Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Tangkapan layar persidangan Mahkamah Konstitusi (Youtube: Mahkamah Konstitusi RI)

Menginjak 2,5 dekade Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berdiri tegak mengarungi catatan panjang jejak sejarah politik hukum ketatanegaraan bangsa Indonesia pasca melutupnya peristiwa reformasi 1998.

Cita-cita yang terbingkai pada pertengahan tahun 2003 silam telah membentuk lembaga Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka dan imparsial dengan peran etis yang melekat dalam tubuhnya sebagai "The Guardian of Constitution" sampai saat ini.

Namun, ditengah usianya yang menginjak 2,5 dekade tahun ini, Mahkamah Konstitusi dihadapkan dengan beragam tantangan yang semakin kompleks dan pariatif. Akselerasi perkembangan dan kemajuan teknologi di abad 21 telah membawa gelombang disrupsi yang berdampak pada setiap celah sektor kehidupan berbangsa dan bernegara tak terkecuali pada ekosistem penyelenggaraan peradilan di lingkungan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Sehingga fenomena disrupsi ini tidak hanya menyangkut perubahan transisional, tetapi juga proses transformasi yang dapat mengubah secara kualitas struktur fundamental.

Digitalisasi, Tantangan MK Hari Ini

Proses transmigrasi interaksi konvesional ke dalam bentuk digital tak ubahnya pisau bermata dua (read: dilematis). Selain dampak positif yang didapatkan, ada juga sisi negatif yang mesti diantisipasi. Perkembangan digital menyebabkan pergolakan teknologi yang mempengaruhi kehidupan sosial. Untuk menghadapi turbulensi ini, Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga peradilan tertinggi harus memposisikan dirinya sebagai bagian daripada sasaran perubahan yang tak mungkin terhindarkan.

Hyper information atau surflus saluran informasi yang kerap bermuatan menyesatkan (hoax), fitnah, propaganda kebencian antar kelompok sehingga yang terjadi adalah kegaduhan, pembelahan dan konfrontasi horizontal di masyarakat adalah sebagian kecil konsekuensi dari transformasi digital.

Problem ini pada akhirnya hanya akan menjadi benang kusut yang sulit dilerai terlebih menjelang momentum Pemilu 2024 yang acap membawa tensi tinggi ke dalam interaksi sosial media yang semakin memperkeruh suasana.

Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi sebagai "The Final Interpreteur of Constitution" harus senantiasa berupaya me-re-sosialisasi keakraban warga negara yang mulai memudar karena gejala hyper fanatism sectarian  dengan cara mendistribusikan literasi dengan merata dalam memaknai  nilai-nilai konstitusi secara utuh melalui pendekatan yang berbasis pada keterbukaan informasi, akuntabilitas dan nilai-nilai demokrasi.

Di lain hal tantangan yang menyangkut hal-hal yang bersifat teknis, formal dan struktural. Selain sub-kendala dalam pemenuhan infrastruktur penunjang yang memadai, belakangan keberadaan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi sub-tantangan baru di era Next Level Technology bagi Mahkamah Konstitusi.

Pasalnya, ketidaktersediaan pengaturan landasan hukum yang jelas dalam mengatur keberadaan AI mengakibatkan laju pemanfaatan teknologi tersebut tidak dieksplorasi dan dikuasai secara optimal khususnya dalam mengembangkan Legal Technology.

Senada dengan pemanfataan Artificial Intelligence, dalam praktik penggunaanya masih terdapat kontroversi dan kekhawatiran menimbulkan implikasi hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia seperti dalam sektor hak kebebasan berekspresi, hak keamanan privasi, perlindungan data dan interaksi lain yang terkoneksi secara digital.

Sedang dalam praktik peradilan, implementasi AI memang perlu dikaji ulang dan dipandang secara bijak dalam memproduksi suatu keputusan yudisial melalui bantuan AI agar tidak menimbulkan teralienasinya rasa keadilan karena hal-hal yang bersifat pragmatis.  

Hal itu selaras dengan artikel yang dipublikasi oleh Unesco yang bertajuk: "AI and the Rule of Law: Capacity Building for Judicial Systems", bahwa penggunaan AI dalam praktiknya masih menimbulkan beragam tantangan yang mesti diatasi seperti pengenalan pola, etika, keputusan bias yang diambil oleh algoritme berbasis AI, keterbukaan, dan akuntabilitas.

Oleh karena itu rasa kecemasan ini semestinya diantisipasi oleh Mahkamah Konstitusi guna memastikan bahwa iklim demokrasi dan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara terjamin ditengah resistensi digital yang tak terbatas.

Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir Mahkamah Konstitusi telah mengalami transformasi dan transisi paradigma, struktural dan budaya kerja. Dapat terlihat dari beberapa upaya pembenahan yang dilakukan secara konsisten dengan memobilisasi interaksi digital, pemangkasan alur dan tata kerja yang menghambat agar lebih efisien tanpa mengeliminasi hak-hak konstitusional semua warga negara.

Membingkai Harapan dalam Kuasa Digital

Merespons kondisi demikian publik mengharapkan Mahkamah Konstitusi memposisikan dirinya secara strategis untuk berinovasi secara visioner dan adaptif dalam menghadapi fenomena disrupsi dengan tetap berorientasi pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Hal itu juga meliputi transformasi konstruksi landasan hukum, struktur hukum yang meliputi aparatur hukum, infrastruktur sarana dan prasarana yang memadai, serta terwujudnya kualitas sumber daya masyarakat yang tercerahkan pada nilai-nilai konstitusionalitas. Apabila ketiga indikator (struktur, substansi, budaya) tersebut terpenuhi, maka sepertihalnya yang dikemukakan oleh Prof. Soerjono Soekanto efektivitas sistem hukum telah terpenuhi.

Sedang dalam konteks keberadaan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) yang belakangan mulai hampir mengisi beragam sektor strategis (pendidikan, ekonomi, sosial, budaya dan hukum), Mahkamah Konstitusi perlu mempertimbangkan pemanfaatanya secara bijak, bukan dalam rangka mengganti peran utama manusia yang memiliki optik otentik soal keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan yang tak dimiliki oleh indera robotik, melainkan menempatkan AI sebagai alternatif media pendukung penyelenggaraan persidangan sebagai bentuk implementesi terhadap prinsip persidangan cepat, sederhana dan biaya ringan.

Oleh karenanya, proses tranformasi interaksi  yang dilakukan Mahkamah Konstitusi tidak semestinya dilakukan dengan cara-cara yang justru akan mengorbankan, mengalienasi bahkan mensegregasi nilai-nilai yang jauh lebih esensial yaitu hak konstitusional.

Lebih jauh, menanggapi kompleksitas tantangan yang akan dihadapi Mahkamah Konstitusi di masa depan publik berharap lebih akan ada beragam upaya yang semestinya harus segera dilaksanakan secara konsisten, sinkron dengan kecepatan teknologi digital agar tidak terjadi kekosongan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga hak-hak masyarakat dalam memperoleh keadilan tidak termarjinalkan karena pertimbangan pragmatis yang berorietasi pada sektor efisiensi. 

Hemat kata, memaknai fenomena disrupsi teknologi hari ini, publik berharap Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia akan terus berjalan pada prinsip utamanya sebagai "The Guardian of Constitution" dengan harap bahwa iklim penyelenggaraan ketatanegaraan berjalan stabil dari potensi despotisme era digital, mewujudkan supremasi konstitusi, mendistribusikan keadilan, demokratisasi serta perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang selalu dijamin oleh konstitusi.

Yayang Nanda Budiman