Hampir setiap hari kita membuka media sosial. Bangun tidur, sebelum bekerja, saat istirahat, bahkan menjelang tidur kembali, jari kita refleks melakukan scroll tanpa banyak berpikir. Media sosial seolah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas hidup modern.
Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri, mengapa setelah berlama-lama di media sosial, perasaan justru terasa lelah, cemas, atau merasa kurang?
Di media sosial, kita disuguhkan potongan-potongan kehidupan yang tampak sempurna. Ada pencapaian karier, liburan yang terlihat menyenangkan, hubungan romantis yang harmonis, hingga gaya hidup yang terkesan mapan.
Semua ditampilkan dari sisi terbaik, dengan cerita yang sudah dipilih dan disaring. Tanpa disadari, kita mulai membandingkan hidup kita dengan apa yang kita lihat di layar, padahal perbandingan itu tidak pernah benar-benar adil.
Budaya perbandingan inilah yang kerap menjadi sumber tekanan terbesar. Kita lupa bahwa media sosial bukanlah cerminan utuh dari kehidupan seseorang.
Di balik senyum dalam foto, bisa saja ada masalah yang tidak pernah dibagikan. Di balik unggahan kesuksesan, ada proses panjang, kegagalan, dan kelelahan yang tidak terlihat. Sayangnya, yang sering tertangkap oleh kita hanyalah hasil akhirnya, lalu dijadikan standar untuk menilai diri sendiri.
Tekanan sosial dari media sosial juga sering hadir secara halus. Tidak ada yang secara langsung memaksa kita harus sukses di usia tertentu, harus menikah, atau harus hidup mapan. Namun, ketika linimasa dipenuhi oleh pencapaian orang lain, tekanan itu muncul dengan sendirinya.
Kita mulai bertanya, “Kenapa aku belum sampai di tahap itu?” atau “Apa yang salah dengan hidupku?” Padahal, setiap orang memiliki waktu, kesempatan, dan jalannya masing-masing.
Media sosial juga mendorong budaya validasi. Jumlah suka, komentar, dan tayangan perlahan menjadi tolok ukur nilai diri. Ketika unggahan sepi respons, muncul rasa kecewa atau merasa tidak cukup menarik. Sebaliknya, saat mendapat banyak perhatian, ada dorongan untuk terus mempertahankannya. Tanpa sadar, kita menggantungkan kebahagiaan pada respons orang lain, bukan pada pemaknaan diri sendiri.
Meski demikian, menyalahkan media sosial sepenuhnya juga bukan solusi. Media sosial pada dasarnya hanyalah alat. Ia bisa menjadi ruang berbagi, belajar, dan terhubung dengan banyak orang. Persoalannya terletak pada cara kita menggunakannya. Ketika dikonsumsi tanpa batas dan tanpa kesadaran, tekanan akan semakin besar.
Sebaliknya, ketika kita mulai memilih konten dan mengatur waktu, media sosial dapat digunakan dengan lebih sehat.
Menurut saya, yang perlu dibangun adalah kesadaran bahwa hidup tidak harus selalu terlihat hebat untuk menjadi bermakna. Tidak semua pencapaian perlu dipublikasikan dan tidak semua kebahagiaan harus dibagikan. Kehidupan nyata berjalan jauh lebih kompleks daripada apa yang bisa ditampilkan di layar ponsel.
Mungkin sudah saatnya kita lebih jujur pada diri sendiri. Apakah media sosial masih menjadi ruang inspirasi, atau justru sumber tekanan yang tidak kita sadari? Dengan memberi jarak, membatasi waktu, dan berhenti membandingkan diri dengan standar semu, kita bisa kembali menikmati hidup apa adanya.
Pada akhirnya, kebahagiaan tidak diukur dari seberapa menarik hidup kita di media sosial, melainkan dari seberapa damai kita menjalaninya di dunia nyata.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Bukan Malas, Hanya Lelah: Kisah Pribadi Mengatasi Kelelahan Mental
-
Di Balik Ekspektasi: 5 Realitas yang Sering Disalahpahami dari Usia 20-an
-
Langkah Nyata Dukung Perempuan Indonesia Tumbuh Mandiri dan Berdaya di Era Digital
-
Lebih dari Sekadar Komunitas: PIK-R Bangka dan Misi Pembinaan Remaja
-
Jangan Terjebak Ekspektasi, Ini Cara Sehat Mengelola Tekanan Sosial
Kolom
-
Kegigihan Nelayan Pati di Balik Rasa dan Mutu Laut Terbaik
-
Perjuangan Masyarakat Sukomade: Berkawan dengan Alam Meski Minim Perhatian
-
Pesisir: Hidup di Ujung Negeri, Bertahan Tanpa Tepuk Tangan
-
Mangrove dan Manusia Pelajaran tentang Kesabaran yang Tak Instan
-
Bukan Malas, Hanya Lelah: Kisah Pribadi Mengatasi Kelelahan Mental
Terkini
-
Misteri Aroma Kembang Kantil yang Terus Mengikuti
-
Menjelang Petang, Bocah itu Melambai dan Tertawa ke Area Persawahan Sepi
-
Suara Cekikikan Perempuan dari Dahan Pohon Mahoni
-
Review Novel Companions of the Night: Petualangan Vampir Minus Lovey Dovey
-
Daily Chic ala Rora BABYMONSTER: 4 OOTD Kasual Buat Liburan Lebih Modis!