Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi nelayan (Pixabay)
Yayang Nanda Budiman

Ada satu hal yang sering membuat kita menelan napas lebih dalam ketika membicarakan perubahan iklim, sebab sejak lama isu ini dibungkus sebagai percakapan teknis para ilmuwan dan diplomat yang duduk berhadap-hadapan dalam ruangan berpendingin, merangkai jargon yang tidak pernah benar-benar menyentuh tanah tempat kehidupan manusia berjalan apa adanya, padahal di luar ruangan mewah yang dilapisi karpet itu ada masyarakat kecil yang tidak punya kemewahan untuk menunggu hasil konferensi, yang tidak sempat menunda hidup demi menanti kesepakatan global, yang setiap harinya berjibaku dengan laut yang berubah lebih cepat dari kemampuan mereka memahami perubahan itu, dan mereka adalah masyarakat pesisir yang sejak dahulu hidup berdampingan dengan laut sebagai ruang nafas, ruang makan, dan ruang harapan.

Kita sering memulai percakapan tentang krisis iklim dengan grafik dan angka yang melonjak seperti detak jantung yang kelelahan, tetapi bagi masyarakat pesisir angka itu tidak pernah tampil sebagai statistik rumit, melainkan sebagai air laut yang tiba-tiba hadir lebih dekat dari biasanya, sebagai langkah kaki yang semakin pendek sebelum mencapai batas air pasang, sebagai perahu kayu yang pulang dengan isi yang makin menyusut, dan pada akhirnya sebagai rumah yang pelan-pelan kehilangan pijakan, berubah menjadi pulau kecil di atas tanah yang terus direnggut gelombang.

Indonesia bukan hanya negara yang memiliki garis pantai panjang. Indonesia adalah negara yang hidup dari laut dan bersama laut, namun pada titik itulah kerentanan juga tumbuh, seperti retakan di dinding tua yang semakin lama semakin lebar. Laporan Bappenas pada tahun 2021 menunjukkan betapa dua ribu kilometer garis pantai berada dalam kategori kerentanan tertinggi, memperlihatkan betapa tanah itu benar benar mundur di hadapan mata manusia. Sulawesi mencatat kerentanan tertinggi, dan wilayah lain seperti Kalimantan dan Papua tidak lebih dari waktu yang menunggu untuk menghadapi nasib yang sama.

Di panggung global, cerita ini bersesuaian dengan laporan lembaga meteorologi dunia yang menyebut 2023 dan 2024 sebagai dua tahun terpanas dalam sejarah pencatatan mereka, sehingga tidak ada lagi ruang bagi penyangkalan. Suhu laut meningkat dengan kecepatan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya dan permukaan laut naik sekitar lima milimeter setiap tahun, yang mungkin tampak kecil di atas kertas, tetapi bagi masyarakat pesisir lima milimeter berarti dinding air yang pelan namun pasti menelan halaman rumah, tambak, kebun, dan jejak masa kecil mereka.

Perubahan ini tidak bekerja secara lembut. Ia hadir sebagai badai yang lebih sering menerjang, gelombang tinggi yang datang tanpa aba-aba, dan banjir rob yang menyusup diam-diam ke desa-desa pada malam hari ketika lampu sudah dimatikan dan anak-anak baru saja tertidur. Nelayan yang selama ini membaca arah angin layaknya membaca cerita lama kini sering pulang dengan perahu kosong karena ikan menyingkir ke perairan yang lebih dingin. Terumbu karang yang dulu menjadi rumah kehidupan laut rusak oleh suhu yang semakin panas. Mangrove mati perlahan. Padang lamun memutih seperti tubuh yang kehilangan warna.

