Bimo Aria Fundrika
Ilustrasi perang Iran dan Israel. [ANTARA]

Selama beberapa dekade terakhir, Israel dan Iran terlibat dalam perang bayangan yang semakin memanas di Timur Tengah. Pertukaran serangan melalui darat, laut, udara, dan dunia maya.

Baru-baru ini, situasi semakin panas akibat Iran dan Israel saling luncurkan serangan satu sama lain. Serangan tersebut, yang merupakan yang pertama kali dilakukan Iran secara langsung dari wilayahnya, menandai peristiwa bersejarah dalam konflik panjang antara kedua negara. Bagi Israel, ini juga kali pertama mereka meluncurkan serangan udara terhadap Teheran

Potensi Perang Dunia Ketiga

Ketegangan di Timur Tengah yang kian meningkat antara Israel dengan Hamas, ditambah keterlibatan Iran, membuat sorotan dunia saat ini tertuju terhadap pertanyaan terkait apakah dinamika konflik Timur Tengah ini menjadi prelude atau pembuka bagi pecahnya Perang Dunia Ketiga. Berbicara dalam konteks di atas, maka ada hal yang menarik untuk dianalisa lebih lanjut adalah fakta bahwa dalam kondisi tensi konflik yang tinggi, namun konflik senjata secara langsung belum pernah terjadi antara Israel dengan Iran.

Padahal stimulus untuk terjadinya konflik tersebut “lebih dari cukup”, khususnya setelah peristiwa drone dan Isfahan. Ada kesan bahwa Iran dan Israel lebih merasa aman dan nyaman memelihara “kondisi” ataupun “ritme” konflik itu tanpa mau mengakhirinya dengan konflik bersenjata, sebagaimana yang pernah diucapkan oleh van Claustzewitzch yang mengatakan, “perang adalah bentuk akhir dalam menuju perdamaian”. Peristiwa serangan drone Iran dan tembakan misil ke Isfahan sepertinya membuktikan tesis tersebut.

Bagi Israel, Iran akan tetap selalu berpotensi menjadi ancaman utama bagi keberlangsungan negaranya, khususnya karena dukungan masif Iran terhadap Hamas. Itu alasannya kekhawatiran Israel tersebut terus mereka pelihara dengan tetap mengutamakan kesiapan militer sebagai bentuk hard balancing terhadap Iran, di samping tentunya diplomasi dan tekanan politik sebagai bentuk soft balancing.

Sedangkan Israel, sebagaimana halnya dengan Iran, Israel juga memiliki kekuatan militer yang signifikan, setidaknya di kawasan Timur Tengah, untuk mengerahkan kekuatan militernya untuk menyerang Iran, khususnya di bawah pemerintahan PM Netanyahu dan dengan dukungan dari AS.

Netanyahu merupakan pemimpin politik Israel yang dikenal sering mengeluarkan ancaman untuk menyerang Iran. Namun retorika ancaman tersebut belum pernah terjadi hingga hari ini.

Meskipun demikian, untuk mengatasi kekhawatiran akan ancaman serangan Israel yang bisa datang kapan saja, Iran juga terus berupaya melakukan hard balancing terhadap Israel. Hal ini dilakukan agar Iran berada dalam kondisi selalu siap sekaligus sebagai upaya untuk mencegah Israel untuk menyerang secara militer.

Serangan Iran pada 13 April 2024 lalu adalah pertama kalinya sejak Perang Arab-Israel, negara Zionis itu menerima serangan dari negara yang secara geografis jauh diluar wilayahnya. Biasanya Israel hanya diserang oleh Hamas, Hizbullah atau Houthi yang beroperasi dekat dengan wilayahnya, dan juga merupakan proksi dari negara lain (dalam hal ini Iran). Di sisi lain, bagi Iran ini adalah sebuah ajang ujicoba eksistensinya sebagai penantang kuat dalam konteks politik global, karena sebelumnya Iran biasanya menggunakan proksinya untuk menyerang Israel.

