Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia semakin gencar mengadopsi teknologi digital untuk meningkatkan layanan publik. Salah satu inovasi yang sedang naik daun adalah penggunaan chatbot—asisten virtual berbasis AI yang dirancang untuk menjawab pertanyaan, memberikan informasi, hingga memproses layanan tertentu secara otomatis.
Konsep ini terdengar menjanjikan: siapa pun bisa mengakses informasi layanan publik hanya lewat chat, tanpa harus antre di kantor pelayanan.
Namun, di balik kemudahan itu, muncul pertanyaan: apakah chatbot benar-benar membantu masyarakat, atau justru menjadi sumber frustrasi baru?
Sebut saja CHIKA, chatbot milik BPJS Kesehatan yang diluncurkan beberapa waktu lalu. CHIKA diklaim mampu menjawab berbagai pertanyaan peserta BPJS terkait layanan, pembayaran, hingga administrasi.
Begitu pula chatbot SEROJA milik Pemkab Sragen, yang mengintegrasikan berbagai informasi layanan publik ke dalam satu kanal percakapan.
Tak ketinggalan, Kementerian Kominfo meluncurkan chatbot literasi digital untuk meningkatkan pemahaman masyarakat soal keamanan digital.
Melihat perkembangannya, chatbot memang hadir dengan niat baik: meningkatkan efisiensi, mempercepat akses, dan memotong birokrasi berbelit. Tapi ketika masuk ke realita lapangan, masih banyak warga yang mengeluh karena merasa “bercakap dengan mesin” yang kaku, terbatas, dan kurang responsif.
Dilema di Lapangan
Beberapa teman saya sempat berbagi pengalaman soal interaksi mereka dengan chatbot layanan publik. Seorang kerabat yang mencoba mengurus kepesertaan BPJS via CHIKA mengaku kesal karena chatbot tidak bisa memahami kasusnya yang spesifik.
“Ujung-ujungnya saya tetap harus datang langsung ke kantor,” katanya.
Kasus ini bukan satu-dua. Banyak laporan serupa bermunculan: chatbot yang hanya menjawab skrip standar, kesulitan memahami pertanyaan berbahasa campuran, hingga lambat merespons.
Di sisi lain, tidak semua masyarakat Indonesia siap berinteraksi dengan teknologi semacam ini. Masih ada kesenjangan literasi digital, terutama di kalangan orang tua atau warga di daerah dengan koneksi internet terbatas.
Jika mengacu pada Teori Nilai Publik dari Mark Moore (1995), setiap kebijakan atau layanan publik seharusnya menciptakan nilai publik—baik dalam bentuk akses yang adil, pelayanan yang setara, maupun kepercayaan publik.
Sayangnya, dalam kasus chatbot, nilai publik ini justru berisiko tereduksi jika teknologi hanya dinikmati sebagian kecil warga yang “melek digital.”
Lebih jauh, pengalaman pengguna chatbot juga bisa dianalisis lewat teori Stimulus-Organisme-Respons (S-O-R). Stimulus berupa interaksi dengan chatbot akan diolah dalam persepsi pengguna (organisme), yang pada akhirnya memengaruhi respons: apakah mereka puas dan percaya, atau justru kecewa dan menghindari layanan digital.
Jika chatbot terasa dingin, tidak empatik, dan tidak solutif, maka kepercayaan masyarakat terhadap layanan digital bisa menurun.
Butuh Perbaikan, Bukan Sekadar Gimmick
Lantas, apa solusinya? Pertama, pemerintah perlu memastikan bahwa chatbot bersifat inklusif dan ramah bagi semua kalangan. Ini bisa dimulai dengan memperbanyak opsi bahasa (termasuk bahasa daerah), menyediakan fitur bantuan manusia saat chatbot gagal menjawab, serta memastikan interface yang mudah digunakan oleh orang tua.
Kedua, literasi digital masyarakat harus dikejar, terutama di daerah tertinggal. Chatbot tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan masyarakat yang paham cara mengakses dan memanfaatkannya. Program literasi digital seperti yang dilakukan Kominfo perlu lebih masif dan menyasar komunitas-komunitas akar rumput.
Ketiga, keamanan dan privasi data harus diperkuat. Banyak warga masih ragu menyerahkan data pribadi ke chatbot. Pemerintah harus menjamin sistem perlindungan data yang jelas, transparan, dan sesuai regulasi.
Terakhir, evaluasi berkala perlu dilakukan dengan melibatkan suara pengguna. Jangan hanya mengandalkan laporan internal atau klaim keberhasilan, tapi dengarkan juga keluhan dan saran masyarakat secara langsung.
Chatbot dalam layanan publik memang bukan solusi ajaib. Ia bisa membantu, tapi juga bisa menimbulkan masalah baru jika tidak dirancang dan diimplementasikan dengan matang.
Pemerintah perlu hati-hati agar inovasi ini tidak malah memperlebar jarak antara birokrasi dan warga. Karena di ujung hari, pelayanan publik bukan soal seberapa canggih teknologinya, tapi seberapa manusiawinya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Generasi Urban Minimalis: Kehidupan Simpel untuk Lawan Konsumerisme
-
Pekerja Lepas di Era Gig Economy: Eksploitasi Ganjil di Balik Nama Kebebasan Moneter
-
Berburu Pangan Lokal: Dari Pasar Tradisional ke Meja Makan Ramah Iklim
-
Sisi Gelap Internship di Industri Kreatif: Magang atau Kerja Rodi?
-
Bawa Botol Minum Sendiri: Kebiasaan Kecil yang Selamatkan Laut dan Iklim
Artikel Terkait
-
Bukan Sekadar Cerdas: Saatnya Bentuk Karakter Anak yang Tangguh dan Peka di Era Digital
-
5 Tahun Innovillage : Dari Mahasiswa Jadi Inovator Sosial Muda untuk Indonesia Berkelanjutan
-
Strategi Emiten BELI Cari Cuan di Momen Belanja Online 5.5
-
Rahasia Jurnalis Unggul di Era Digital: Kuasai AI dengan Pelatihan Bersertifikasi Gratis
-
Pandji Pragiwaksono Jadi Korban AI Buat Promosi Judi Online
Kolom
-
Epilog Sendu Semangkuk Mie Ayam dan Segelas Es Teh di Bawah Hujan
-
Generasi Urban Minimalis: Kehidupan Simpel untuk Lawan Konsumerisme
-
Bandara Husein Sastranegara Ditutup, Wisata Bandung seperti Dibunuh Pelan-Pelan
-
Pekerja Lepas di Era Gig Economy: Eksploitasi Ganjil di Balik Nama Kebebasan Moneter
-
Mahar, Peran Gender, dan Krisis Kesetaraan dalam Pernikahan
Terkini
-
Performa Gemilang, Jurnalis Italia Sarankan Klub Ini Rekrut Jay Idzes
-
Meski Tuai Pujian, How to Train Your Dragon (2025) Dinilai Tak Penting
-
Nambah Trofi, Doyoung NCT Raih Kemenangan Ketiga Lagu Memory di Music Core
-
Carlos Eduardo Perpanjang Kontrak, Akui Sudah Jatuh Cinta dengan Persija?
-
Penuh Energi dan Percaya Diri, VVUP Resmi Comeback dengan Lagu Giddy Boy