Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi pekerja (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Tidak hanya sebagai dokumen penting yang membuktikan bahwa seseorang telah lulus menempuh pendidikan, ijazah juga memiliki peran lain sebagai status sosial maupun sebagai syarat dalam melamar pekerjaan.

Selembar kertas ini sangat berharga bagi kita semua karena tidak hanya soal berapa banyak materi yang dikeluarkan, tapi juga waktu, usia, dan tenaga yang harus dikuras untuk “menebusnya”.

Dalam konteks ketenagakerjaan, ijazah masih menjadi syarat wajib bagi banyak perusahaan dalam merekrut para calon karyawan. Persyaratan untuk melampirkan ijazah oleh perusahaan tentu sudah menjadi hal yang lumrah, akan tetapi semua ini akan menjadi masalah ketika ijazah asli  harus ditahan dengan dalih “dititipkan”.

Pada umumnya syarat penahanan ijazah karyawan baru oleh perusahaan sering kali dimaksudkan sebagai “jaminan” dan bentuk keseriusan karyawan untuk bekerja di perusahaan tersebut.

Hal ini sering dilakukan oleh beberapa perusahaan sebagai upaya mitigasi dengan tujuan agar setiap karyawan tidak mengundurkan diri (resign) sebelum masa kontrak kerja selesai. Syarat ini sering menyasar pegawai kontrak yang berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa yang menjadi inti permasalahan yang terjadi saat ini soal bagaimana penahanan ijazah oleh perusahaan merupakan tindakan yang berbahaya ialah ketika syarat tersebut digunakan pengusaha sebagai alat untuk memaksa, mengekang, dan “mengintimidasi” karyawan untuk tetap patuh pada regulasi internal, kendati ekosistem perusahaan tersebut buruk.

Bahkan ada juga pada beberapa kasus ketika kontrak kerja karyawan telah selesai atau denda telah dibayarkan tapi ijazah tak kunjung dikembalikan. Kondisi ini tentu tak hanya merugikan pihak karyawan, bahkan pembiaran tradisi ini justru akan memperburuk citra perusahaan di para pencari kerja.

Legalitas Penahanan Ijazah

Problem klasik soal penahanan ijazah karyawan oleh perusahaan sampai hari ini masih menjadi perdebatan alot di kalangan pengambil kebijakan hingga karyawan.

Situasi ketidakpastian ini disebabkan karena ketiadaan payung hukum yang jelas dalam peraturan perundang-undangan. Akibatnya, karena tidak ada aturan yang melarang selama didasari atas dasar kesepakatan, maka praktik ini akan dianggap normal tanpa mempertimbangkan implikasinya.

Senapas dengan itu, sebagian pihak berpendapat bahwa penahanan ijazah ini tidak bermasalah selama ada kesepakatan di antara kedua belah pihak, yakni antara pekerja dan pemberi kerja.

Pendapat tersebut berangkat pada landasan hukum Pasal 1320 KUHPerdata Jo. Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyangkut syarat sah perjanjian serta merujuk pada Surat Edaran Kemenaker No. B.796/PHIJSK/IX/2015 yang berangkat pada ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata.

Namun penulis menilai bahwa pendapat tersebut terlalu naif apabila kita mengesampingkan aspek relasi kuasa antara pekerja dan pemberi kerja yang tak setara. Karakteristik perjanjian kerja dengan perjanjian biasa tentu sangat berbeda. Pekerja hanya dihadapi dengan satu pilihan: take it or leave it.

Ketidaseimbangan kedudukan tersebut berpotensi mengakibatkan pekerja akhirnya bersedia menerima persyaratan apapun asal dipekerjakan, salah satunya yaitu penyepakati penahanan ijazah.

Padahal, penahanan ijazah tersebut berpotensi merugikan hak karyawan karena perusahaan memegang dokumen berharga milik karyawan yang seharusnya dikuasai secara langsung oleh karyawan yang bersangkutan selaku pemilik.

Perlindungan Hukum Karyawan

Kemudian timbul pertanyaan bagaimana apabila perusahaan tidak kunjung mengembalikan ijazah karyawan sedangkan diketahui bahwa masa kontrak kerja telah selesai?

Apabila mendapat kasus seperti ini, maka karyawan dapat melaporkan perusahaan ke pihak kepolisian dengan dugaan tindak pidana penggelepan sebagaimana diatur dalam Pasal 374 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun.

Apabila, misalnya, dalam praktik perjanjian kerja tersebut terdapat adanya paksaan (bedreiging), penipuan (bedrog), khilafan (dwaling), dan penyahgunaan keadaan (misbruik van omstadigheden), maka karyawan dapat memintakan pembatalan perjanjian.

Ada beberapa ketentuan yang sebaiknya diatur dalam perjanjian kerja guna memenuhi asas itikad baik seperti; Pertama, perusahaan wajib mengembalikan ijazah saat masa kontrak berakhir. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum karyawan agar dapat menuntut haknya atas ijazah yang ditahan perusahaan. Kedua, bentuk jaminan dari perusahaan melanggar perjanjian kerja. Ketiga, pertanggungjawaban perusahaan jika ijazah mengalami kerusakan atau musnah

Bahkan apabila ijazah yang ditahan oleh perusahaan tersebut sampai rusak atau hilang, maka dari aspek hukum pidana, tindakan tersebut dapat dijerat dengan Pasal 406 Ayat (1) KUHP dengan memenuhi unsur sengaja dan melawan hukum; menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500.000,00.

Jadi dalam kesimpulan penulis berpendapat bahwa tindakan penahanan ijazah sangat berisiko bagi perusahaan apabila ijazah tersebut sampai rusak atau hilang.

Bahkan penahan ijazah menurut hemat penulis bukanlah solusi satu-satunya untuk memastikan akan kepastian dan keseriusan karyawan dalam bekerja, karena dengan adanya kontrak kerja saja sudah cukup untuk dapat menjadi alat bukti bagi perusahaan di Pengadilan Hubungan Industrial apabila karyawan terbukti mengingkari perjanjian.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yayang Nanda Budiman