Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Film Merah Putih One For All (21cineplex.com)

Film Merah Putih One For All, mengisahkan delapan anak dari berbagai latar budaya Indonesia bersatu menyelamatkan bendera merah putih yang hilang tiga hari sebelum 17 Agustus. Sebuah petualangan yang menggabungkan keberagaman dan heroisme, pas sekali menjelang HUT ke-80 RI.

Namun sayangnya, film itu banjir kritik bahkan sejak perilisan trailernya beberapa hari lalu. Mengapa demikian?

Salah satu yang dipermasalahkan netizen waktu produksinya. Publik dikejutkan oleh kabar bahwa film animasi anak berdurasi 70 menit ini dikerjakan hanya dalam waktu sekitar satu bulan, dimulai Juni 2025 dan siap tayang 14 Agustus 2025.

Anggarannya? Rp6,7 miliar. Untuk skala animasi bioskop, ini angka lumayan besar, tapi justru terasa aneh jika disandingkan dengan proses secepat kilat.

Hal lain yang harus kita sorot dari Merah Putih One For All ini adalah mengenai jejak para kreatornya.

Endiarto, yang berperan sebagai sutradara, penulis naskah, sekaligus produser eksekutif, namanya tidak banyak terdengar di industri film animasi nasional. Rekannya, Bintang Takari, juga bukan figur publik yang akrab di telinga penikmat film.

Informasi tentang mereka minim, kecuali beberapa unggahan Endiarto yang memperlihatkan pertemuannya dengan politisi, seperti Giring Ganesha dari PSI.

Di sinilah mulai muncul bisik-bisik, apakah film ini sekadar karya hiburan untuk anak-anak, atau bagian dari strategi komunikasi politik menjelang tahun-tahun panas?

Bukan rahasia bahwa industri kreatif, terutama film dengan tema nasionalisme, sering menjadi kendaraan empuk untuk pesan politis.

Simbol bendera, anak-anak dari berbagai suku, dan misi menyelamatkan identitas bangsa, ini semua adalah materi yang mudah digiring menjadi narasi politik jika konteksnya tepat. Apalagi kalau tayangnya bertepatan dengan momentum besar seperti HUT RI.

Ada yang bilang, ini hanya kebetulan. Tapi kebetulan demi kebetulan kadang terlalu rapi untuk diabaikan.

Produksi dimulai mendadak, rilis pas menjelang hari kemerdekaan, dan kreator utamanya punya hubungan yang setidaknya pernah terekam kamera dengan tokoh politik.

Pernyataan produser Toto Soegriwo saat trailer film menuai kritik pun terasa politis. Alih-alih mengulas keterbatasan teknis atau menjelaskan proses kreatifnya, Toto berkata, “Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain. Banyak yang mengambil manfaat juga kan? Postingan kalian jadi viral kan?” Kalimat seperti ini tidak ada bedanya dengan gaya politisi saat menghadapi kritik.

Apalagi, angka Rp6,7 miliar yang disebut sebagai biaya produksi membuat banyak orang geleng-geleng kepala. Dalam industri animasi, dana sebesar itu memang tidak fantastis, tapi cukup untuk menghasilkan kualitas yang jauh lebih rapi dibanding apa yang terlihat di trailer.

Wajar jika publik menanyakan ke mana sebenarnya larinya anggaran sebesar itu? Apakah sebagian besar habis di tahap promosi, honor, atau ada lubang-lubang yang sulit dilacak? Di negeri yang punya sejarah panjang kasus anggaran bocor, dugaan adanya penyalahgunaan dana tak bisa dihindari.

Bukan berarti film ini tidak layak tayang. Anak-anak mungkin akan tetap menikmatinya tanpa peduli soal render, framerate, atau shading. Tapi orang dewasa, terutama mereka yang paham relasi seni dan politik, akan membaca lapisan lain di balik layar.

Film Merah Putih One For All ini seharusnya menjadi ruang perayaan kreativitas, bukan arena untuk kepentingan yang tak ada hubungannya dengan seni.

Bendera merah putih di layar mungkin akan tetap berkibar, tapi jika di baliknya ada niat lain selain menyentuh hati penonton, maka pesan yang tersampaikan bukan lagi tentang persatuan dan kebanggaan nasional, melainkan tentang bagaimana simbol kebangsaan bisa diperdagangkan demi citra. Dan itu, sayangnya, adalah kisah yang jauh lebih muram daripada sekadar bendera yang hilang di dunia animasi.

Fauzah Hs