesia Pintar (PIP) telah meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA dari 34,82% pada 2010 menjadi 75,89% pada 2023, meski tantangan seperti kesalahan data masih ada.
- Pendekatan Holistik: Pendidikan tidak hanya tentang prestasi akademik, tetapi juga pembentukan karakter, empati, dan tanggung jawab sosial. UNESCO menekankan pentingnya pendidikan yang mendukung perdamaian dan dialog antarbudaya.
Mengutip Kemendikbudristek, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas hanya 9,13 tahun, jauh dari target 12 tahun pada 2045. Ini menunjukkan perlunya reformasi pendidikan yang inklusif dan berorientasi pada kesadaran kritis.
Tantangan dan Solusi dalam Sistem Pendidikan
Meskipun pendidikan berpotensi sebagai alat pembebasan, tantangan seperti kesenjangan akses, kualitas guru, dan distribusi anggaran tetap ada. Menurut Komisi X DPR RI, anggaran pendidikan sebesar Rp111 triliun tidak terserap pada 2023, padahal banyak sekolah di daerah tertinggal membutuhkan perbaikan infrastruktur. Distribusi guru yang tidak merata juga menjadi masalah, dengan beberapa daerah kekurangan guru dan lainnya kelebihan.
Organisasi non-profit seperti ACT (Aksi Cepat Tanggap) telah menyediakan program pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil. Namun, upaya ini perlu didukung oleh kebijakan pemerintah yang terkoordinasi. Mengutip Bappenas dalam Peta Jalan Pendidikan, solusi meliputi peningkatan sarana, penyediaan guru berkualitas, dan penyaluran bantuan yang tepat sasaran. Kerja sama antara pemerintah, organisasi non-profit, dan sektor swasta, seperti kolaborasi Tanoto Foundation dengan Kemendikbudristek, dapat mempercepat reformasi.
Pendidikan bukan pabrik yang memproduksi barang, melainkan laboratorium kesadaran kritis. Dalam “kelas intelektual,” keingintahuan kritis, ketulusan, dan pendekatan holistik membebaskan pikiran dari penjajahan intelektual. Data dari YLKI, ACT, Tanoto Foundation, Badan Pusat Statistik, dan Kemendikbudristek menunjukkan bahwa pendidikan harus memberdayakan individu, bukan menghasilkan output seragam. Dengan dukungan Statistik Pendidikan, Rapor Pendidikan, dan Peta Jalan Pendidikan, reformasi pendidikan harus mengatasi kesenjangan akses, meningkatkan kualitas guru, dan memastikan anggaran terserap efektif. Pendidikan harus terus diperjuangkan sebagai ruang pengungkapan yang tidak pernah berakhir, membentuk generasi yang sadar, bertanggung jawab, dan mampu mengubah dunia.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Tag
Baca Juga
-
Manusia Merdeka: Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang Tergerus Zaman
-
Ki Hadjar Dewantara Tak Sekadar Pahlawan Pendidikan
-
Dulu Sekolah Melawan, Sekarang Hanya Mengejar Lulus Ujian
-
Politika Sekolah: Warisan Ki Hadjar Dewantara dalam Transformasi Pendidikan
-
Membangun Bangsa dari Ruang Kelas: Jejak Perlawanan Ki Hadjar Dewantara
Artikel Terkait
-
Ki Hadjar Melawan: Pendidikan, Politik, dan Api Perubahan Bangsa
-
Suluh Nusantara Merajut Asa Bangsa di Tengah Badai Global
-
Melepas Mahkota, Menyulam Kesetaraan Refleksi Pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara
-
Warisan Ki Hadjar Dewantara dan Pendidikan Hari Ini: Antara Cita-Cita dan Realita
-
Pendidikan Merdeka, Tapi untuk Siapa? Refleksi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
Kolom
-
Ki Hadjar Melawan: Pendidikan, Politik, dan Api Perubahan Bangsa
-
Suluh Nusantara Merajut Asa Bangsa di Tengah Badai Global
-
Melepas Mahkota, Menyulam Kesetaraan Refleksi Pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara
-
Warisan Ki Hadjar Dewantara dan Pendidikan Hari Ini: Antara Cita-Cita dan Realita
-
Ketika Pelindung Jadi Predator: Darurat Kekerasan Seksual di Indonesia
Terkini
-
Rekomendasi HP Android yang Dibekali dengan Baterai Besar, Kuat Temani Aktivitas Seharian
-
Royal Match: Game Puzzle Match-3 yang Dijamin Bikin Kamu Ketagihan!
-
Makin Ditepikan di Brisbane, Rafael Struick Jangan Pernah Berpikir untuk Hijrah ke Liga Indonesia!
-
Bosan? Ini 3 Rekomendasi Chatbot AI yang Bisa Dijadikan Teman Hiburanmu
-
Onew 'Mad', Gejolak Cinta Pandangan Pertama hingga Takut Kehilangan si Dia