Pernah nggak sih kamu tiba-tiba pengin banget traveling, tapi semua teman sibuk, pasangan nggak bisa cuti, dan keluarga kurang antusias? Lalu muncul ide iseng, “Gimana kalau pergi sendiri aja?”
Tapi kemudian muncul rasa was-was,“Sendirian? Emang nggak kesepian? Nggak bahaya? Nggak membosankan?”
Padahal, jalan-jalan sendiri alias solo traveling itu nggak se-menyeramkan yang dibayangkan. Malah buat sebagian orang, justru jadi pengalaman hidup yang paling membebaskan dan ngasih banyak pelajaran.
Solo traveling bukan berarti kamu menyendiri di sudut hostel sambil nelpon teman dan nahan tangis. Justru kadang, dengan pergi sendiri, kamu malah lebih terbuka ketemu orang baru, ngobrol sama penduduk lokal, atau bahkan diajak join trip dadakan sama sesama traveler.
Riset dari Booking.com bahkan menunjukkan bahwa lebih dari 40% generasi muda di Asia Tenggara mulai menjadikan solo traveling sebagai cara self-discovery, yaitu tempat untuk belajar tentang diri sendiri, refleksi hidup, dan keluar dari rutinitas sosial yang melelahkan.
Dan anehnya, banyak yang justru merasa lebih present saat bepergian sendiri. Nggak harus nunggu teman yang kelamaan dandan, nggak harus debat mau makan di mana, dan nggak harus pura-pura semangat kalau tempat tujuannya ternyata bukan seleramu.
Satu hal yang bikin solo traveling makin menarik adalah perasaan you against the world, tapi dalam versi yang positif. Kamu yang pesan tiket sendiri, ngatur itinerary sendiri, hadapi nyasar sendirian, cari makan sendiri, ngobrol dengan bahasa tubuh saat orang nggak ngerti kamu ngomong apa.
Tantangannya real, tapi justru itu yang bikin kamu tumbuh. Karena semua keputusan ada di tanganmu. Kamu jadi lebih percaya diri, lebih peka, dan lebih fleksibel dalam menghadapi hal-hal di luar rencana.
Dan jangan salah, banyak banget yang pertama kali solo trip karena iseng justru akhirnya ketagihan. Ada yang awalnya cuma pergi ke Bandung naik kereta, lama-lama berani ke Jepang, Eropa, sampai road trip antar kota sendirian.
Solo traveling bukan cuma buat orang berduit. Kamu nggak harus langsung ke Cappadocia atau backpacking ke Islandia. Kadang staycation dua malam di kota sebelah pun udah cukup menyegarkan pikiran, asal kamu niat bawa diri dan menyatu dengan suasana.
Misalnya, kamu bisa naik bus ke Yogyakarta dan nikmatin sore di Taman Sari sambil baca buku, makan gudeg sambil dengerin suara angkringan, atau naik sepeda sendiri keliling UGM. Pengalaman kayak gitu nggak akan bisa kamu dapetin kalau kamu pergi rame-rame dan waktunya mepet terus.
Kalo kamu khawatir dan takut kesepian, itu wajar kok. Kita manusia, secara naluriah memang suka ditemani. Tapi jangan samakan antara kesepian dengan kesendirian. Kamu bisa ngerasa sendirian di tengah keramaian, dan bisa ngerasa penuh meskipun cuma duduk sendiri di pinggir pantai.
Kalau kamu takut terlalu banyak waktu hening, kamu bisa siasati dengan bikin jurnal perjalanan, dengerin podcast favorit, dan bisa juga gabung walking tour atau kelas lokal di tempat tujuan kamu.
Dan perlu kamu ingat, traveling sendiri itu bukan ajang pembuktian ke siapa-siapa. Nggak perlu bikin semuanya terlihat estetik dan seru. Cukup jujur aja ke diri sendiri, kamu pengin ngapain, kamu nyaman di mana, dan kamu bahagia dengan versi travelingmu sendiri.
Tapi aman nggak sih?
Jawabannya: Aman-aman aja, asal kamu siap dan peka.
Usahakan kamu pilih akomodasi yang punya banyak ulasan positif dan jangan terlalu terbuka sama orang asing soal detail perjalananmu. Hal penting lainnya, kamu harus punya salinan dokumen penting di ponsel, dan jangan lupa punya kontak darurat. Selalu percaya intuisi kamu, kalau merasa nggak nyaman, ya jangan dipaksa.
Jalan-jalan sendiri itu bukan berarti anti-sosial atau nggak punya teman. Ini seni menikmati momen, tanpa harus menjelaskannya ke siapa-siapa. Dan percayalah, kadang justru di kesendirian, kamu bisa lebih mengenal dirimu sendiri.
Jadi, kalau kamu diberi satu minggu untuk jalan-jalan sendiri ke mana pun tanpa harus mikir siapa yang nemenin, kamu pengin pergi ke mana?
Baca Juga
-
Setahun Menghela Napas: Mengapa 2025 Terasa Lebih Melelahkan?
-
Internet Cepat, Nalar Lambat: Urgensi Literasi Kritis di Era Digital
-
Harapan di Ujung Tahun: Apa yang Masih Bisa Diselamatkan dari Indonesia?
-
Bukan Sekadar Tenda: Menanti Ruang Aman bagi Perempuan di Pengungsian
-
Belajar dari Pembubaran Diskusi Reset Indonesia: Mengapa Ruang Diskusi Perlu Dilindungi
Artikel Terkait
-
9 Bulan Jalan Kaki Lintas 7 Negara, Pemuda Tangerang Ini Tiba di Mekkah
-
Ketika Kesepian Menjadi Wajah Baru Krisis Sosial
-
Tampil Catchy saat Traveling dengan 5 Ide Outfit Simpel ala Raisa Andriana
-
Ulasan Novel Jepang Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage
-
5 Inspirasi OOTD Traveling ala Sashfir yang Mudah Ditiru, Simpel dan Elegan
Lifestyle
-
Kenawa: Menemukan Kedamaian di Padang Sabana Tengah Laut
-
5 Pilihan Lip Velvet Di Bawah Rp50 Ribu: Pigmented, Tidak Kering di Bibir!
-
5 Keunikan Thaif: Kota Sejuk yang Menyimpan Sejarah Kelam dan Doa Rasulullah
-
Kenapa Harus Malu? Menjadi Outfit Repeater Justru Cerdas dan Berprinsip
-
Rayakan Malam Tahun Baru dengan 4 Outfit Dinner ala Moon Ga Young
Terkini
-
Review Serial Plur1bus: Wabah Kebahagiaan Paksa Karya Kreator Breaking Bad
-
CERPEN: Sebuah Panduan Berburu Pelangi
-
Jordi Cruyff Pilih Hengkang dari PSSI, Simon Tahamata Bakal Menyusul?
-
Antara Sumpah 'Rela Mati' Prabowo dan Kepungan Sengkuni Modern
-
Review Film Manor of Darkness: Teror Sunyi di Balik Rumah Tua