Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Muhammad Afsal Fauzan S.
Driver ojek online sedang menanti penumpang. (Unsplash/Afif Ramdhasuma)

Gigs economy sudah jadi fenomena yang nggak aneh di kalangan anak muda Indonesia. Ketimbang kerja di kantor 9-5, mending jadi penulis atau desainer freelance. Kerja nggak terikat waktu dan tempat, bahkan  fee bisa lumayan walau nggak menentu. Tapi, kenapa yang lebih melek soal keadilan gigs economy untuk mitra atau freelancer adalah para driver ojek online.

Kita tahu sendiri kemarin driver ojol se-Indonesia melakukan off bid massal. Mereka menuntut potongan komisi yang adil dari penyedia layanan. Lah, kita-kita nih, para freelancer kreatif nggak kepikiran sama sekali soal ini. Bahkan, kita merasa biasa-biasa aja dengan potongan yang disediakan berbagai platform freelance. Apa karena potongannya nggak gede?

Para driver ojol ini udah menggelar aksi sejak jelang Idul Fitri kemarin. Mulai dari minta THR yang kini jadi Bonus Hari Raya, terus sekarang menuntut agar potongan penyedia terhadap driver dikurangi. Wajar sih, soalnya potongan komisi driver itu bisa sampai 50 persen. Bisa tekor kalau begitu mana penghasilan harian juga nggak menentu lagi.

Selama ini yang baru kita sadari adalah regulasi di Indonesia soal gigs economy ini sangat tertinggal jauh. Freelancer kreatif kayak penulis, desainer grafis, atau apa pun itu nggak sadar soal ini. Dan, kita semua disadarkan oleh para driver ojol yang ktia anggap adem ayem. 

Alhasil, status hukum mitra ini tetap abu-abu dan penyedia atau aplikator merasa bebas dari tanggung jawab. Negara tetangga kayak Singapura, Malaysia, dan Vietnam itu udah punya kerangka regulasi soal gigs economy walaupun belum perfect. Tapi, seenggaknya mereka mau untuk membuat aturannya.

Paradoksnya, freelancer kreatif kayak itu itu cenderung diam soal regulasi kemitraan gigs economy. Mungkin ada beberapa alasan, bisa jadi karena sifat kerjaannya yang individualistik dan bisa kerja di mana pun. Bisa jadi jua karena kerjaannya sudah menjadi passion, atau karena persaingan yang ketat yang membuat para freelacner kreatif menerima proyek dengan membanting harga.

Soalnya, saya sering kali lihat ada banyak freelancer kreatif mampu menyelesaikan revisi sebanyak apa pun itu meski nggak ada biaya tambahan. Bahkan, banyak juga freelancer yang pasrah ketikapembayaran dari klien telat. Hal ini saya rasakan dan lakukan juga, ya karena kadang-kadang job dari klien itu seperti emas di tumpukan pasir. Susah dapetnya.

Negara sudah saatnya membuat regulasi yang sesuai dan adil untuk para freelancer atau pekerja kemitraan. Freelancer kreatif dan driver ojol adalah baigan dari gigs economy yang rentan. Ojol udah berani bersuara, dan saya atau mungkin para freelancer kreatif lain merasa malu dengan mereka. Sebab, apa yang mereka tuntut juga mewakili kami sebagai pekerja lepas.

Kalau sampai pemerintah bisa membuat regulasi yang bagus untuk para pelaku gigs economy, para freelancer kreatif wajib berterima kasih kepada driver ojol. Kalau pemerintah masih ngeyel, freelancer juga harus mulai berisik, jangan adem ayem mulu. Nggak perlu ikut-ikutan demo, tapi seenggaknya sudah mulai sadar tentang hak dan kewajiban dalam memberikan dan melaksanakan pekerjaan.

Kita harus belajar dari para driver ojol ini. Mereka nggak cuma ngeluh di media sosial soal kondisi yang mereka alami saat bekerja. Kebanyakan dari kita kan lebih seringnya ngeluh dan bikin parodi di Instagram tapi invoice dari klien tetep aja macet padahal kerja udah selesai. Sudah saatnya ekonomi Indonesia mulai jalan dengan adil, baik untuk buruh atau pun freelancer. Bismillah staf khusus Kemnaker.

Muhammad Afsal Fauzan S.