- Guru punya peran besar mencerdaskan bangsa, tapi sering hidup dengan kesejahteraan minim.
- Ada paradoks: dimuliakan dengan kata-kata, tapi sering sengsara dalam kenyataan.
- Negara harus hadir dengan gaji layak, perlindungan hukum, dan pelatihan nyata bagi guru.
Baru-baru ini, guru sedang ramai diperbincangkan di media sosial dan kehidupan nyata. Bahkan, ada satu ungkapan mengejutkan yang berbunyi "Kalau cari uang jangan jadi guru, jadi pedagang." Kalimat ini seakan menegaskan bahwa guru harus bekerja dengan ikhlas demi mencerdaskan generasi, sementara mencari materi dianggap bukan dari dunia pendidikan.
Guru memang profesi yang mulia, tetapi mereka tetap manusia yang membutuhkan penghidupan layak. Membandingkan guru dengan pedagang juga tidak adil. Guru bekerja di bidang pendidikan, tugasnya membentuk karakter dan mencerdaskan generasi bangsa, hasil kerjanya tidak langsung terlihat dalam bentuk uang, melainkan berbentuk kualitas manusia.
Sedangkan pedagang bergerak di bidang ekonomi, tujuannya jelas mencari keuntungan materi dan aktivitas jual beli. Membandingkan keduanya seolah menyederhanakan profesi guru hanya sebagai bukan tempat mencari uang, padahal guru juga berhak atas kesejahteraan.
Realitas Profesi Guru
Guru memikul beban besar. Bukan hanya menyampaikan pelajaran, tapi juga membentuk karakter, menanamkan nilai, bahkan menjadi teladan moral bagi murid-muridnya. Tugas mereka tidak berhenti di ruang kelas. Ada administrasi, penilaian, laporan, hingga kegiatan di luar jam sekolah yang menyita waktu dan tenaga.
Namun, realitasnya kesejahteraan guru sering kali tidak sepadan dengan tanggung jawab yang diemban. Banyak guru honorer yang digaji rendah, bahkan di beberapa daerah jauh di bawah upah minimum. Sementara guru tetap (PNS) pun masih menghadapi beban birokrasi dan tuntutan profesionalisme yang besar.
Guru harus terus beradaptasi dengan perubahan kebijakan pendidikan yang terkadang mendadak, tanpa dukungan dan persiapan yang memadai. Apalagi sekarang zaman sudah canggih, banyak guru yang masih tidak bisa menggunakan teknologi. Meskipun teknologi menjadi keharusan, tidak semua guru dibekali pelatihan digital yang memadai, menimbulkan kesenjangan digital antara guru dan siswa.
Tekanan dari pihak sekolah, orang tua, bahkan intimidasi dari siswa juga harus dihadapi oleh guru. Hal ini sering kali berkontribusi pada stres dan masalah kesehatan, terlebih tidak mendapat dukungan yang baik. Semua itulah yang menjadikan tantangan nyata dan permasalahan profesi guru.
Paradoks Mulia tapi Sengsara
Di satu sisi, guru disebut profesi mulia karena perannya sangat dalam mencerdaskan generasi bangsa. Mereka dijuluki pahlawan tanpa tanda jasa, dijunjung tinggi dalam pidato-pidato, dan dihormati dalam simbol. Namun di sisi lain, banyak guru harus hidup dalam kondisi pas-pasan, terutama guru honorer yang gajinya jauh dari layak.
Inilah paradoksnya. Guru dimuliakan dengan kata-kata, tapi sering dibuat sengsara dalam kenyataan. Mereka dituntut ikhlas, tapi kebutuhan hidupnya kerap diabaikan. Semakin sering profesi guru dielu-elukan, semakin tampak jurang antara penghormatan simbolik dan penghargaan nyata.
Negara belum sepenuhnya hadir memberikan perlindungan dan keringanan yang memadai bagi guru, terutama yang dikriminalisasi atau menghadapi kesulitan finansial, sehingga profesi ini tetap berjalan dalam ketidakpastian meski disebut mulia.
Apa yang Harus Dilakukan Negara?
Negara tidak cukup hanya dengan mengagungkan nama guru saja, tetapi harus menghadirkan kebijakan nyata yang melindungi dan menyejahterakan mereka. Upaya ini bisa diwujudkan dengan memberikan gaji yang layak, memastikan kepastian status kerja terutama bagi guru honorer, serta menyediakan perlindungan hukum ketika guru menghadapi tindak kekerasan atau tekanan yang merugikan.
Selain itu, negara juga perlu membuka akses pelatihan dan pengembangan kompetensi tanpa aturan yang rumit, sehingga guru mampu meningkatkan kualitas diri secara berkelanjutan. Dengan langkah-langkah tersebut, profesi guru tidak hanya dimuliakan secara simbolik, tetapi benar-benar dihargai secara sosial dan ekonomi demi kemajuan pendidikan nasonal.
Jika bangsa ingin maju, guru harus dihargai bukan hanya dengan kata-kata manis, melainkan juga dengan perlindungan dan kehidupan yang layak.
Baca Juga
-
Ulasan Novel Sorge: Memberi Ruang untuk Mendengar Suara Hati
-
Ulasan Novel Eternal Memories: Perang Sepi antara Nyata dan Terasa Nyata
-
Ulasan Novel Back to You: Menyelesaikan Masa Lalu yang Belum Usai
-
Ulasan Novel Saujana Cinta: Iman dan Cinta yang Terikat Selamanya
-
Hijau dari Rumah: Satu Pohon Tanaman Melawan Gunungan Sampah
Artikel Terkait
-
Wow! Adrian Wibowo Calon Pemain Timnas Indonesia Digaji Rp1,2 Miliar
-
Jadi Klub Termahal di Liga Indonesia, Harga Pasaran Persib Juga Tertinggi di Grup G ACL Two?
-
Adu Pendidikan dan Skor IQ Ferry Irwandi vs Ahmad Sahroni, Siapa Unggul?
-
Darah Depok, Main di Belanda: Harapan Erick Thohir ke Miliano Jonathans
-
PSI Bongkar Upaya Adu Domba Jokowi-Prabowo: Dalang di Balik Kerusuhan Terungkap?
Kolom
Terkini
-
Dimas Drajad Gabung Malut United, Aroma Eks-Persib Kian Terasa di Skuad
-
Ulasan Novel The Friend Zone: Pilihan Sulit Antara Cinta dan Mimpi
-
Kim Young Kwang Tampil Macho dengan 4 OOTD Chic Ini, Bisa Jadi Inspirasi!
-
Jadi Klub Termahal di Liga Indonesia, Harga Pasaran Persib Juga Tertinggi di Grup G ACL Two?
-
Dulu Gocek Bek Lawan, Sekarang Arjen Robben Beraksi di Lapangan Padel