Transformasi teknologi digital telah merevolusi cara manusia bertransaksi. Kini, uang tak lagi berpindah lewat kas fisik, melainkan melalui sentuhan jari di layar ponsel. E-wallet, QR code, m-banking, hingga kripto menjadi wajah baru ekonomi modern.
Di Indonesia, tren ini berkembang pesat. Data Bank Indonesia mencatat, per Agustus 2020 saja, terdapat lebih dari 376 juta unit uang elektronik beredar, dengan volume transaksi menembus 386 juta kali—setara lebih dari Rp 17 triliun.
Angka-angka ini menunjukkan satu hal: masyarakat makin percaya pada transaksi digital. Tapi, di balik efisiensi dan kenyamanan yang ditawarkan, ancaman terhadap keamanan digital justru terus mengintai.
Transaksi Aman, Mimpi yang Masih Jauh?
Di era digital, ancaman siber menjadi mimpi buruk baru. Serangan malware, phishing, ransomware, hingga DDoS bukan lagi cerita fiksi.
Data FBI menunjukkan, kerugian akibat kejahatan siber secara global melonjak dari 6,9 miliar dolar AS pada 2021 menjadi 10,2 miliar dolar AS di 2022. Di Indonesia, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat lebih dari 700 juta serangan siber sepanjang tahun yang sama.
Jenis serangan terbanyak? Penyanderaan data (ransomware) dan pencurian identitas. Artinya, siapa pun yang punya akun digital—baik individu maupun korporasi—adalah target potensial.
Parahnya lagi, Indonesia menghadapi tantangan literasi. Survei OJK tahun 2022 menunjukkan bahwa literasi keuangan masyarakat baru mencapai 49,6%, jauh di bawah tingkat inklusi yang sudah 85%.
Sementara itu, literasi digital pun masih di kisaran 41,48% menurut Kominfo. Artinya, banyak yang menggunakan layanan digital tanpa tahu bagaimana cara mengamankan diri.
Dari Teknologi ke Edukasi: Strategi Menghadapi Ancaman
Menghadapi risiko yang makin kompleks, diperlukan strategi yang tidak hanya berorientasi pada teknologi, tapi juga mencakup aspek hukum, kelembagaan, dan edukasi publik. Lima langkah kunci yang bisa menjadi arah penguatan:
- Otentikasi Ganda (2FA): Jadi keharusan, bukan pilihan. Verifikasi dua lapis membuat akun jauh lebih aman dari akses tidak sah.
- Audit Sistem dan Sertifikasi Keamanan: Sistem perlu diawasi oleh pihak independen, dan tunduk pada standar global seperti ISO untuk memastikan keandalan dan akuntabilitas pengelolaan data.
- Penguatan Polisi Siber dan Penegak Hukum: Unit khusus kejahatan digital harus dibekali teknologi, kapasitas, dan kewenangan yang jelas agar dapat merespons cepat dan tepat.
- Sinergi Lintas Sektor: OJK, BI, Kominfo, Polri, fintech, dan institusi pendidikan perlu duduk bersama. Kolaborasi adalah kunci untuk membangun ekosistem yang tangguh.
- Pemanfaatan Kecerdasan Buatan (AI): Sistem AI bisa mendeteksi pola transaksi mencurigakan secara real-time dan bertindak secara otomatis untuk mencegah kerugian lebih besar.
Kepercayaan adalah Mata Uang Terpenting
Transaksi digital bukan hanya soal kecepatan, tapi juga soal kepercayaan. Tanpa jaminan keamanan, semua kenyamanan yang dibanggakan bisa berubah menjadi celah kebocoran data, manipulasi informasi, hingga pencurian identitas.
Keamanan transaksi digital bukan lagi sekadar isu teknis, melainkan tantangan multidimensi yang menyangkut aspek sosial, hukum, dan teknologi. Ketika masyarakat makin terdigitalisasi, kebutuhan akan perlindungan yang kuat terhadap data dan identitas digital menjadi semakin mendesak.
Regulasi yang adaptif, teknologi yang terus diperbarui, serta literasi yang merata adalah tiga pilar utama untuk menciptakan ruang transaksi digital yang aman.
Kepercayaan publik hanya akan tumbuh jika seluruh ekosistem—pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat—bergerak bersama. Dalam ekosistem digital, membangun kepercayaan berarti menjaga masa depan ekonomi yang inklusif, aman, dan berkelanjutan.
Inilah kenapa keamanan digital tidak boleh dianggap sepele atau diserahkan pada satu pihak saja. Pemerintah, industri, dan masyarakat harus sama-sama terlibat. Karena pada akhirnya, membangun ruang digital yang aman bukan soal teknologi semata, tetapi tentang membangun kepercayaan. Dan dalam dunia digital yang terus bergerak, kepercayaan adalah mata uang paling berharga.
Baca Juga
-
Mengapa Semua Orang Suka Cara Soleh Solihun dalam Mengulas Musik?
-
Sukses Lancar Rezeki: Nama Penuh Doa, Lirik Humor dan Musik yang Mendobrak!
-
Lapangan Demonstrasi dan Jarak Etis Demokrasi
-
Sebuah Janji yang Terus Ditunda, Sejauh Mana RUU Perampasan Aset Bergulir?
-
Pentingnya Sensitivitas Pejabat Publik di Tengah Kecemburuan Sosial
Artikel Terkait
-
Menteri Riefky Dorong Pembentukan Dinas Ekraf, Ekonomi Kreatif Jadi Mesin Baru Daerah?
-
2 Juta Lapangan Kerja dari Koperasi Prabowo: Ambisius atau Realistis?
-
Investasi 'Green Skills' Bukan Cuma Demi Keberlanjutan, Tapi Juga Menangkal Krisis Ekonomi dan PHK
-
Pulau Indonesia Diobral di Situs Online, DPR Sentil Aparat: Harus Gerak Cepat!
-
Pemerintah Sebut Butuh Peran Swasta dalam Program Makan Bergizi Gratis
Kolom
-
Beban Kelompok: Dari Drama Numpang Nama sampai Fenomena Social Loafing
-
Harga Buku Mahal, Literasi Kian Tertinggal: Alasan Pajak Buku Perlu Subsidi
-
Santri Pelopor dan Pelapor: Melawan Bullying di Pesantren
-
Media Sosial, Desa, dan Budaya yang Berubah
-
Ketika Whoosh Bikin Anggaran Bengkak, Kereta Konvensional Jadi Anak Tiri?
Terkini
-
Tak Ada Bek Klub Eredivisie, Harga Total Skuat Garuda Alami Penurunan Signifikan
-
Bukan Sekadar Suka Bersih, Kenali Gejala dan 5 Tipe OCD Menurut Psikolog
-
Ungkap Ada Rasa Spesial? Ini Hubungan Titi DJ dan Thomas Djorghi
-
Gerbong STY Kian Habis: Kini Giliran Marselino Ferdinan Ditinggal Patrick Kluivert
-
Donald Trump Sambut Positif Desakan Perdamaian di Gaza, Pencitraan Semata?