Pernah nggak sih kamu match sama seseorang di aplikasi kencan, ngobrol seru dua hari, lalu tiba-tiba orangnya hilang bak ditelan semesta? Atau kamu udah jujur soal tujuan cari pasangan serius, tapi dibalas dengan “kita jalanin aja dulu”—yang entah mau ke mana arahnya?
Tenang, kamu nggak sendiri. Dunia kencan digital emang lagi padat-padatnya drama.
Di era serba swipe dan tap ini, aplikasi kencan kayak Tinder, Bumble, atau Tantan makin akrab di layar HP anak muda. Katanya sih, biar gampang cari kenalan baru, ngobrol ringan, atau—kalau beruntung—ketemu jodoh. Tapi di balik serunya “You got a match!”, banyak yang akhirnya tumbang karena capek hati. Lelah emosional, bahasa halusnya.
Fenomena yang makin umum
Menurut data internal dari berbagai studi perilaku digital, lebih dari separuh Gen Z dan milenial pernah menggunakan aplikasi kencan. Tapi yang bikin menarik, hampir 65% dari mereka menghapus aplikasinya dalam waktu sebulan. Alasannya? Kebanyakan bilang “cape mental”.
Mulai dari obrolan yang dangkal, ketemu profil palsu, sampai ke pengalaman yang lebih serius kayak ghosting atau bahkan pelecehan. Ada yang merasa jadi terlalu berharap, padahal interaksi cuma di balik layar. Ada juga yang merasa “dipermainkan” secara emosional, karena lawan bicaranya hilang-timbul tanpa kejelasan.
Fenomena ini makin rame dibicarain di media sosial. Banyak yang mulai terbuka soal rasa frustasi mereka. Dan lucunya, keluhan itu malah menyatukan orang-orang yang sama-sama merasa “kecanduan kencan digital tapi kecewa mulu”.
Ketika pilihan banyak justru bikin ragu
Satu teori menarik datang dari Barry Schwartz lewat bukunya The Paradox of Choice. Menurut dia, terlalu banyak pilihan malah bikin kita stres, ragu, dan sulit puas.
Relevan banget dengan apa yang terjadi di dating apps. Pilihannya buanyak, tinggal swipe kiri-kanan. Tapi justru karena terlalu banyak, kita jadi bingung sendiri: “Yang ini lucu, tapi suka hiking. Yang itu nyambung, tapi masih chat sama mantannya.” Dan akhirnya, nggak ada yang dipilih.
Belum lagi kalau ngomongin attachment theory. Buat orang yang punya gaya keterikatan anxious atau avoidant, aplikasi kencan bisa jadi medan tempur emosional. Interaksi yang nggak konsisten, ghosting, atau obrolan setengah hati bisa memicu kecemasan dan rasa nggak aman.
Dan ya, semuanya semakin rumit karena aplikasi ini juga memanfaatkan dopamine loop. Notifikasi, like, match—semuanya dirancang biar kita terus buka, terus ngecek. Lama-lama bukan nyari koneksi, tapi nyari validasi.
Apa kita harus stop main dating apps?
Nggak juga. Tapi mungkin kita harus lebih sadar diri. Aplikasi kencan bukan iblis, tapi juga bukan penyelamat cinta. Yang bikin bahaya itu kalau kita nggak ngerti tujuan kita sendiri. Pengen ngobrol doang? Cari pasangan serius? Atau cuma pengen eksis?
Penting juga untuk jaga batasan. Kasih waktu buat diri sendiri buat detox digital, biar kepala nggak penuh ekspektasi dan hati nggak cepat lelah. Kadang, jauh dari layar malah bikin kita lebih tahu siapa diri kita, dan relasi seperti apa yang benar-benar kita butuhkan.
Pendidikan digital juga penting. Sayangnya, belum banyak yang ngajarin soal etika kencan online. Padahal, cara kita memperlakukan orang di ruang digital semestinya sama sopannya kayak di dunia nyata.
Dan mungkin, sudah waktunya buat kita dukung desain aplikasi yang lebih sehat. Aplikasi yang memfasilitasi koneksi bermakna, bukan cuma pamer foto keren dan pick-up line norak.
Dunia digital memang memberikan banyak peluang. Tapi soal hubungan, tetap butuh kesadaran, empati, dan kejujuran. Jangan sampai terlalu sering main aplikasi kencan malah bikin kita lupa cara mencintai secara nyata.
Jadi, kalau kamu lagi lelah hati setelah sekian match yang berujung ghosting, it's okay. Tarik napas. Tutup aplikasinya sebentar. Dunia nyata masih punya banyak ruang buat cinta yang tumbuh perlahan—nggak perlu swipe, cukup sapa.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Pembangunan Hilir vs Pembangunan Hulu: Benarkah Desa Ikut Sejahtera?
-
Reading Tracker dan Obsesi Kuantitas: Apa Kabarnya Kenikmatan Membaca?
-
FOMO Literasi: Ketika Membaca Berubah Jadi Ajang Pamer dan Tekanan Sosial
-
Pangkas Lahan Basah: Ketika Rawa Dihancurkan Demi Pembangunan
-
Masalah Emisi Rendah dan Kenyamanan Penumpang: Apa Kabar Janji Pemerintah?
Artikel Terkait
-
OCA Telkom Dorong Bapenda Sumbar: Transformasi Digital Ramah Lingkungan Dalam Kelola Pajak Daerah
-
Pernikahan Luna Maya dan Maxime Bouttier Dituding Tidak Sah, Habib Jafar Ikut Bersuara
-
Dedi Mulyadi Blak-blakan Soal Larang Wisuda Sekolah, Selamatkan Warga Jabar dari Jerat Pinjol
-
Wajah Baru Gaming dan Gambling di Era Digital: Antara Hiburan dan Kecanduan
-
Transaksi Judol Makin Marak, DANA dan GoPay Cs Diminta Perketat Sistem Transfer
Kolom
-
Film Bagus Memang Layak Diapresiasi Berjuta-Juta Penonton
-
Perayaan Lomba di SDTQ As-Surkati: Menyatukan Tawa, Semangat, dan Ukhuwah
-
Lewat Kebudayaan, Indonesia Perlu Menemukan Kembali Identitasnya
-
Kamu Tahu? Mendapatkan Slot Film Tayang di Bioskop, Nggak Semulus Jalan Tol
-
Proyek Laptop Kemensos: Teknologi sebagai Tameng Pemborosan Anggaran?
Terkini
-
Ulasan Novel Lumpu: Ketika Kekecewaan Dapat Mengubah Seseorang!
-
Piala Kemerdekaan 2025: Kans Menang Skuat Garuda Muda Melawan Uzbekistan U-17 KW 2
-
Ulasan Novel Love is a War Song: Perjalanan Cinta Seorang Penyanyi Pop
-
Living In Harmony: Lurik Fashion Show, Pentas Tari, dan Pertunjukan Musik
-
Sinopsis Drama Hide and Sis, Dibintangi Jan Ployshompoo dan Aye Sarunchana