Menjelang peringatan HUT RI ke-80, masyarakat Indonesia sekali lagi menunjukkan bahwa cara mereka mencintai dan mengkritik negeri ini tidak selalu berjalan di rel konvensional.
Di berbagai sudut kota, dari gang kecil hingga kaca mobil pribadi, berkibarlah bendera yang tak lazim untuk sebuah perayaan kemerdekaan: bendera bajak laut dari serial anime One Piece. Tepatnya, Jolly Roger milik Luffy si topi jerami berupa tengkorak putih tersenyum mengenakan topi jerami dengan dua tulang bersilang.
Ini bukan sekadar gimik fandom. Di balik bendera itu, tersimpan pesan simbolik yang tidak bisa diabaikan. Banyak warga yang mengibarkannya secara sadar sebagai bentuk protes atau ungkapan frustrasi, kekecewaan, dan perlawanan terhadap arah dan kualitas pemerintahan saat ini.
Ketika bendera negara masih sakral secara simbolis, bendera fiksi ini tampil sebagai “bendera rakyat” yang justru menyuarakan kegelisahan banyak orang.
Simbol yang Tidak Sederhana
Bagi mereka yang asing dengan One Piece, perlu dijelaskan bahwa Jolly Roger bukan sekadar lambang bajak laut. Dalam narasi anime yang telah berjalan lebih dari dua dekade itu, simbol tersebut adalah representasi dari perlawanan terhadap kekuasaan yang otoriter, solidaritas, dan kebebasan.
Para tokoh utama bukanlah penjarah laut, melainkan petualang yang melawan ketidakadilan dari rezim World Government yang menindas.
Maka, ketika simbol itu dikibarkan oleh warga Indonesia, ia tak serta-merta menghapus nasionalisme. Justru di situlah letak paradoksnya: masyarakat merasa perlu mengibarkan simbol perlawanan untuk menegaskan bahwa mereka masih punya semangat merdeka, ketika pemerintah dirasa tidak lagi mewakili kepentingan rakyat.
Apa yang terjadi saat ini adalah sebuah “metafora kemerdekaan yang terluka”. Bahwa di usia ke-80, sebagian rakyat Indonesia merasa mereka belum benar-benar bebas. Bebas dari ketimpangan. Bebas dari ketidakadilan. Bebas dari arogansi kekuasaan yang merasa benar sendiri dan enggan mendengar.
Bendera Pop vs Nasionalisme Konvensional
Tentu, pengibaran bendera asing di momen kenegaraan bisa memantik debat panjang soal nasionalisme. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad sudah menyuarakan kekhawatiran itu: ia menyebut fenomena ini sebagai upaya sistematis yang berpotensi memecah belah bangsa. Namun pernyataan itu seperti menutup mata terhadap kegelisahan sosial yang memunculkan fenomena ini sejak awal.
Alih-alih langsung menyalahkan rakyat, para elite politik semestinya bertanya: mengapa rakyat perlu meminjam simbol dari Jepang untuk menyampaikan aspirasi politik mereka? Apa yang salah dengan cara negara ini mengelola ruang ekspresi warganya? Bukankah ini cermin dari komunikasi politik yang semakin menjauh dari akar rumput?
Nasionalisme hari ini bukan lagi milik tunggal negara. Ia adalah dialog dua arah antara warga dan institusi. Ketika negara hanya mengedepankan simbol dan formalitas, rakyat akan menciptakan simbol tandingannya—dan tidak ada yang lebih kuat dari simbol yang lahir dari budaya populer dan dikukuhkan oleh jutaan orang yang merasa senasib.
Kritik Melalui Budaya Pop
Kita hidup di zaman ketika kritik tidak lagi hadir dalam bentuk pidato panjang atau surat pembaca. Kritik sosial bisa muncul dalam meme, tarian TikTok, bahkan bendera bajak laut bertopi jerami. Ini adalah bagian dari fenomena perlawanan melalui representasi simbolik yang mudah diakses dan dimaknai secara kolektif.
Hal yang menarik, pemerintah dan elite politik belum tentu siap menghadapi bentuk kritik semacam ini. Mereka cenderung gagap membedakan mana ekspresi budaya, mana ancaman keamanan.
