Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Ruslan Abdul Munir
Ilustrasi buku (Pexels/Maria Loznevaya)

Di tengah gencarnya kampanye literasi dan ajakan untuk meningkatkan minat baca, ada satu realita yang menyakitkan namun terus diabaikan yaitu tentang maraknya peredaran buku bajakan.

Kini buku bajakan justru bebas diperjualbelikan di e-commerce besar lengkap dengan rating bintang lima dan komentar pembeli yang bangga telah “berhemat”.

Begitupun dengan oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang dengan bangganya memberi label pada deskripsi produknya bahwa buku yang ia jual adalah buku non-original.

Fenomena ini menyisakan ironi yang dalam khususnya bagi para pencinta buku yang memang benar-benar mencintai buku sebagai karya intelektual yang pantas mendapatkan harga mahal.

Di satu sisi, kita mendorong masyarakat untuk membaca lebih banyak, namun di sisi lain, banyak tangan-tangan jahil yang membiarkan kerja keras penulis, editor, hingga penerbit dirampas tanpa perlindungan berarti.

Masyarakat ingin cerdas, tetapi tidak ingin menghargai sumber kecerdasannya. Banyak alasan digunakan untuk membenarkan pembelian buku bajakan.

Yang paling umum adalah harga buku asli yang dianggap terlalu mahal. Tak sedikit yang berargumen bahwa literasi seharusnya bisa diakses siapa saja tanpa batasan ekonomi.

Tapi jika kita benar-benar peduli pada akses literasi, seharusnya solusinya bukan membajak, melainkan mendorong lebih banyak perpustakaan, program subsidi buku, atau bahkan memanfaatkan sumber daya digital legal seperti perpustakaan digital dan open access.

Buku bajakan yang dijual di e-commerce biasanya bisa dikenali dari beberapa ciri khas. Harganya jauh lebih murah dari harga resmi, bahkan bisa separuhnya.

Kualitas cetak sering kali buram, menggunakan kertas tipis. Sampulnya tampak seperti hasil scan dengan warna yang pudar atau pecah.

Beberapa bahkan mencetak ulang tanpa izin buku-buku dari penulis independen atau penerbit kecil yang tidak memiliki distribusi luas.

Ironisnya, produk semacam ini tetap mendapatkan ulasan positif dari pembeli, karena dianggap "lumayan untuk harga segitu", tanpa menyadari bahwa mereka sedang berkontribusi pada perusakan ekosistem literasi.

Membajak buku bukanlah bentuk perlawanan, tapi justru bentuk eksploitasi. Sering kali kita lupa bahwa di balik sebuah buku ada proses panjang dan melelahkan, riset berbulan-bulan, revisi berkali-kali, hingga kerja penerbitan yang tidak ringan.

Ketika kita membeli versi bajakan, kita tidak hanya mencuri hasil keringat penulis, tapi juga mematikan ekosistem literasi itu sendiri.

Pemerintah pun seharusnya tidak tinggal diam dalam menyikapi persoalan ini. Maraknya penjualan buku bajakan secara terang-terangan terutama di platform digital besar, menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran hak cipta.

Padahal, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Intelektual yang seharusnya mampu menjadi payung hukum bagi para penulis dan penerbit.

Pemerintah, melalui kementerian terkait dan aparat penegak hukum, perlu bersikap lebih tegas dengan menindak penjual buku bajakan dan menutup akses distribusi ilegal, baik secara daring maupun luring.

Literasi tidak akan tumbuh subur jika pelindung karya justru abai terhadap pelanggaran yang merugikan para pelaku dunia buku dan penulisan.

Tentu, ini bukan soal menghakimi pembaca. Tapi perlu ada kesadaran bersama bahwa literasi bukan hanya soal membaca, tapi juga menghargai proses dan karya.

Jika kita ingin dunia literasi tumbuh sehat, maka kita juga harus menciptakan budaya membaca yang etis dan berkelanjutan.

Kita bisa mulai dari hal kecil seperti membeli buku asli saat mampu, mengedukasi orang lain soal pentingnya menghargai hak cipta, hingga melaporkan akun penjual buku bajakan di platform digital. Literasi yang baik lahir dari kejujuran dan tidak ada kejujuran dalam mencuri ide dan kerja orang lain.

Ruslan Abdul Munir