Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Muhammad Afsal Fauzan S.
Wartawan meliput kegiatan (Pexels/Afif Ramdhasuma)

Badai media massa lagi jadi perbincangan di mana-mana. Ada banyak wartawan, news anchor, dan reporter TV yang harus di-PHK karena efisiensi besar-besaran dari media massa nasional. Tapi, banyak yang belum sadar kalau media lokal sudah mengalami badai dan kemunduran sejak 10 tahun terakhir, tapi sayangnya, tak ada yang pernah membahasnya sama sekali.

Saya bekerja menjadi wartawan di sebuah media lokal di Cianjur sejak 2019. Meskipun pernah mencicipi masa jaya dari media saya, tapi perusahaan malah harus pecah kongsi karena masalah politik. Akhirnya, saya pun membangun media baru bersama mantan bos saya di media yang lama. Hasilnya ternyata sangat jauh dari harapan. Kami bisa bertahan dengan nyaman hanya satu tahun, sisanya, kalau diibaratkan tentara, mungkin lagi berjalan maju sambil menembakan peluru dengan kondisi tubuh yang tidak lengkap.

Media lokal banyak pincang dari berbagai sisi, mulai dari manajemen, bisnis dan iklan, sampai wartawan di lapangan yang mencari berita. Tidak sedikit ada media lokal yang tidak membayarkan gaji pokok kepada wartawan. Wartawan hanya disuruh menyebar ke lapangan bermodalkan kartu pers dan mendapatkan uang dengan cara yang tidak seharusnya. Dari apa yang saya dengar dari atasan saya, kondisi ini dimulai kurang lebih selama 15-10 tahun yang lalu.

Content Writer jangan dibahas lah. Kita tahu sendiri ada media yang membayar content writer seharga Rp1 per views. Yang penting banyak yang klik dan baca. Soal kualitas, kedalaman, dan wawasan baru di dalam tulisan itu belakangan. Ada penulis yang beruntung dapat uang gede, tapi ada juga penulis di media yang malah seret. Soal kebenaran dan keakuratan juga dipertanyakan karena mereka cuma nyadur ke media lain.

Bahkan, kalau ngomongin gaji, gaji wartawan di Cianjur pada 2015 dan 2025 itu sama aja. Yang beda cuma harga bahan pokok dan BBM yang selalu naik. Ditambah, media lokal tergerus oleh adanya internet yang menghilangkan sekat antara media nasional, regional, dan lokal. Media lokal pun banyak berguguran dan gulung tikar, hanya saja tidak terkenal, jadi tidak diberitakan.

Media yang kami bangun juga sulit mendapatkan iklan. Harga iklan media tergerus oleh harga endorsement influencer yang kelewat murah. Terpaksa juga kami banting harga walaupun akhirnya sulit memenuhi kebutuhan. Ditambah, masyarakat yang malas untuk mengklik dan membaca berita di website, alhasil Adsense pun ikut seret.

Iklim diperburuk dengan media lokal yang ikut-ikutan merekrut kontributor lokal. Wajar jika media lokal terdepak, kalau ngomongin SEO, media lokal jelas akan kalah dengan media nasional dengan struktur website yang lebih baik, meskipun wartawan media lokal memberitakannya lebih dulu. Media sosial pun tidak banyak membantu, seolah-olah media lokal adalah organisasi nirlaba yang hanya membantu menyampaikan informasi kepada masyarakat.

Satu-satunya, yang mungkin bisa sangat membantu media lokal adalah pemerintah. Iklan dari pemerintah dengan anggaran tertentu bisa sangat membantu media lokal di tengah industri atau swasta yang lebih memilih beriklan di media sosial dan influencer.

Di Cianjur, bahkan ada media kompetitor saya yang saking bingungnya mencari penghasilan lewat apa, mereka pun membuat live streaming Mobile Legends di Facebook. Bayangkan, sebuah media massa, membuat live streaming game seperti MiawAug. Bukan tidak mungkin kalau menguntungkan, cara itu akan ditiru oleh media lainnya.

Jadi, jangan aneh jika ada banyak wartawan yang mungkin saja tidak bodong, tapi bertindak seperti wartawan bodong. Mengancam kepala desa, mengancam kepala sekolah, atau menggunakan cara-cara buruk lainnya. Itu mungkin sudah menjadi hal biasa saat ini, karena iklim, sistem, dan persaingannya yang kini sudah tidak lagi sehat.

Pengen sih jadi wartawan yang kreatif dan membangun media massa yang unik. Tapi, kebanyakan media lokal terbentur modal. Kalau membuat seadanya, bisa jadi untuk mendatangkan iklan akan sangat lama. Alhasil, media lokal akan terus berkutat di lingkaran setan yang lama, sampai warga sadar ternyata media lokal sudah ikutan mati.

Kemunduran dan merosotnya bisnis media lokal ini jadi tanda bahwa industri pers sedang kacau. Tidak hanya di Indonesia, di belahan dunia lain juga sama. Yang bertahan cuma yang punya modal besar dan ekosistem memadai. Sementara perusahaan lokal yang dibangun dengan mimpi dan modal seadanya sulit bersaing. Ditambah, masyarakatnya yang malas membaca. Udahlah, bubar aja bubar.

Muhammad Afsal Fauzan S.