Padahal, jika didekati dengan cara yang tepat, simbol ini bisa menjadi pintu dialog. Alih-alih ditekan atau dituding sebagai makar halus, simbol semacam ini justru bisa menjadi pengingat bahwa pemerintah perlu lebih mendengar.
Ketika rakyat memilih Luffy sebagai wajah perlawanan, bukan berarti mereka ingin menggantikan Garuda Pancasila dengan bajak laut. Mereka hanya ingin mengatakan bahwa semangat kemerdekaan belum sepenuhnya dirasakan. Bahwa musuh yang mereka hadapi bukan penjajah, tapi pengabaian.
Antara Lelucon dan Seruan Serius
Tentu, tak semua pengibar bendera One Piece memaknainya secara politis. Sebagian melakukannya hanya karena ikut tren. Tapi di sinilah letak keistimewaannya: sebuah simbol yang mampu menyatukan fans dan aktivis, generasi Z dan milenial, penonton anime dan pemilik keresahan sosial, dalam satu bentuk ekspresi publik.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa budaya pop bisa menjadi jembatan antara dunia hiburan dan dunia politik. Bahwa lelucon, ketika digarap dengan konteks sosial yang tajam, bisa menjadi kritik yang lebih menggigit dari orasi jalanan.
Kita tidak sedang mengalami krisis nasionalisme. Yang kita alami adalah krisis representasi. Ketika simbol resmi tak lagi cukup menjawab aspirasi rakyat, maka rakyat akan menciptakan simbolnya sendiri, dengan cara yang paling bisa mereka pahami dan rayakan bersama.
Penutup
Sejatinya, kemerdekaan bukan hanya tentang mengenang perjuangan masa lalu, tetapi juga tentang memperjuangkan keadilan di masa kini. Jika negara benar-benar percaya pada demokrasi dan kebebasan berpendapat, maka pengibaran bendera bajak laut itu seharusnya tidak dilihat sebagai penghinaan, melainkan undangan untuk refleksi.
Bendera One Piece mungkin tak akan menggantikan Merah Putih. Tapi ia mengingatkan kita bahwa semangat perlawanan terhadap ketidakadilan tak pernah benar-benar mati. Bahkan jika ia harus datang dari dunia fiksi.
Baca Juga
-
Pemblokiran Rekening Dormant, Respons Publik dan Kebijakan yang Tergesa?
-
Sound Horeg dan Dinamika Budaya Populer di Era Digital
-
Peran Keluarga dalam Menangkal Konten Absurd dan Brain Rot Pada Anak
-
Menikmati Musik Jazz di Jantung Kota Bandung
-
Studio Rosid: Menyusuri Jejak Ingatan dalam Sunyi yang Terawat
Artikel Terkait
-
Media Asing Soroti Aksi Warga Indonesia Kibarkan Bendera One Piece
-
Hasan Nasbi vs Ahmad Muzani: Dua Sudut Pandang Soal Bendera One Piece
-
Benarkah Gerakan Pasang Bendera One Piece Jelang HUT RI Terinspirasi Gibran?
-
SUARA LIVE! Gibran Pakai Pin One Piece saat Debat, Fahri Hamzah Usul Pajak Rumah Tapak Dinaikkan
-
Contoh Susunan Acara Malam Tirakatan 17 Agustus 2025 di Lingkungan RT/RW
Kolom
-
Merdeka Tapi Masih Overwork: Refleksi Kemerdekaan di Tengah Hustle Culture
-
Bendera One Piece dan GenZ: Antara Ekspresi Budaya Pop dan Etika Kebangsaan
-
Jari Lincah, Pikiran Kritis: Menavigasi Labirin Digital Pelajar Masa Kini
-
Saat Istirahat Dianggap Dosa, Menggugat Budaya Toxic Productivity
-
Membenahi Mindset Seksis: Saat Istri Cerdas Bukan Ancaman, Tapi Anugerah
Terkini
-
WayV Sukses Buka Tur Konser No Way Out di Seoul: Kami Akan Terus Berkembang
-
Sulthan Zaky Merapat ke Klub Kamboja, Siap Tambah Pengalaman Internasional
-
Bubar! Purple Kiss Akhiri Aktivitas Grup di Bulan November
-
Peringati HUT ke-22, PPAD Tabur Bunga di Taman Makam Pahlawan Seluruh Nusantara
-
Bocor! Intip Foto dari Lokasi Syuting Film The Adventures of Cliff Booth