Di kawasan timur Indonesia, luka itu terasa lebih keras. #CeritadariPesisir nelayan kecil yang mengandalkan jaring dan perahu kayu harus menghadapi dua badai sekaligus yakni ekosistem yang rusak dan cuaca yang berubah tanpa pola. Seorang akademisi dari Universitas Hasanuddin pernah menggambarkan betapa masyarakat pesisir begitu bergantung pada laut, tetapi tidak lagi mendapatkan kepastian darinya. Ketika arus berubah dan ikan bergerak menjauh, pendapatan mereka hilang begitu saja, dan ketika pendapatan hilang pada masyarakat pesisir yang hilang bukan hanya uang, tetapi seluruh struktur kehidupan yang mereka bangun dengan peluh.

Dari sekian banyak cerita #SuaraHijau tentang perubahan iklim, ada kisah yang lebih membekas daripada yang lain yakni kisah tentang desa desa yang tenggelam. Ini bukan metafora. Di pesisir Demak, tanah hilang satu hektar setiap tahun. Air merayap masuk dari pantai, dari sungai, dari tanah yang amblas. Nama nama seperti Tambaksari, Rejosari Senik, dan Bedono bukan lagi sekadar titik di peta, melainkan monumen kehilangan. Sebagian keluarga bertahan karena tidak punya pilihan lain, sebagian dipindahkan tetapi kehilangan jejak kampung lamanya seperti kehilangan bagian dari diri mereka.

Walhi mencatat bahwa antara 2017 hingga 2020 lebih dari lima ribu desa pesisir tenggelam akibat banjir rob dan data itu hanyalah bayangan kecil dari ancaman yang lebih besar. Lebih dari dua belas ribu desa terancam mengalami nasib yang sama dalam beberapa dekade ke depan. Kita tidak sedang bicara risiko abstrak. Kita sedang bicara rumah, sekolah, tempat ibadah, pasar, dan identitas komunitas yang membentuk ingatan manusia.

Tidak hanya desa, kota-kota pesisir pun menghadapi ancaman serupa. Pada tahun 2050 hampir dua ratus kabupaten dan kota diprediksi mengalami banjir rob tahunan. Lebih dari dua puluh tiga juta jiwa terdampak. Kerugian ekonomi mencapai angka yang sulit dibayangkan. Semua ini menegaskan bahwa krisis iklim bukan hanya persoalan lingkungan, melainkan persoalan kemanusiaan yang paling nyata.

Di tengah ancaman itu masyarakat pesisir retak perlahan. Nelayan hanya bisa melaut enam bulan dalam setahun. Sisanya mereka beralih menjadi buruh bangunan, kuli angkut, pedagang kecil, atau apa pun yang bisa membuat dapur tetap berasap. Dalam satu dekade terakhir jumlah nelayan yang meninggal di laut meningkat tajam. Mereka bukan angka. Mereka adalah ayah, suami, anak, dan tulang punggung keluarga. Laut yang dulu memeluk mereka kini menjadi ruang yang penuh ketidakpastian.

Pada titik ini kita harus melihat krisis iklim sebagai persoalan keadilan, sebab yang paling terdampak adalah mereka yang paling sedikit menyumbang kerusakan. Mereka tidak pernah duduk dalam pertemuan internasional. Mereka tidak menyusun kebijakan energi. Mereka tidak menghitung emisi industri. Tetapi merekalah yang pertama kali kehilangan rumah dan penghidupan.

Narasi besar tentang pembangunan berkelanjutan tidak akan berarti apa pun jika masyarakat pesisir terus menerus menjadi korban. Mereka membutuhkan lebih dari sekadar bantuan. Mereka membutuhkan pengakuan atas hak mengelola wilayahnya, perlindungan yang nyata dari negara, serta kebijakan iklim yang tidak menjadikan mereka pihak yang selalu dipaksa beradaptasi tanpa diberi kesempatan untuk bertahan dengan bermartabat.

Pada akhirnya krisis iklim menuntun kita pada satu pertanyaan yang sederhana tetapi berat. Bagaimana mungkin negara yang hidup dari laut justru membiarkan masyarakat pesisir berada pada titik paling rawan. Pertanyaan itu tidak boleh hilang. Sebab jawaban darinya akan menentukan apakah kita benar benar menganggap krisis iklim sebagai persoalan lingkungan atau sebagai wajah paling jujur dari persoalan keadilan.