Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | YESRUN EKA SETYOBUDI
Ilustrasi klithih, masalah dan solusi (SuaraJogja.id/Julianto)

Beberapa bulan terakhir, kasus klithih di Yogyakarta kembali mencuri perhatian publik. Aksi brutal kelompok pemuda yang menyerang warga secara acak bukan sekadar "kenakalan remaja", melainkan cermin ketimpangan struktural.

Menurut data Polda DIY (2024), kasus kekerasan remaja meningkat 40% selama 2023–2024, dengan korban terbanyak berusia 18–25 tahun. Mayoritas pelaku berasal dari keluarga ekonomi lemah, minim pendampingan, dan terpapar budaya kekerasan di media sosial.

Akar masalahnya kompleks. Pertama, kesenjangan ekonomi. Data BPS DIY (2024) menyebut 12% penduduk Yogyakarta masih hidup di bawah garis kemiskinan. Tanpa akses ke aktivitas produktif seperti kursus vokasional atau olahraga, mereka mencari "pengalihan" melalui kekerasan.

Kedua, krisis identitas. Generasi muda sering merasa tidak memiliki ruang untuk berkembang dalam sistem yang dinilai tidak responsif. Fenomena ini juga terungkap dalam laporan studi sosial dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI, 2024), yang menyebutkan bahwa banyak pemuda mencari pengakuan identitas melalui kelompok radikal atau perilaku destruktif.

Faktor ketiga adalah paparan konten kekerasan. Survei LPAI (2024) menemukan 70% remaja pelaku klithih mengakui terinspirasi dari konten digital, termasuk video kekerasan di platform seperti TikTok dan YouTube. Keempat, kurangnya ruang dialog. Banyak orang tua dan guru kesulitan membangun komunikasi emosional dengan pemuda, sehingga mereka beralih ke kelompok sebaya yang menawarkan rasa "kekeluargaan".

Namun, solusi tidak harus datang dari hukuman berat. Generasi muda Jogja sendiri mulai bergerak. Komunitas seperti "Sekitar Jogja" dan "Kampung Kreatif" menginisiasi program pelatihan seni, musik, dan pertanian perkotaan untuk menyalurkan energi negatif. Contohnya, proyek "Mural Anti-Klithih" di kawasan Kraton melibatkan pemuda menciptakan seni mural bertema perdamaian. Hasil survei LPAD DIY (2024) menunjukkan 65% peserta program ini mengurangi perilaku agresif setelah bergabung.

Pendekatan lain adalah edukasi kesehatan mental. Banyak pelaku klithih ternyata mengalami trauma masa kecil atau gangguan kecemasan yang tidak tertangani. Sekolah-sekolah di Jogja mulai menggandeng psikolog untuk memberikan konseling gratis dan pelatihan manajemen emosi. Selain itu, teknologi bisa menjadi solusi. Platform seperti Youth4Peace (inisiatif pemuda Jogja) menggunakan podcast dan webinar untuk membahas isu kekerasan dengan bahasa santai.

Yang tak kalah penting: kolaborasi lintas-sektor. Pemerintah DIY meluncurkan program "Ruang Remaja" di tiap kelurahan. Program ini menyediakan fasilitas olahraga, bimbingan karier, dan kegiatan seni.

Setiap "Ruang Remaja" dilengkapi area basket, studio musik, serta workshop kerajinan tangan, menciptakan alternatif positif bagi pemuda yang sebelumnya hanya punya sedikit pilihan aktivitas. Targetnya, semua kelurahan di DIY akan memiliki fasilitas ini pada akhir 2024.

Selain itu, pemerintah menggandeng keluarga dalam upaya pencegahan. Workshop "Komunikasi Efektif dengan Anak Muda" digelar rutin di tingkat RT/RW, membekali orang tua dengan teknik berdialog tanpa menghakimi. Materinya dirancang oleh psikolog dan tokoh masyarakat, dengan fokus pada pentingnya mendengarkan aktif dan membangun kepercayaan. Hasil survei LPAI (2024) menunjukkan 58% peserta workshop merasa lebih mampu memahami emosi anak setelah mengikuti program ini.

Komunitas lokal juga mengambil peran. Kelompok seperti "Jogja Damai" menginisiasi diskusi terbuka di kafe atau taman, mengundang mantan pelaku klithih , tokoh agama, dan pemuda untuk berdialog. Salah satu peserta menyampaikan, "Kita butuh ruang untuk bercerita, bukan hanya hukuman." Dialog semacam ini membantu mengidentifikasi akar masalah individual, seperti konflik keluarga atau tekanan sosial.

Teknologi pun dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan. Platform digital seperti Youth4Peace menyediakan konseling daring, pelatihan keterampilan hidup, dan forum diskusi anonim. Di sini, pemuda bisa berbagi pengalaman tanpa takut dihakimi. Dengan kombinasi pendekatan fisik (Ruang Remaja) dan virtual (Youth4Peace), pemerintah dan komunitas berusaha menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan positif.

Klithih bukan musuh yang harus dihabisi, tapi gejala yang harus dipahami. Ia lahir dari ketidakseimbangan antara aspirasi pemuda dan struktur sosial yang gagal merangkul mereka. Seperti kata seorang anggota komunitas "Jogja Damai": "Kita butuh ruang untuk bercerita, bukan hanya hukuman." Kalimat ini mengungkap kebutuhan mendasar generasi muda: ruang aman untuk mengungkapkan frustrasi, impian, dan kerentanan tanpa takut dihakimi.

Mengubah klithih menjadi kreativitas tidak sekadar soal mengganti senjata dengan kuas atau pentungan dengan alat musik. Ini adalah proses membangun kembali kepercayaan diri dan identitas. Empati menjadi fondasi pertama. Banyak pelaku klithih berasal dari keluarga yang terlalu sibuk bertahan hidup untuk memberi perhatian emosional.

Mereka butuh pendampingan yang tidak sekadar "menghukum", tetapi mendengarkan luka mereka. Contohnya, program konseling di "Ruang Remaja" tidak hanya fokus pada perilaku, tetapi juga membantu pemuda memahami akar emosi mereka.

Inovasi menjadi kunci selanjutnya. Proyek mural anti-klithih di Kraton menunjukkan bagaimana seni bisa menjadi jalan ekspresi yang produktif. Pemuda yang dulu melampiaskan amarah melalui kekerasan kini menuangkannya dalam warna dan garis. Platform digital seperti Youth4Peace juga membuktikan bahwa teknologi bisa menjadi jembatan. Di sini, pemuda bisa mengakses pelatihan keterampilan hidup, podcast tentang manajemen stres, atau forum anonim untuk berbagi pengalaman.

Namun, yang paling krusial adalah sinergi. Kolaborasi antara pemerintah, komunitas, keluarga, dan pemuda sendiri menciptakan ekosistem dukungan. Workshop komunikasi untuk orang tua membantu mereka memahami bahasa emosi anak-anak mereka. Diskusi terbuka yang melibatkan mantan pelaku klithih dan tokoh masyarakat memecah stigma dan membangun jaring pengaman sosial.

Klithih adalah cermin bukan hanya tentang kekerasan, tetapi juga tentang kehendak pemuda untuk dilihat dan didengar. Dengan empati, inovasi, dan sinergi, Yogyakarta punya kesempatan menulis ulang narasi ini: dari gejala kekerasan menuju kisah ketahanan dan kreativitas. Seperti yang disampaikan oleh seorang peserta proyek mural, "Kami dulu dianggap masalah. Sekarang, kami bagian dari solusi.

YESRUN EKA SETYOBUDI