Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup kamu lagi lambat banget, tapi Instagram story teman-teman kamu isinya staycation, OOTD, ngopi-ngopi, dan potret senyum bahagia seolah semua baik-baik saja? Rasanya kayak dunia terus berputar, tapi kamu sendiri stuck di tempat.
Nah, kira-kira beginilah kondisi ekonomi Indonesia awal tahun ini. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal pertama 2025 cuma 4,87 persen. Turun dibanding kuartal sebelumnya yang 5,11 persen. Mungkin terdengar seperti selisih tipis, tapi di dunia ekonomi, ini cukup bikin alis ekonom terangkat dan investor mikir dua kali.
Tapi lucunya, narasi dari atas tetap kenceng: ekonomi kita kuat, stabil, dan tahan banting. Lalu kita yang di bawah, yang ngerasa harga mie ayam naik seribu dan bensin makin boros, jadi nanya sendiri, “Ini saya yang nggak paham ekonomi, atau ada yang lagi jago storytelling?”
Ada satu pola yang makin ke sini makin kelihatan: ketika data ekonomi menurun, yang dibetulin duluan bukan kebijakan, tapi narasi. Retorika. Gaya ngomong. Judul berita. Seolah-olah, kalau kita cukup sering bilang “ekonomi Indonesia tangguh,” maka rakyat pun akan merasa dompet mereka juga ikut tangguh.
Padahal, realitasnya nggak gitu.
Coba deh cek harga beras, telur, minyak goreng. Harga kebutuhan pokok naiknya nggak pakai malu-malu.
Belum lagi daya beli masyarakat yang melemah—bukan kata warganet, tapi data dari Indeks Keyakinan Konsumen Bank Indonesia. Bahkan penjualan ritel pun menurun. Tapi ya itu, di atas tetap bilang: kita sedang baik-baik saja. Bahkan ada yang bilang pertumbuhan 4,87 persen itu “cukup sehat.”
Maaf nih, sehat dari sudut pandang siapa dulu?
Oke, mari kita bahas angka dengan santai. Pertumbuhan ekonomi 4,87 persen artinya total barang dan jasa yang diproduksi dalam negeri meningkat sebesar itu dibanding tahun lalu.
Kedengarannya bagus, tapi perlu diingat: angka ini melambat. Dan yang bikin tambah miris, ini terjadi di awal tahun—di mana biasanya ekonomi justru mulai menggeliat karena ada belanja pasca-libur, proyek baru dimulai, dan sebagainya.
Kalau awal tahun aja udah lesu, gimana nanti?
Apalagi, beberapa faktor pendorong ekonomi kita seperti ekspor masih tertekan. Industri manufaktur belum juga sepenuhnya pulih. Sektor konsumsi rumah tangga—yang selama ini jadi penopang utama pertumbuhan kita—juga mulai goyah karena daya beli yang melemah.
Jadi, ini bukan cuma soal angka turun. Ini soal sinyal bahwa mesin ekonomi kita mulai batuk-batuk.
Yang bikin publik makin bingung adalah kontras antara “narasi optimisme” dengan realitas sehari-hari. Pemerintah terus bicara soal megaproyek—ibu kota baru, makan bergizi gratis, kampung Indonesia di luar negeri, pertahanan nasional, dan seterusnya. Tapi di sisi lain, subsidi makin dikurangi, utang bertambah, dan harga-harga naik terus.
Ini seperti kamu lagi bokek, tapi tetap maksa beli iPhone terbaru karena “buat investasi masa depan.” Bisa jadi benar, tapi kalau perut kosong dan tagihan numpuk, siapa yang tahan?
Kamu mungkin mikir, “Yaelah, ekonomi itu urusan pemerintah, ngapain gue pusingin?”
Justru karena kamu bagian dari ekonomi itu, kamu perlu peduli. Setiap kali kamu belanja, bayar parkir, pesan kopi susu, atau isi bensin motor, kamu berinteraksi dengan sistem ekonomi. Dan kalau sistem itu mulai lemah, yang pertama kena imbasnya ya bukan elite di istana, tapi rakyat kecil. Termasuk kita-kita yang hidup di antara cicilan dan gaji pas-pasan.
Selain itu, peduli ekonomi bikin kita lebih sadar saat narasi-narasi manis mulai terasa hambar. Kita jadi lebih kritis. Lebih bisa membedakan antara janji dan realisasi. Dan yang paling penting: kita bisa menuntut kebijakan yang benar-benar berpihak ke rakyat, bukan sekadar bikin headline cantik.
Kita bukan anti-pemerintah. Kita pro-akal sehat. Dan akal sehat bilang: kalau ekonomi mulai lesu, jangan malah pura-pura joget. Jangan tutupi dengan angka-angka indah tanpa makna. Sebab yang dirasakan rakyat bukan statistik, tapi realitas.
Kalau memang ekonomi Indonesia lagi melambat, ayo sama-sama cari cara mempercepatnya lagi. Tapi jangan biarkan publik terus dibius oleh narasi, seolah-olah semuanya baik-baik saja.
Karena kalau kita terlalu lama berpura-pura, yang nanti sakit bukan cuma ekonomi—tapi juga kepercayaan publik.
Dan itu, jauh lebih sulit disembuhkan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Stok Beras 3,5 Juta Ton, tapi Harga Tetap Mahal: Ilusi Ketahanan Pangan?
-
MBG dan Matematika Kekuasaan: Mengapa 0,01% Keracunan Masih Terlalu Banyak?
-
UU BUMN Cabut Status Penyelenggara Negara: Apa Dampaknya untuk Rakyat?
-
Danantara dan Rp17 Ribu Triliun: Kekayaan Negara yang Tak Sampai ke Rakyat
-
Bank Dunia Bilang Kita 60% Miskin, BPS Cuma 8%: Siapa yang Salah Hitung?
Artikel Terkait
-
BRI Dukung IPPA Fest 2025, Tumbuhkan Kreativitas Warga Binaan untuk Bekal Masa Depan
-
Strategi Jangka Panjang BRI di Bawah Kepemimpinan Hery Gunadi
-
Setengah Tahun Pemerintahan Prabowo! Dulu Ekonomi RI Disebut Komodo, Mungkin Sekarang Cicak?
-
Stok Beras 3,5 Juta Ton, tapi Harga Tetap Mahal: Ilusi Ketahanan Pangan?
-
Idul Adha 2025 Berpotensi Berbeda? Ini Versi Muhammadiyah, NU dan Pemerintah
Kolom
-
Antara Bansos, Sterilisasi, dan Krisis Hak Asasi Manusia
-
Wanita Karier Selalu Merasa Bersalah, Benarkah?
-
Prokrastinasi di Tempat Kerja, Alarm bagi Manajemen Modern
-
Kurusnya Anak Negeri: Gizi Buruk dan Krisis Stunting di Indonesia
-
Stok Beras 3,5 Juta Ton, tapi Harga Tetap Mahal: Ilusi Ketahanan Pangan?
Terkini
-
Taipei Open 2025: Tiga Wakil Ganda Campuran Sukses Buka Kemenangan Awal
-
NARA Coffee, Rekomendasi Kafe Hidden Gem ala Ghibli di Malang
-
Marvel Resmi Ubah Judul Thunderbolts* Jadi The New Avengers
-
Kiss of Life 'Live, Love, Laugh' Pesan untuk Menghargai Momen dalam Hidup
-
Jadi Pembalap Cadangan di Alpine, Jack Doohan: Ini Sulit, Saya Mau Balapan