Pertanyaannya, berapa lama hal ini akan dilakukan oleh, baik Israel maupun Iran? Ada beberapa konteks domestik yang penting, seperti Pemilihan Umum di Iran yang menghasilkan peningkatan kelompok-kelompok anti-Israel dan di Israel hanya sekitar 46% penduduk mereka percaya bahwa pemerintah mereka bisa melindungi rakyat. Selain itu, kelompok sayap kanan Israel juga meningkat sangat tinggi sekarang. Hal ini membuat posisi PM Netanyahu berada dalam posisi yang tidak mudah untuk mengambil posisi yang lebih moderat

Kemudian, dukungan publik dari masing-masing negara cukup besar, sekalipun memang ada keraguan di level politik masing-masing negara. Di Israel misalnya, di Kabinet Perang tidak mencapai kata sepakat tentang apa yang harus dilakukan terhadap Iran. Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengatakan serangan yang dilakukan Israel harus sifatnya terbatas, tidak menyasar warga sipil yang menimbulkan dampak collateral damage, menempuh cara-cara serangan siber, dan targetted assasination.

Sepertinya Tidak Akan Berperang!

Penulis berpendapat doomsday scenario sepertinya tidak akan terjadi, artinya peningkatan eskalasi konflik ini tidak akan mencapai tujuan sehingga tidak menjadi precursor atau pendahuluan bagi Perang Dunia Ketiga. Ada beberapa pertimbangan. Pertama, politik dalam negeri AS yang menuju pada Pilpres AS 5 November 2024 mendatang, tekanan opini publik internasional, dan potensi pelibatan Rusia. Oleh karena itu, eskalasi konflik Israel-Iran akan bisa memicu Perang Dunia III. Itu sebabnya AS memberikan penjelasan yang tegas bahwa mereka tidak ingin terlibat dalam konflik Israel-Iran.

Kedua, pertimbangan geopolitik. Jika terjadi eskalasi, akan terjadi disrupsi logistik global. Iran memiliki kemampuan untuk menutup Selat Hormuz dan pelayaran di Laut Merah. Iran melakukan ini dengan bantuan Houthi melalui misil-misil yang mereka tembakan, salah satunya, untuk menganggu perjalanan manusia dan barang di dua wilayah tersebut. Apabila itu terjadi akan muncul gejolah ekonomi global yang mengakibatkan ongkos logistik dan harga-harga komoditas strategis semakin tinggi. Pergerakan dan supply minyak dunia akan terganggu sehingga harganya akan naik. Kalau harga minyak naik sebagai akibat eskalasi konflik, maka negara-negara bisa meningkatkan harga minyak 20-100%.

PM Netanyahu bisa saja memerintahkan serangan Israel tidak hanya terbatas pada sasaran militer saja, karena di dalam peperangan selain sasaran militer, jalur-jalur logistik, pembangkit listrik, dan objek vital negara lainnya pun akan menjadi target. Namun, target utama serangan Israel jika konflik ini bereskalasi, adalah instalasi-instalasi nuklir milik Iran. Kemampuan nuklir Iran memang belum maksimal, namun memiliki akses ke persenjataan nuklir, termasuk ke negara-negara yang memiliki senjata nuklir seperti Korea Utara dan China. Itu sebabnya jika Iran memiliki kekuatan nuklir, itu bisa menjadi ancaman besar bagi Israel mengingat Iran secara geopolitik berada di halaman belakang negara tersebut. Jadi bisa saja tanpa restu AS, Israel menyerang Iran.

Apabila AS terlibat dalam eskalasi konflik Israel-Iran hal itu akan menimbulkan masalah besar. Di sisi lain Israel berkepentingan AS untuk terjun dalam konfliknya dengan Iran. Hal ini karena Iran adalah negara yang mampu mengimbangi Israel, khususnya di bidang teknologi nuklir. Beda dengan Arab Saudi yang tidak memberikan ancaman kepada Israel, malah juga kepentingan agar Iran menjadi lemah karena rivalitas Sunni-Syiah.

Dalam tataran diplomasi, AS tidak memberikan dorongan yang kuat terhadap tindakan Israel, namun mereka memperkuat hal lain, seperti memperkuat sanksi terhadap Iran, khususnya berhubungan dengan perkembangan teknologi militer negara tersebut. Di sisi lain, Teheran sudah menanam modal dalam Perang Rusia-Ukraina dengan memberikan drone dan bantuan-bantuan teknis terhadap angkatan perang Rusia untuk menghadapi angkatan perang Ukraina. Jadi, jangan sampai negara-negara di dunia, khususnya negara kuat seperti AS dan Rusia, untuk mendorong Iran meningkatkan status konfliknya dengan Israel karena ini akan membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.

Untungnya AS sudah menyatakan tidak akan membantu Israel jika berkonflik dengan Iran, ataupun perang apapun di Timur Tengah. Hal ini diperkuat dengan strategi rebalancing AS yang sudah dilakukan sejak era Presiden Obama, yaitu mengalihkan kekuatan militer mereka di Timur Tengah ke Asia Pasifik untuk menangkal tindak tanduk China di kawasan tersebut. AS pasti melindungi Israel, tetapi tidak akan terlibat jika Israel memulai perang dengan Iran. Contoh lain, ketika Rusia menginvasi Ukraina, AS tidak terlibat mengirimkan pasukan, hanya persenjataan dan pasokan logistik saja ke negara-negara NATO, termasuk Kiev.

Atas dasar itulah, penulis berpendapat bahwa eskalasi menuju Perang Dunia III bisa dikatakan sangat minimal. Pertama karena AS sudah tentu tidak mendukung perang Israel-Iran. Kedua, Israel berhadapan dengan dua front, yaitu dengan Iran dan dengan Hamas. Dengan Hamas saja belum bisa mengeliminasi kelompok tersebut.

Front ini pun bisa bereskalasi jika Hizbullah dan Rusia turun tangan atau setidaknya melibatkan diri secara tidak langsung membantu musuh-musuh Israel. Rusia saat ini sudah mengerahkan armada pasifiknya ke Laut Merah dan Laut Mediterania. Mereka melakukan ini karena Iran sudah membantu Rusia di Ukraina sehingga Rusia berkomitmen membantu jika Iran ada masalah dengan Israel. Pelibatan Rusia ini justru akan mencegah terjadinya Perang Dunia III.

Selain itu, perang dunia pasti melibatkan pemimpin negara besar yang nekad, seperti Hitler dulu. Kemudian, apakah perang dunia ini disetujui oleh negara-negara lain? Negara-negara yang bisa memicu perang dunia adalah AS, Rusia, China. Namun, perang dunia tetap sulit dilakukan oleh negara-negara besar tersebut.

Rusia misalnya, saat ini masih kesulitan dalam kampanye perangnya di Ukraina, khususnya kekurangan armada kaveleri seperti tank. Itu sebabnya jika terjadi perang dunia, Rusia akan kesulitan jika harus menyebar armada perangnya. Kemudian China. China adalah negara yang punya konsep strategis Belt and Road Initiatives (BRI) dengan menyebarkan pengaruh kesejahteraan (prosperity approach) ke negara-negara lain, termasuk juga dengan memberikan pinjaman. Mereka punya nuklir, namun tidak akan menggunakannya. Padahal, jika terjadi perang dunia, maka yang terjadi pasti perang dunia nuklir. Lalu, bagi AS, sudah jelas bahwa Timur Tengah saat ini bukan prioritas mereka, sehingga untuk apa berperang disana?

Penulis: Dosen Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta, Jerry Indrawan, M.Si (Han).